Pada Februari 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur membentuk panitia khusus (pansus) Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah ( Perda RTRW). Sebelumnya, DPRD dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, telah menyetujui penandatanganan substansi RTRW. Hingga hari ini, belum ada kabar peresmian RTRW Jawa Timur 2023-2043.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengungkapkan adanya pasal-pasal bermasalah rancangan RTRW Jawa Timur. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menyebutkan pasal bermasalah itu seperti pasal 12, pasal 76, pasal 121, pasal 122, dan pasal 132.
Daftar Isi [Show]
Pasal-Pasal RTRW Jawa Timur Dinilai Bermasalah
Pasal 12 ayat (2) RTRW Jawa Timur menyebutkan kawasan budi daya meliputi hutan produksi, perkebunan rakyat, pertanian, perikanan, pergaraman, pertambangan dan energi, industri, pariwisata, permukiman, pertahanan dan keamanan, serta transportasi.
“Padahal definisi budi daya ini ya menanam tanaman, memelihara, kemudian dapat hasilnya, upaya melestarikan tanaman pangan. Lah, tambang ini apa budi daya? Kan enggak,” ujar Wahyu saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.
Menurut Wahyu, pertambangan yang masuk ke kawasan budi daya ini bahaya. Sebab, tambang bisa masuk ke segala lini. Artinya, ruang-ruang memunculkan pertambangan di Jawa Timur semakin luas.
“Tidak terbatas di kawasan tertentu, tapi tambang bisa masuk ke wilayah pertanian, bisa masuk ke kawasan hutan, dan bisa masuk ke kawasan karst,” ungkap Wahyu.
Berikutnya pasal 76 RTRW Jawa Timur, menunjukkan hampir semua wilayah di Jawa Timur adalah kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas, dan panas bumi. Salah satunya pasal 76 ayat (3) RTRW Jawa Timur yang menyebutkan, kawasan pertambangan mineral logam yaitu Kabupaten Banyuwangi, Blitar, Jember, Lumajang, Malang, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Kediri, dan Bondowoso.
WALHI menilai, pasal 76 itu tumpang tindih dengan pasal-pasal di RTRW Jawa Timur. Seperti pasal 71 tentang pangan, pasal 72 tentang pengembangan hortikultura, pasal 54 tentang rencana kawasan lindung, pasal 55 tentang kawasan lindung, pasal 56 tentang kawasan perlindungan setempat, dan pasal 57 tentang konservasi.
Selain itu, adal pasal 121 ayat (3) poin (f) RTRW Jawa Timur menyebutkan indikasi arahan zonasi kawasan budi daya terdiri atas indikasi arahan kawasan zonasi kawasan pertambangan dan energi. Kemudian, pasal 122 poin (a) nomor (4) disebutkan indikasi arahan zonasi kawasan hutan lindung, diizinkan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu dipertegas dengan pasal 132 poin (a) nomor 4 dan 5 RTRW Jawa Timur. Nomor 4, menyebutkan diizinkan pengembangan kawasan pertambangan secara bersama-sama dengan penelitian dan pendidikan. Lalu, nomor 5 menyebutkan, diizinkan pengembangan infrastruktur yang mendukung kegiatan pertambangan.
Berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan WALHI, Rancangan Perda RTRW Jawa Timur berpotensi memfasilitasi perizinan tambang. Pasal-pasal itu dinilai bermasalah, rancu dan bias, karena berpotensi membuka kran eksploitasi ekstraktif di semua tempat, tidak terkecuali kawasan lindung.
“Kalau dilihat di Rancangan Perda RTRW Jawa Timur, di pasal 121 dan 122 menyebutkan bahwa kawasan hutan lindung itu bisa ditambang, meskipun tidak open pit, tapi yang underground mining [tambang bawah tanah]. Ini juga menjadi ancaman,” terang Wahyu.
Tambang Mengancam Lingkungan dan Masyarakat
WALHI menilai, tata ruang Jawa Timur yang memfasilitasi industri ekstraktif sama saja dengan mengundang kiamat ekologis. Karena, semua ruang dikeruk, dihancurkan tanpa melihat keberlanjutan kawasan dan generasi yang akan datang. Selain itu perluasan industri ekstraktif tidak berkaca pada krisis ekologis yang disebabkan oleh tambang, sebagaimana yang terjadi di Porong, Sidoarjo.
“Semburan lumpur akibat tambang migas sampai saat ini masih menyembur, meninggalkan jejak luka dan trauma pada warga. Karena mereka harus terusir dari kampung tercintanya dan hidup dalam penuh kerentanan,” tulis WALHI Jawa Timur melalui rilis resmi Hari Anti Tambang 2023.
WALHI Jawa Timur mencatat, sampai saat ini industri ekstraktif, terutama pertambangan, adalah yang paling brutal dan telah banyak memicu konflik sosial. Di Banyuwangi, warga bernama Budi Pego yang menyuarakan tolak tambang emas Tumpang Pitu mengalami kriminalisasi dengan dituduh seorang komunis. Parahnya, yang melaporkan kasus tersebut adalah orang tambang.
“Saat ini Budi Pego mendekam di penjara setelah sempat digantung nasibnya selama 3 tahun lebih. Terutama pasca putusan kasasi MA yang cacat dengan memberatkan hukuman Budi Pego. Perlu diketahui Budi Pego divonis bersalah tanpa bukti, sebab spanduk [komunis] yang dituduhkan secara misterius hilang,” terang WALHI Jawa Timur.
Selain itu, di Banyuwangi ada 3 warga Desa Alasbuluh melakukan protes karena kampungnya rusak akibat dilewati kendaraan tambang galian c. Bukannya didengar oleh pemerintah Banyuwangi, tiba-tiba mereka dilaporkan perusahaan, lalu ditahan dan diadili. Mereka divonis bersalah dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara.
Namun, pada tahun 2023 ini mereka bisa bernafas lega sebab MA mengabulkan kasasi 3 warga ini dan diputus tidak bersalah. Situasi serupa juga terjadi di Bojonegoro, bahkan proses hukum, dan masih berlanjut. Ada beberapa warga yang dikriminalisasi perusahaan ketika protes penolakan tambang.
Menurut WALHI Jawa Timur, catatan-catatan itu melengkapi betapa industri ekstraktif memiliki banyak dampak dan turut meningkatkan ancaman kerusakan lingkungan hingga konflik sosial. Selain itu, industri ekstraktif adalah salah satu penyumbang emisi yang besar, karena mengeruk tanah yang merupakan carbon storage (penyimpan) dan membabat hutan serta lahan hijau yang menjadi carbon sequestration (pengikat).
“Profit ekonomi yang didapatkan [dari pertambangan] tidak seberapa, itu pun larinya ke segelintir orang, tetapi dampaknya luas dan bersifat jangka panjang,” tegas WALHI Jawa Timur.
Bahaya Dampak RTRW Jawa Timur terhadap Trenggalek
Wahyu menyatakan, hasil kajian mendalam WALHI Jawa Timur membulatkan suara penolakan Rancangan Perda RTRW Jawa Timur. Sebab, pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu berpotensi membahayakan lingkungan maupun masyarakat. Sebab, pertambangan bisa masuk ke kawasan budi daya, maupun hutan lindung, serta tumpang tindih kawasan penting lainnya.
“Lha ini kan sama saja mengamini bahwa pertambangan bisa masuk ke segala lini. Kami menyuarakan penolakan terhadap RTRW Jawa Timur, bukan lagi sekedar revisi. Karena bagi kami, banyak isi Perda RTRW yang lebih berfokus pada industri ekstraktif," kritik Wahyu.
Menurut Wahyu, Rancangan Perda RTRW jawa Timur berbahaya karena, salah satunya, memuluskan rencana tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Trenggalek. Jika Rancangan Perda RTRW jawa Timur itu disahkan, jalan memuluskan pertambangan bakal makin gampang.
WALHI Jawa Timur menyoroti izin pertambangan di Trenggalek berpotensi untuk memperentan wilayahnya dari ancaman bencana. Menurut Wahyu, perizinan tambang emas PT SMN di Trenggalek tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan kawasan karst.
“Artinya Pemerintah Provinsi Jawa Timur memfasilitasi tambang dengan adanya Perda RTRW. Di satu sisi, wilayah Trenggalek juga masuk kawasan lindung, terutama kawasan hutan lindung dan karst, tapi juga difasilitasi pertambangan. Berarti kan tumpang tindih,” ucap Wahyu.
Perlu diketahui, berdasarkan dokumen Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT SMN, ada 9 dari 14 kecamatan di Trenggalek yang masuk konsesi tambang emas. Area konsesi 12.813,41 hektare dari PT SMN itu tercacat sebagai tambang emas terbesar di Pulau Jawa.
Rancangan Perda RTRW Jawa Timur berpotensi memberi dampak yang luas. Selain wilayah hutan, ada potensi dampak ke wilayah pemukiman, pangan, mata air, dan kawasan budi daya perikanan. Ketika tambang emas PT SMN jadi beroperasi, bertentangan dengan konteks budi daya perikanan. Salah satunya bahaya limbah yang bermuara di pantai, terutama sekitar Prigi, Kecamatan Watulimo.
“Berarti kan pemerintah Jawa Timur mengamini tambang, tapi juga mengamini budi daya perikanan. Sementara di budi daya perikanan, ikan terdampak limbah tambang. Masa bisa jalan bareng? Kan nggak mungkin,” tegas Wahyu.
Padahal, kata Wahyu, seharusnya RTRW itu lebih ketat untuk melindungi wilayah-wilayah penting yang mempunyai peran vital seperti kawasan pangan, karst, serta mata air. Tapi, nyatanya pertambangan malah difasilitasi dalam Rancangan Perda RTRW jawa Timur.
“Dengan munculnya perda ini, berarti jalan memuluskan pertambangan ini semakin gampang, karena tambang bisa masuk kawasan budi daya dan hutan lindung. Nah, tentu ini akan menjadi dalih korporasi [PT SMN] yang sudah dapat IUP untuk mengeksploitasi di kawasan Trenggalek,” tandas Wahyu.