Pukul 5 sore, Jumat (24/03/2023), Heri Budiawan, yang akrab disapa Budi Pego, pulang ke rumah setelah berkebun dan mencari rumput. Tiba-tiba, ada 4 mobil yang mendatangi rumah Budi Pego.Dari mobil itu, keluar belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi. Tanpa penjelasan panjang lebar, Budi Pego langsung ditahan.Budi Pego tak terima. Ia mempertanyakan dasar penangkapan dirinya. Sayangnya, para polisi dan anggota kejari hanya menunjukkan surat penangkapan secara singkat. Budi Pego tak sempat membaca isi suratnya. Budi Pego ditangkap paksa."Saat ini Budi Pego sedang berada di Lapas Banyuwangi dengan penahanan dari Kejaksaan RI Banyuwangi," tulis rilis WALHI Jawa Timur.WALHI Jawa Timur menyampaikan, penahanan atas Budi Pego didasarkan pada putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap dirinya."Penahanan ini sendiri sudah dipeti-es-kan selama 5 tahun, sehingga bagaimana unsur politis ada dalam kasus ini, terutama dalam hal membungkam suara pejuang lingkungan," jelas WALHI Jawa Timur.
Cerita Sebelum Penangkapan
Sebelumnya, Kamis 16 Maret 2023, pihak tambang tim Bumi Suksesindo (BSI) dengan kawalan Polresta Bayuwangi, Kodim Banyuwangi, dan Satpol PP melakukan survei pemetaan geologis di Gunung Salakan - tak jauh dari Gunung Tumpang Pitu.Selala, 21 Maret 2023, diperkirakan pada pukul 22.00 WIB, ada 9 orang melakukan teror dalam bentuk merusak banner
penolakan tambang emas yang terpasang di rumah Budi Pego.Banner itu sudah bertahun-tahun terpasang di rumah Budi Pego. Sembilan orang perusak banner ini datang ke rumah Budi Pego dengan berkendara 3 sepeda motor. Para perusak banner ini melarikan diri setelah aksinya diketahui oleh Budi Pego.Sekitar tanggal 21 sampai 23 Maret 2023, terhitung sejak teror perusakan banner tersebut, pihak keluarga Budi Pego melakukan penjagaan setiap malamnya di rumah Budi Pego.
Alasan Warga Menolak Tambang
Berdasarkan catatan WALHI Jawa Timur, sejak tahun 2012, operasi industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya (Banyuwangi), dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI). Keduanya merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk.Akibat operasi tambang emas itu, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat terus meningkat di Desa Sumberagung, dan 4 desa sekitarnya, di wilayah Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.Salah satu di antaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga Desa Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.Bencana lumpur akibat tambang emas itu telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga. Selain itu, kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan.Bahkan,dari dampak kerusakan tersebut, ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Desa Sumberagung dan sekitarnya. Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka.Tambang emas juga mengakibatkan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan. Berbagai dampak lingkungan itulah yang menjadi alasan warga menolak
tambang emas Tumpang Pitu.Sayangnya, perusahaan tambang, pemerintah, dan aparat keamanan terus membungkam suara warga dengan kriminalisasi. Padahal, warga hanya berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya
kegiatan industri tambang emas.WALHI Jawa Timur mencatat, ada 5 bentuk kasus kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, sedikitnya 13 warga telah dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan."Cerita ini mengantarkan kita pada kisah pilu nasib pejuang lingkungan dan HAM di Indonesia. Sekaligus merobek-robek nilai dan semangat yang telah tertuang dalam pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)," tegas WALHI Jawa Timur.Sebagaimana diketahui bunyi pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.