Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Bocah 8 Tahun Tewas di Lubang Tambang, PKPLH Trenggalek Lempar Sanksi ke Pusat

  • 03 Jul 2025 14:00 WIB
  • Google News

    KBRT - Tragedi meninggalnya seorang bocah delapan tahun di kubangan bekas tambang galian C di Desa Ngentrong, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, pada Selasa (24/06/2025), memicu sorotan tajam terhadap kinerja pengawasan lingkungan.

    Meski peristiwa tersebut terjadi di wilayah kabupaten, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Trenggalek justru menyatakan bahwa penanganan sanksi bukan lagi wewenang daerah.

    Kepala Dinas PKPLH Trenggalek Muyono Piranata menyebut bahwa proses reklamasi tambang tersebut seharusnya dilakukan setelah kegiatan penambangan rampung pada Agustus 2025. Namun, sebelum reklamasi terlaksana, insiden tragis itu sudah lebih dulu terjadi.

    “Kalau kemarin saya tanyakan, sebetulnya sesuai dengan dokumen tertulis bahwa untuk reklamasi menunggu setelah galian C selesai dan selesainya bulan Agustus. Tapi sebelum Agustus sudah ada insiden. Saya melihat teman-teman [PKPLH] sudah melakukan pengawasan sebelumnya," ungkapnya.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tidak ada unsur pembiaran dari pihak pemerintah daerah, karena pengawasan telah dilakukan sejauh kewenangan daerah.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    “Kalau pemerintah tidak ada pembiaran, pengawasan sudah dilakukan sepanjang kewenangan daerah. Tapi ini ditarik ke pusat, kalau sekarang ini belum ada petunjuk yang jelas soal itu. Kalau sudah ditarik ke pusat, kami tidak ada rekomendasinya. Sanksi juga di pusat, kamihanya memberikan masukan ketika diminta,” lanjutnya.

    Pernyataan tersebut menuai reaksi keras dari aktivis lingkungan. Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menilai insiden ini adalah bukti nyata dari lemahnya pengawasan dan adanya pembiaran oleh pemerintah terhadap tambang galian C, khususnya yang berada di kawasan rawan bencana.

    “Tambang galian atau batuan yang tidak direklamasi tersebut adalah ilegal, dan telah memakan korban. Secara wilayah, tambang tersebut dalam wilayah resapan dan tangkapan air. Kehadiran tambang tersebut membuktikan bagaimana tumpang tindih ruang terjadi, sekaligus bentuk pembiaran pemerintah atas aktivitas perusakan alam,” tegas Wahyu Eka dalam keterangannya sebelumnya.

    Ia juga mendesak pemerintah untuk tidak hanya melakukan pemulihan kawasan, tetapi juga menindak tegas para pelaku perusakan lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    “Tentu, harus ada pemulihan kawasan, agar tidak ada korban lagi. Sekaligus pemerintah harus mencari penambang yang telah merusak, dan harus dihukum berat. Jika merujuk pada UU PPLH No 32 Tahun 2009,” tutup Wahyu.

    Kabar Trenggalek - Lingkungan

    Editor:Lek Zuhri

    ADVERTISEMENT
    BPR Jwalita