Tanggal 29 Mei diperingati sebagai Hari Anti Tambang. Sejarah Hari Anti Tambang berawal dari tragedi semburan lumpur Lapindo, di Desa Renokenongo dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006.
Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, mengungkapkan, Hari Anti Tambang 2023 menjadi pengingat bagi masyarakat Indonesia bahwa industri ekstraktif itu berbahaya.
Bencana akibat industri tambang minyak dan gas di Sidoarjo itu menenggelamkan 10.000 rumah lebih serta berbagai fasilitas publik seperti sekolah, masjid, kantor pemerintahan, dan lain-lain.
Hari Anti Tambang diperingati pertama kali sejak tahun 2011. Hal itu berdasarkan kesepakatan dalam Pertemuan Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Pernas JATAM) 2010.
“Hari Anti Tambang ini sebagai peringatan dan refleksi bahwa industri ekstraktif itu berbahaya. Lapindo itu menjadi salah satu contoh ketika industri ekstraktif dampak kerusakannya bisa luas dan mengundang bencana yang lebih besar kepada masyarakat,” ujar Wahyu saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.
Wahyu menyoroti dampak kerusakan dari industri pertambangan di Jawa Timur. Mengingat, kondisi Pulau Jawa yang sudah dipadati penduduk. Ketika pertambangan diperluas ke wilayah Jawa Timur, bisa meningkatkan potensi bencana.
“Karena rata-rata industri tambang berada di kawasan hutan, dekat pemukiman, dekat mata air, dan tentu mengganggu kehidupan masyarakat. Padahal, Jawa kebutuhan airnya cukup besar. Apalagi dengan menurunnya jumlah mata air dan hutan di berbagai wilayah, lha kok ditambah tambang?” ucap Wahyu.
WALHI Jawa Timur juga menyoroti izin pertambangan di Trenggalek berpotensi untuk memperentan wilayahnya dari ancaman bencana. Menurut Wahyu, perizinan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Trenggalek tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan karst.
Perlu diketahui, berdasarkan dokumen Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT SMN, ada 9 dari 14 kecamatan di Trenggalek yang masuk konsesi tambang emas. Area konsesi 12.813,41 hektare dari PT SMN itu tercacat sebagai tambang emas terbesar di Pulau Jawa.
“Tambang-tambang di Pulau Jawa ini daripada mengisi ruang kosong, tapi malah lebih banyak mengisi ruang-ruang penting, ruang penyangga, yang seharusnya tidak dialihfungsikan. Berarti, Jawa ini tidak butuh tambang, karena sudah tidak ada ruang lagi,” terang Wahyu.
Wahyu mengatakan, seharusnya pemerintah pusat maupun Provinsi Jawa Timur, untuk lebih memaksimalkan perekonomian yang tidak merusak lingkungan, bukan mengedepankan tambang. Sebab, tambang dinilai tidak menguntungkan, tapi lebih banyak memberi dampak kerusakan lingkungan serta bencana kepada masyarakat.
Menurut Wahyu, masyarakat Trenggalek perlu melihat contoh pertmabangan yang sudah memberi dampak kerusakan lingkungan di wilayah lain. Sehingga masyarakat Trenggalek memiliki kesadaran untuk menyelamatkan ruang hidupnya.
“Trenggalek kalau dijebol tambang, akan menambah korban di Pulau Jawa. Karena di wilayah Jawa Timur sudah dieksploitasi, Trenggalek akan dieksploitasi juga, tempat-tempat lain berpotensi dieksploitasi. Dengan menjaga Trenggalek dari pertambangan, itu juga menjaga kawasan pesisir selatan dari ancaman bencana,” jelas Wahyu.
Wahyu menilai, perjuangan menolak tambang penting bagi masyarakat Trenggalek. Karena perjuangan itu menunjukkan bahwa tanpa tambang, masyarakat Trenggalek bisa sejahtera.
“Terutama dengan hasil-hasil bumi di Trenggalek. Dengan hasil bumi dan wisata, Trenggalek sudah baik. Tentu itu menunjukkan, tanpa tambang, masyarakat Trenggalek bisa hidup dan sejahtera,” ujarnya.