Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Sejumlah Tokoh, Akademisi dan LSM Tolak 'Suap Tambang untuk Ormas Keagamaan' Ajukan Uji Materi PP 25/2024 ke Mahkamah Agung

Jakarta (27/9/2024) – Sejumlah tokoh, akademisi, dan LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Tambang mengadakan diskusi melalui webinar bertajuk Menolak Suap Tambang untuk Ormas Keagamaan. Diskusi ini bertepatan dengan Hari Pertambangan dan Energi Nasional yang jatuh pada 28 September 2024, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008.

Webinar ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang memberikan prioritas konsesi tambang kepada organisasi keagamaan. Selain itu, diskusi ini juga menjadi pembukaan dari agenda utama pengajuan Uji Materi (HUM) atas PP 25/2024 ke Mahkamah Agung, yang rencananya akan diajukan pada 1 Oktober 2024, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.

Tim Advokasi Tolak Tambang diwakili oleh 16 pemohon, termasuk enam lembaga seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), serta 10 tokoh individu. Beberapa pemohon lainnya mengatasnamakan diri dari Serikat Petani Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.

Dalam diskusi tersebut, Wasingatu Zakiyah, salah satu pemohon dan penasihat dari Publish What You Pay, mengkritik pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan yang diatur dalam Pasal 83A PP 25/2024. Menurutnya, pasal tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Pasal 75 ayat (3) dan (4) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Jika melihat Pasal 83A PP 25/2024, IUPK diberikan secara prioritas oleh pemerintah ke ormas keagamaan. Sedangkan Pasal 75 ayat 3 dan 4 UU 3/2020 mengatur mekanisme lelang untuk pemberian IUPK bagi selain BUMN dan BUMD. Karenanya, setiap IUPK yang diterbitkan atas dasar Pasal 83A PP 25/2024 dan diperuntukkan bagi ormas adalah cacat hukum," tegas Zaki, yang juga warga NU.

Zaki menambahkan bahwa saat ini sudah ada dua ormas keagamaan, yakni NU dan Muhammadiyah, yang menyetujui izin tambang tersebut. Padahal, menurutnya, kedua ormas ini sebelumnya sangat aktif mengadvokasi kelestarian lingkungan hidup. 

"NU dalam Muktamar ke-34 mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah mengurangi deforestasi menjadi nol hektar pada tahun 2023 dan mempercepat transisi ke energi terbarukan," tambahnya.

Sementara itu, Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengkritik ketidakjelasan definisi ormas keagamaan dalam PP 25/2024. 

"Kalau kita lihat dan pelajari, apa yang dimaksud dengan ormas keagamaan? Itu tidak ditemukan penjelasannya dalam PP 25/2024. Bahkan dalam UU Ormas pun tidak diatur definisinya sehingga menjadi bias dan sangat tidak jelas dari segi peraturan," ungkapnya. 

Isnur juga menyinggung tentang komitmen internasional Indonesia untuk mengurangi kegiatan ekstraktif seperti pertambangan batubara yang dianggap sebagai sumber daya paling kotor dan "haram."

Ahli hukum tata negara, Herlambang Perdana Wiratraman, memperingatkan dampak kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial yang mungkin terjadi jika izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan. 

"Pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan tentu lebih besar keburukan ketimbang manfaatnya. Ormas keagamaan akan diseret ke bisnis pertambangan yang merusak lingkungan. Padahal, lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan keadaan yang semestinya dijaga dan dilestarikan," tegas Herlambang yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada.

Hema Situmorang, pengkampanye JATAM, berbagi pengalaman tentang dampak merugikan kegiatan tambang di Kalimantan Timur. 

"Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah melihat bagaimana kegiatan pertambangan benar-benar merusak lingkungan. Bayangkan, untuk mencari 1 gram emas saja, kita membutuhkan lebih dari 100 liter air. Dampaknya tentu warga di sekitar lingkungan tambang sangat sulit untuk mendapatkan air bersih karena akan dikooptasi oleh perusahaan tambang," ujarnya.

Mareta Sari, salah satu pemohon yang berasal dari Kalimantan Timur, juga mengungkapkan kesaksiannya mengenai dampak buruk tambang di kampung halamannya. 

"Dampak dari adanya kegiatan pertambangan ini telah mengakibatkan pencemaran lingkungan, khususnya sumber air bersih bagi kampung-kampung yang tidak jauh letaknya dari tambang. Jika warga berusaha menolak tambang dan memprotes kegiatannya, tidak jarang mereka akan dikriminalisasi," kata Mareta.

Tim Advokasi berharap agar ormas keagamaan tidak terlibat dalam bisnis tambang dan kembali fokus pada peran sosial mereka, yaitu mensejahterakan umat melalui pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Editor:Tri