Festival Banyu Sekara
Melalui karya ilmiahnya, Jhe Mukti menjelaskan perlunya peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst. Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem karst ada tiga.Pertama, melaksanakan penjagaan dan patroli bersama masyarakat atau melalui pembentukan kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) atau sejenisnya. Kegiatan ini merupakan bagian dari sistem keamanan untuk mencegah terjadinya kegiatan yang dapat merusak ekosistem karst dan pelaporan apabila terjadi gangguan keamanan serta kegiatan illegal lainnya, antara lain seperti penambangan, kebakaran lahan, dan perburuan satwa.Kedua, mendorong peningkatan produktivitas masyarakat melalui pelatihan atau bimbingan teknis keterampilan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pemberian bantuan modal kerja. Bentuk pelatihan antara lain untuk pengenalan dan pembuatan bibit, pemasaran dan pengembangan produk hasil hutan non kayu pada ekosistem karst agar masyarakat dapat mandiri.Ketiga, melakukan dialog dan mediasi dengan perseorangan, dunia usaha dan pihak terkiat lainnya untuk memberikan pemahaman atas kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta aktivitas illegal lainnya pada ekosistem karst.Kegiatan perlindungan ekosistem karst itu memiliki dua target. Pertama, pengelolaan kawasan konservasi resapan air, dengan mempertahankan fungsi hutan lindung atau dengan pengembangan kawasan pertanian yang tetap memperhatikan resapan air. Kedua, pengendalian pembuangan limbah padat dan cair baik dari industri maupun rumah tangga dan bangunan-bangunan lainnya.[caption id="attachment_14609" align=aligncenter width=750] Menghitung debit dan pemetaan potensi sungai bawah tanah/Foto: @simaswatantra (Instagram)[/caption]Dalam karya ilmiahnya, Jhe Mukti juga menceritakan bahwa ia dan warga Kecamatan Panggul sudah mulai melakukan kegiatan perlindungan kawasan karst dengan mengadakan Festival Banyu Sekara. Bersama teman-temannya di Sima Swatantra Indonesia, Jhe Mukti mendorong terbangunnya kolaborasi dengan semua pihak guna penataan ekosistem karst dan pengelolaan sumberdaya air untuk masyarakat di Kabupaten Trenggalek.“Kalau festival banyu sekara itu momentum yang kita buat untuk mengampanyekan soal karst. Apalagi yang utamanya soal hidrologinya, jadi lebih mendekatkan ke masyarakat, istilahnya memantik ingatan masyarakat bahwa dulu itu orang-orang tua kita lebih memahami ruang hidupnya. Kita tidak membawa sesuatu yang baru tapi kita merefresh ingatan aja. Bahwa perlakuan di kawasan karst itu seperti apa. Mengingatkan kembali bahwa orang-orang dahulu itu lebih perhatian dengan kondisi lingkungannya,” jelas Jhe Mukti.Menurut Jhe mukti, istilah Banyu Sekara menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang dahulu lebih perhatian dengan kondisi lingkungannya. Banyu Sekara adalah istilah lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebutkan air yang keluar dari gua atau air yang mengandung kapur.“Mengistilahkan air dari gua itu ya biasanya cuma air bawah tanah aja. Dan di sini [Trenggalek] ada istilah Banyu Sekara yang dibuat oleh orang-orang dahulu untuk menyebutkan air yang mengandung kapur dan airdari gua. Sedangkan sumber air lain yang dari tanah atau air sumber yang tidak mengandung kapur itu diistilahkan dengan nama Banyu Pengging. Berarti kan orang orang dahulu sudah paham bagaimana jenis-jenis air,” cerita Jhe Mukti.[caption id="attachment_14608" align=aligncenter width=750] Aliran sungai bawah tanah yang terhubung ke sungai permukaan/Foto: @simaswatantra (Instagram)[/caption]Menjaga Kawasan Karst Trenggalek
Sejak 2015, Jhe Mukti dan teman-temannya sudah mencari istilah-istilah lokal yang akan digunakan sebagai bahan kampaye terhadap perlindungan kawasan karst di Trenggalek. Ia juga aktif menjelaskan apa itu karst dan bagaimana fungsinya, kepada masyarakat.“Yang selalu kita obrolkan dengan masyarakat itu, kita tanyakan kondisi airnya dulu. Dulu airnya kayak gini gak? Mulai kapan air itu susah? Mulai kapan ketika hujan deras itu lalu banjir? Kita kembali ke memori masyarakat bahwa alam mereka dulu tidak seperti itu. Ketika mereka sudah menjelaskan, kita kembali menjelaskan bahwa wilayahnya adalah wilayah karst,” ucap Jhe Mukti.“Kita kasih contoh bahwa karst itu adalah spon alami. Kita kasih sampel busa yang atasnya kasar. Kalau atasnya gundul, maka aliran air itu akan berkurang. Karena di atas karst itu jarang ada pengikat seperti tanaman. Akhirnya ingatan mereka kembali. Bahwa memang harus dilindungi wilayah karst sebagai tangkapan airnya. Ya harus pelan pelan sih,” tambahnya.Bagi Jhe Mukti, yang paling penting adalah komitmen bersama dalam perlindungan karst. Jhe Mukti berharap, apa yang sudah ia gagas dan lakukan untuk melindungi kawasan karst juga bisa menjadi perhatian utama bagi pemerintah, baik desa maupun Kabupaten Trenggalek.“Di tataran masyarakat itu juga peduli dengan kondisi lingkungan atau ruang hidupnya. Di tingkatan pemerintah desa itu juga bisa diinisiasi bahwa wilayah desanya itu berada di kawasan ekosistem karst, yang butuh perlakuan khusus. Makanya di desa juga perlu adanya semacam Rencana Tata Ruang Wilayah Desa. Sehingga pembangunan desanya bisa lebih berkolaborasi dengan kondisi lingkungannya,” terang Jhe Mukti.“Sementara di tataran Pemerintah Kabupaten Trenggalek, yang dibutuhkan adalah komitmen di arah pembangunannya. Di RPJMD dan segala macamnya, atau upaya-upaya legislasi untuk perlindungan atau perlakuan wilayah karst itu bagaimana. Komitmen di situ ya yang kita harapkan benar-benar dilakukan oleh pemerintah daerah,” harapnya.[caption id="attachment_14610" align=aligncenter width=750] Jhe Mukti (kanan) saat melakukan penataan karst di goa bawah tanah/Foto: @simaswatantra (Instagram)[/caption]Sayangnya, harapan Jhe Mukti itu kurang diperhatikan oleh Pemkab Trenggalek. Seharusnya, kata Jhe Mukti, Pemkab Trenggalek membentuk Peraturan Daerah Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perda RPPLH) sebagai bentuk upaya melindungi kawasan karst. Tapi, Pemkab Trenggalek hingga hari ini belum memiliki Perda RPPLH.“Ketika msyarakat sudah bergerak untuk melindungi kawasan karst, ternyata yang di atas [Pemkab Trenggalek] yang memiliki kebijakan malah tidak serius. Kita tahu bahwa pemerintah akan selalu berasalan bahwa tidak memiliki paying hukumlah segala macam. Nah sebenarnya kan itu tugas pemerintah untuk menyediakan payung hukum. Padahal masyarakat sudah serius untuk melindungi ruang hidupnya,” tegasnya.“Makanya perlu komitmen bersama untuk melindungi kawasan karst. Harusnya menjadi tugasnya Dinas Lingkungan Hidup untuk menyampaikan ruang hidup masyarakat Trenggalek itu seperti ini lho. Tapi sampai skerang Perda RPPLH nya gak ada. Ya mana komitmennya?” kritik Jhe Mukti.Meskipun saat ini Pemkab Trenggalek tidak serius, Jhe Mukti dan teman-temannya tetap optimistis untuk bergerak bersama masyarakat Trenggalek. Sebab, masyarakat Trenggalek tinggal di ruang hidup yang sama, yaitu kawasan karst. Sehingga perlu kesepahaman bersama untuk memberikan perlakuan-perlakuan khusus terhadap kawasan karst.“Ini yang sebenarnya pengin kita kabarkan. Bahwa ada beberapa pola yang bisa kita gunakan untuk merawat wilayah karst. Kita juga ingin menciptakan forum-forum lain bahwa masyarakat di Trenggalek itu punya perhatian besar untuk memperlakukan karst, walaupun belum jadi arus utama dalam pembangunan oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek,” tandas Jhe Mukti.Kabar Trenggalek - Mata Rakyat