Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
sorot

Catatan Akhir Tahun 2024: Potret Buram Kekerasan Seksual di Pesantren, Ironi yang Memilukan di Kabupaten Layak Anak

Di balik predikat 'Kabupaten Layak Anak', Trenggalek justru mencatat realitas kelam: rentetan kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang disebut sebagai fenomena gunung es.

  • 31 Dec 2024 20:00 WIB
  • Google News

    Poin Penting

    • Predikat "Kabupaten Layak Anak" yang diterima Trenggalek bertentangan dengan fakta maraknya kasus kekerasan seksual di pesantren.
    • Faktor budaya patriarki, taklid buta dan kurangnya pengawasan efektif menjadi penyebab utama kasus tersebut.
    • Pemerintah dan lembaga masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan pencegahan untuk melindungi hak-hak anak.

    Nama Pemerintah Kabupaten Trenggalek menggema di tengah keriuhan Puncak Peringatan Hari Ibu ke-96 Provinsi Jawa Timur di Dyandra Convention Center, Surabaya, Kamis (19/12/2024).

    Tak berselang lama, Mochamad Nur Arifin dengan wajah sumringah naik panggung diiringi tepuk tangan bergemuruh. Sesaat, Bupati Trenggalek itu tersenyum ketika menerima secarik kertas yang dipigura sembari menjabat tangan Pj Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono. Sebuah penghargaan pada Pemerintah Kabupaten Trenggalek karena komitmennya menuntaskan permasalahan perempuan dan anak.

    Konon, penghargaan ini diberikan karena Pemkab Trenggalek mendirikan Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), memiliki musyawarah khusus untuk perempuan, anak dan disabilitas, serta 5.000 pengusaha perempuan yang terus bertambah setiap tahun. 

    Prestasi ini melengkapi rentetan penghargaan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, Kabupaten Trenggalek tercatat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) kategori Nindya.  Penurunan signifikan angka perkawinan anak dari 7,8% di tahun 2021 menjadi 3,5% di tahun 2022 diklaim sebagai keberhasilan pemerintah daerah. Penghargaan KLA ini diperoleh Bumi Menak Sopal kedelapan kalinya.

    Ironisnya, di tengah penghargaan yang bertubi-tubi, kasus kekerasan terhadap anak juga mengalami tren kenaikan. Data Polres Trenggalek: tahun 2021 terjadi 5 kasus anak, tahun 2022 ada 12 kasus dan tahun 2023 sebanyak 12 kasus. Puncaknya, pada tahun 2024, yakni 14 kasus.

    Fenomena ini justru memicu tanda tanya: Di balik prestasi dan penghargaan, Trenggalek masih harus menjawab pertanyaan: Apakah anak-anak di kabupaten ini benar-benar aman dan terlindungi?

    Gunung Es Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren

    Sembari menopang dagu, remaja putri berkerudung coklat dan bergamis biru dongker itu duduk di pondasi tiang atap pada Minggu (22/9/2024) pagi itu. Dia tercenung menatap lalu lalang massa di areal Pondok Pesantren, di Kampak, Trenggalek. Kawasan yang pernah dihuninya bertahun-tahun untuk menuntut ilmu namun justru meninggalkan kenangan kelam.

    Di samping wanita belia ini, seorang ibu yang mengenakan gamis bermotif kembang-kembang menggendong bayi. Sesekali, tangan remaja putri ini mengelus bayi yang usianya dalam hitungan bulan itu.

    Sementara, ayahnya, keluarga besar dan para-warga menjelajahi ruangan di dalam pondok, mencari Supar. Mereka menuntut pertanggungjawaban pengasuh pondok pesantren itu, karena perbuatan cabul pada santriwatinya. Sejak umur 13 tahun, santriwati ini menjadi korban pencabulan hingga usia 19 tahun, dia melahirkan bayi.

    Aksi massa dilakukan karena buntunya proses hukum kala itu. Laporan pada kepolisian tak kunjung berlanjut, hingga massa memutuskan beraksi sendiri.

    Pada akhirnya, Polres Trenggalek turun tangan. Menetapkan tersangka dan menahan Supar. Bahkan, tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) juga akhirnya menguatkan jika Supar merupakan ayah biologis bayi dari korban pencabulan itu.

    Sebelum kasus Kampak, sekitar bulan Maret 2024, kasus kekerasan seksual di pondok pesantren Karangan menghentak nurani publik, karena melibatkan bapak dan anak sekaligus: Masduki, pengasuh pondok dan anaknya, Faishol. Korbannya diduga 12 santriwati di bawah umur. Uniknya, bapak anak ini tidak saling mengetahui aksi pencabulan masing-masing.

    Rangkaian kasus ini seperti membuka tumpukan lembaran hitam pondok pesantren dalam beberapa tahun sebelumnya, yang terdekat pada tahun 2021, ketika seorang pengajar pondok pesantren di Kecamatan Pule melakukan kekerasan seksual terhadap 34 santriwati. Pelaku divonis 18 tahun penjara.

    Sementara, Supar masih dalam persidangan, Masduki dan Faishol sudah diganjar hukuman penjara 9 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

    Hukuman yang belum sampai ambang batas maksimal, mengingat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 76 memberikan acuan rentang hukuman penjara 5-15 tahun dan/atau denda Rp 200 juta - Rp 5 miliar bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak.

    Bak fenomena gunung es, aksi kekerasan seksual di pesantren hanya tampak ujungnya saja. Hanya sedikit kasus yang terlihat. Waktu yang akhirnya membuktikan, satu demi satu kasus terkuak.

    Fenomena ini diamini  oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Ini kasus-kasus yang tertutup di lingkungan tertutup. Hanya sedikit yang berani speak up.

    “Jadi kasus kasus seperti ini kalo dibilang banyak, ya, memang banyak. Tapi kemudian persoalannya lebih banyak korban yang tidak berani melaporkan,” kata Haris Yudhianto, Wakil Ketua LPA.

    Fenomena gunung es kekerasan seksual di pesantren Trenggalek membangkitkan pertanyaan tentang kegagalan sistem. Apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding pesantren?

    Taklid Buta dan Budaya Patriarki di Balik Dinding Pesantren

    Aksi tak terpuji di balik dinding pesantren yang tertutup itu mirisnya terjadi bertahun-tahun dengan korban yang tak sedikit. Misalnya, di Pesantren Karangan, perilaku cabul berlangsung 3 tahun. Jumlah korban diduga 12, namun hanya 4 korban yang berani melapor ke polisi.

    Ragam modus ditunjukkan pengasuh ponpes dalam menjalankan aksi cabulnya. Menyuruh santriwati membersihkan kamar tidur. Iming-iming uang Rp100 ribu - Rp150 ribu. Mirisnya, mereka juga menggunakan dalil agama yang dipelesetkan. 

    “Ada yang disuruh bersih kamar, kemudian ada yang didatangi di ruang tamu, dan macam-macam modusnya,” terang AKP Zainul Abidin, Kasatreskrim Polres Trenggalek.

    Semua tak lepas dari faktor sosial budaya, posisi kuasa patriarkis pengasuh pesantren yang memiliki otoritas absolut untuk memperkuat kekuasaan dan kontrol atas santri. Budaya patriarki sering menganggap perempuan sebagai objek seksual dan mengabaikan kesetujuan mereka.

    Terlebih ruang di pesantren tak memberikan sekat pengasuh dan santri. “Misal, kalau ada pertemuan di publik, mereka terpisah tapi ada waktu tertentu antara kiai atau pengasuh pondok memanggil santri perempuan sendiri. Bicara di ruang tertutup dan sangat dekat. Tidak ada kontrolnya,” kata Haris Yudhianto.

    Dari faktor psikologis, ada pandangan maskulin pengasuh pesantren yang menganggap kekerasan sebagai bentuk kekuatan.

    Hal ini didukung posisi kuasa pengasuh yang memanipulasi dan mengontrol emosi santri. Sementara, santri dihinggapi budaya taklid buta yang mengikuti apapun kehendak pengasuhnya, meski itu menyalahi norma.

    Lalu, dari faktor struktural, lembaga pesantren seringkali tidak memiliki mekanisme pengawasan efektif. Santri justru sering terisolasi dari masyarakat luas, memperburuk akses ke bantuan.

    Selain itu, faktor agama juga mempengaruhi.  Ada interpretasi agama yang salah: pengasuh mungkin menggunakan agama untuk membenarkan kekerasan. Sementara, santri tidak mendapatkan edukasi agama yang tepat tentang hak-hak perempuan.

    Fenomena ini terjadi pada kasus kekerasan seksual pondok pesantren Karangan. Masduki, pengasuh pondok menggunakan dalil agama untuk meyakinkan korban mengikuti kehendaknya. Pelaku mengutip isi kitab Adabul Murid, yang menyatakan bahwa murid harus patuh pada gurunya.  

    Budaya taklid buta di pesantren berbahaya. Dapat menyebabkan kemunduran umat manusia. Kepatuhan hanya boleh jika menuju kebaikan, bukan keburukan.

    Hal ini ditekankan Tsamrotul Ayu Masruroh dari Front Santri Melawan Kekerasan Seksual. Dia menekankan pentingnya santri melawan siapapun di lingkungan pesantren yang memaksa hubungan seksual.

    “Santri harus kritis dan tidak asal menurut. Ubah budaya kepatuhan berlebihan dengan menumbuhkan budaya kritis dan egaliter,” katanya.

    Mengobati Luka Psikologis pada Korban

    Maksud hati menuntut ilmu pondok pesantren, apa daya justru meninggalkan luka batin yang dalam.

    Kekerasan seksual meninggalkan trauma psikologis mendalam pada korban, mempengaruhi aspek kehidupan, termasuk emosi, perilaku dan hubungan sosial. Luka batin ini dapat menyebabkan dampak jangka pendek dan panjang yang signifikan.

    Dampak jangka pendek, korban kekerasan seksual di antaranya mengalami stres, kecemasan, depresi dan perasaan putus asa.

    Sementara, dampak jangka panjang, trauma psikologi dapat berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi kronis dan kecemasan.

    Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Anak Trenggalek menyediakan tenaga dan pendampingan hukum.

    Bekerjasama dengan Dinsos P3A, LPA Trenggalek juga memberi jaminan keamanan bagi korban.

    “Untuk jaminan keamanan dan penanganan psikologis korban LPA berjalan bersama Dinsos,” ungkap Haris Yudhianto.

    Untuk mengatasi trauma psikologi, korban memerlukan dukungan yang tepat. Konseling psikologi, terapi trauma dan dukungan keluarga serta teman sangat penting.

    PMA No. 73 Tahun 2022 Belum Optimal Cegah Kasus Kekerasan Seksual, Kenapa?

    Maraknya kasus kekerasan seksual direspon oleh Kementerian Agama yang mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022. Aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama ini memuat tujuan, definisi dan jenis kekerasan seksual hingga sanksi bagi pelanggar.

    Namun, implementasinya jauh panggang dari api. PMA No. 73 Tahun 2022 belum efektif untuk meminimalisir kekerasan seksual di pesantren. Kenapa? Banyak faktor. Di antaranya, regulasi tersebut kurang dipahami oleh pengelola pesantren dan santri.

    Budaya patriarkis dan otoritarian, stigma dan ketakutan melaporkan kasus, serta kurangnya kesadaran tentang hak-hak anak juga mempengaruhi. Keterisolasi santri dari masyarakat dan keterbatasan akses ke layanan kesehatan mental juga menjadi faktor.

    Regulasi tersebut juga memiliki keterbatasan, seperti kurangnya detail tentang prosedur penanganan kasus, tidak ada sanksi tegas bagi pelanggar dan kurangnya regulasi tentang pengawasan terhadap pengasuh.

    Kementerian Agama Trenggalek sudah melakukan sosialisasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sesuai PMA Nomor 73 Tahun 2022.  Namun, Kemenag Trenggalek tidak mampu memastikan apakah pesantren benar-benar menjalankan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual atau tidak.

    “Kami manusia biasa, bukan malaikat. Jadi kami sudah berusaha sekuat mungkin. Melakukan penguatan-penguatan di sana-sini. Ternyata masih ada kasus di pondok pesantren Karangan tersebut,” ucap Mohammad Nur Ibadi, Kepala Kemenag Trenggalek.

    Pertanyaan besar tetap menggantung: Apakah Kementerian Agama telah melakukan supervisi yang memadai dan efektif dalam implementasi PMA No. 73 Tahun 2022? Mengapa regulasi ini belum mampu mencegah kasus kekerasan seksual di pesantren secara signifikan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan keberhasilan pencegahan kekerasan seksual di pesantren dan melindungi hak-hak anak.

    Bagaimana Membangun Wilayah Aman bagi Anak di Pesantren?

    Di balik predikat 'Kabupaten Layak Anak', Trenggalek masih perlu menghadapi kenyataan pahit kasus kekerasan seksual yang merusak kehidupan anak-anak di pesantren.

    Pemerintah Kabupaten Trenggalek menegaskan komitmen memberikan pendampingan pada korban kekerasan seksual, dari aspek hukum hingga psikologi. "Kita dukung aparat kepolisian menegakkan keadilan," kata Mochamad Nur Arifin, Bupati Trenggalek.

    Nur Arifin menambahkan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren maupun lembaga pendidikan menjadi perhatian serius dari seluruh komponen pemerintah dan masyarakat.

    Sementara, MUI menyatakan harus ada ketegasan sebagai efek jera. Tak cukup hanya hukum saja, pesantrennya juga harus ditutup. “Biar ini pertama menjadi penjeraan bagi pelaku sebagai tersangka, warning bagi pengasuh pondok-pondok yang lain agar berpikir panjang untuk melakukan ini,” ungkap Agus Zahro Wardi, Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Trenggalek.

    LPA menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran dan pencegahan untuk mengurangi kasus ini. Menurut Haris Yudhianto, kesadaran tentang kekerasan seksual harus ditingkatkan di semua elemen pondok pesantren.

    Standarisasi lembaga dan pengawasan ketat sangat penting. Standar operasional prosedur (SOP) pengelolaan pondok pesantren harus jelas dan terkontrol.

    Untuk itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan peraturan dan kebijakan pencegahan. Pondok pesantren harus memiliki SOP yang jelas dan terkontrol. Edukasi tentang kekerasan seksual harus diberikan secara teratur.

    Edukasi agama yang tepat tentang hak-hak perempuan juga sangat penting. Pengembangan peraturan dan kebijakan pencegahan yang efektif serta keterlibatan masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan dan penanganan kasus juga diperlukan. Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas) harus dioptimalkan untuk memantau dan menangani kasus.

    Wakil Ketua LPA Trenggalek Haris Yudhianto melihat Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak Trenggalek tidak bisa maksimal jika tidak dijadikan prioritas.

    “Memang dibentuk kemudian tidak ada anggaran yang tidak signifikan ditujukan untuk itu (satgas), ya sulit jalan,” tukas Haris.

    Penegakan hukum yang tegas, komitmen kuat dan respon cepat dalam pengusutan kasus kekerasan seksual pada anak perlu ditunjukkan oleh kepolisian dan kejaksaan. Pengadilan perlu memberikan atensi dengan menekankan hukuman seberat-beratnya sebagai efek jera bagi pelaku dan warning bagi khalayak.    

    Pemkab Trenggalek perlu memiliki effort lebih untuk pemberantasan kasus kekerasan seksual. Kurangnya sumber daya (anggaran, tenaga kerja serta fasilitas) untuk mendukung program pencegahan harus diatasi. Berkolaborasi dengan Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta berbagai elemen masyarakat

    Ragam program pencegahan kekerasan seksual bukan lagi sekadar seremonial yang bersifat simbolik. Pemantauan dan evaluasi program yang berjalan harus dilakukan.

    Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, Kabupaten Trenggalek seharusnya menjadi "Kabupaten yang Benar-Benar Layak Anak" – sebuah wilayah yang aman, nyaman dan melindungi hak-hak anak, memungkinkan mereka tumbuh dengan baik dan mencapai potensi maksimal.


    Penyusun editorial : Danu S (Pemimpin Redaksi Kabar Trenggalek)