Kabar Trenggalek - Warga Pulau Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, melaporkan dugaan aktivitas tambang emas yang dilakukan oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS), pada Kamis (13/01/2021). Laporan itu ditujukan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Utara, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) hingga Presiden Jokowi.Informasi itu disampaikan oleh rilis pers Koalisi Save Sangihe Island (SSI). Berdasarkan rilis itu, pada Kamis (13/01/2022) kembali digelar sidang gugatan Warga Pulau Sangihe di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan Menteri ESDM dan PT TMS. Agenda sidang yaitu sidang acara pembuktian dengan mendatangkan tiga orang saksi fakta dari pihak penggugat dan penggugat intervensi.Alasan pelaporan dugaan tambang emas illegal PT TMS adalah sebagai berikut:
- PT TMS tidak memiliki Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagaimana ketentuan Pasal 26A ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara eksplisit melarang PT TMS melakukan aktivitas pertambangan emas di Pulau Sangihe karena tidak memiliki izin pemanfaatan pulau: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapatkan izin Menteri.
- Penambangan mineral di pulau-pulau kecil di larang sebagaimana ketentuan Pasal 35 huruf k UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, berbunyi: Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
- Pasal 134 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2021 Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Minerba, berbunyi : Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[caption id="attachment_8786" align=aligncenter width=1080]
Poster aksi tolak PT Tambang Mas Sangihe di Pulau Sangihe di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Utara/Foto: @save.sangihe (Instagram)[/caption]
Baca juga: Jokowi Berkunjung ke Trenggalek, Warga Kampak Suarakan Tolak Tambang EmasSidang berlangsung dengan kehadiran tiga orang saksi dari warga Pulau Sangihe. Semua pihak hadir ke persidangan, kuasa hukum penggugat utama, kuasa hukum penggugat intervensi, kuasa hukum tergugat Intervensi yakni PT. TMS. Tapi kuasa hukum dari tergugat utama, Menteri ESDM RI tidak hadir.Sejak pukul 13.00 - 15.00 WIB, sidang berlangsung dengan tiga orang saksi fakta dengan latar belakang yang berbeda asal Pulau Sangihe. Saksi tersebut yaitu Robison Saul asal Desa Sowaeng, Pulau Sangihe. Robison menjelaskan tentang kerugian neyalan dan keterancaman nelayan, pesisir mangrove dan pulau-pulau kecil.Berikutnya, Arbiter, seorang pensiunan Guru PNS asal Desa Salurang, Pulau Sangihe. Arbiter menjelaskan tentang masa depan anak-anak, serta tragedi hilangnya air bersih akibat aktivitas tambang PT TMS. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa selama ini warga Pulau Sangihe menyekolahkan anaknya hingga ke unversitas dari hasil neyalan dan pertanian Bukan pertambangan.Terakhir Samsared, asal Desa Soataloaba II, seroang pegiat lingkungan dan burung. Samsared memberikan kesaksian tentang ancaman tambang di pulau kecil yang terdapat gunung api aktif bawah laut dan darat, akan membuat warga jadi pengungsi yang bingung akan ke mana. Selain itu, keterancaman burung endemik dan satu-satunya di dunia, Burung Niu, di Gunung Sandarumang juga terancam punah.
Baca juga: Alam Terancam Rusak, Inilah Daftar Desa di Trenggalek yang Masuk Konsesi Tambang Emas PT SMNDi Balik Izin Tambang Emas PT TMS
SSI melakukan penelusuran di Modi ESDM, yang menunjukkan data PT TMS dimiliki 70% oleh Sangihe Gold Corporation, korporasi tambang asal Kanada. Kemudian komposisi 30% kepemilikan sisanya diambil oleh perusahaan lokal.PT TMS melaksanakan kegiatan dengan dasar Kontrak Karya (KK) status operasi produksi dengan bentuk kegiatan praktik di lapangan memasukkan alat berat dan memulai kegiatan konstruksi. Selain itu, PT TMS telah menyebabkan rusaknya sarana instalasi air masyarakat sejak tanggal 21 Oktober 2021.“Walaupun kemudian PT TMS segera memperbaikinya, akan tetapi masyarakat Desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulaun Sangihe, telah terganggu pasokan air bersih selama sekitar 4 hari,” tulis SSI.Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM dan menyatakan bahwa Kontrak Karya PT TMS Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS dengan masa berlaku sejak sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054, secara hukum tidak punya legitimasi dan itu bukanlah izin.“Perlu dipahami juga bahwa nomenklatur Kontrak Karya [KK] untuk pertambangan mineral sudah tidak dikenal lagi sejak 2009 berdasarkan UU Minerba 4/2009. Begitu juga dengan perubahan UU Minerba 3/2020, bahkan juga dengan putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 Pasal 169A mengenai proses perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),” ujar Advokat yang membela Warga Pulau Sangihe itu.[caption id="attachment_8787" align=aligncenter width=1080]
Aksi tolak PT Tambang Mas Sangihe di Pulau Sangihe di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Utara/Foto: @save.sangihe (Instagram)[/caption]
Baca juga: Warga Kampak dan Watulimo Bersolidaritas Tolak Tambang Emas TrenggalekJamil menjelaskan, jika suatu Kontrak Karya (KK) pertambangan berakhir dan ingin diperpanjang, maka wajib melalui proses evaluasi dan memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Jika lulus evaluasi dan memenuhi syarat, maka dapat diperpanjang dengan masa waktu 10 tahun dan tidak boleh lagi Kontrak Karya (KK), tapi harus berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Serta dapat diperpanjang sekali lagi untuk jangka waktu 10 berikutnya.Sementara yang terjadi pada PT TMS pada tahun 2021 diperpanjang oleh Dirjen ESDM RI atas nama Ridwan Jamaluddin, dengan masa 33 tahun hingga 2054. Statusnya masih tetap Kontrak Karya (KK), tidak menjadi IUPK.“Jelas ini tindakan yang melampaui hukum a-legal. Oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan PT TMS sudah sepatutnya dinyatakan illegal karena Kontrak Karya (KK) tersebut tanpa legitimasi hukum. Hal ini tentu merupakan pelanggaran Pasal 158 UU Minerba 3/2020 yang menyatakan
Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), terang Jamil.
Baca juga: Dampak Tambang Emas, Warga Kampak Harus Siap Hadapi Tanah Longsor dan Banjir Skala BesarDugaan Bisnis Keamanan PT TMS dan Negara
Helmy Hidayat Mahendra, anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa upaya untuk tetap melakukan penambangan di Pulau Sangihe dengan jelas mencederai UU Nomor 1 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007. Peraturan itu menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang di dalamnya tidak ada penambangan sebagai poin pemanfaatan pulau-pulau kecil.Selain itu, lanjut Helmy, upaya PT TMS untuk terus melanjutkan proses penambangannya di Pulau Sangihe akan dapat berpotensi untuk terjadinya upaya pelanggaran HAM terkait hilangnya hak atas tempat tinggal, terancamnya hak atas lingkungan hidup, terancamnya hak atas pekerjaan yang layak, dan semakin buruknya akses terhadap informasi.Helmy menduga, ada pola-pola bisnis keamanan yang terjadi di Pulau Sangihe. Menurut penjelasan Helmy, bisnis keamanan adalah usaha yang dilakukan pihak negara atau non-negara untuk menunjang aktivitas bisnis yang saat ini sedang di prioritaskan oleh Presiden Jokowi. Bisnis keamanan bisa dikerjakan oleh negara ataupun perusahaan swasta.[caption id="attachment_8785" align=aligncenter width=1080]
Poster tolak PT Tambang Mas Sangihe di Pulau Sangihe di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Utara/Foto: @save.sangihe (Instagram)[/caption]
Baca juga: Warga Pakel Banyuwangi Dihajar oleh Puluhan Polisi dan Diancam Ditembak“Nah dalam konteks sangihe, kami menduganya, ada korelasi antara
private company [perusahaan swasta] dengan negara. Selain itu masalahnya kepentingan bisnis saat ini seringkali ditabrakkan dengan kepentingan masyarakat, yang seharusnya pihak
state actors [aktor negara] berada di kutub netral, bukan memihak pada korporasi,” jelas Helmy saat dikonfirmasi jurnalis kabartrenggalek.com.Menurut Helmy, upaya untuk terus mendorong adanya pertambangan di suatu wilayah juga memunculkan potensi keamanan yang ada di wilayah tersebut. Pembiaran pertambangan, kata Helmy, juga memunculkan konflik bisnis keamanan yang berbahaya bagi masyarakat untuk beraktivitas.SSI kembali memperingatkan bahwa mereka sangat menyayangkan jika kegiatan PT TMS yang notabene tidak didukung dengan Izin-Izin yang absah, ternyata mendapat pengawalan dari aparat kepolisian setempat.“Kondisi itu secara nyata telah mencederai rasa keadilan masyarakat [
sense of justice], serta tidak berlangsungnya asas hukum
equality before the law [persamaan di depan hukum] serta merupakan peristiwa pergelaran di hadapan publik luas dan rakyat Sangihe tentang perbuatan melawan hukum yang dikawal oknum-oknum aparat Kepolisian Negara,” tandas SSI.Baca juga tulisan lainnya di kabartrenggalek.com tentang
LINGKUNGAN