KBRT – Di teras rumahnya yang setengah tertutup tumpukan batu, Sunardi (63) menata gaplek di atas tampah bambu. Dari halaman yang dulu hijau, kini hanya tersisa hamparan batu kali yang menimbun kebunnya.
Gaplek—potongan singkong kering—menjadi satu-satunya tumpuan hidupnya, setelah pohon kelapa dan buah-buahan di pekarangan rumahnya tersapu banjir dalam tiga tahun terakhir.
Jika awan gelap menggantung dan suara petir bergemuruh, rasa cemas menyelimuti warga RT 23 RW 06 Desa Ngares, Kecamatan Trenggalek. Kekhawatiran mereka bukan hanya soal gaplek yang tak kering, tapi juga ketakutan akan datangnya banjir dari Sungai Temon, yang membawa material batu dan lumpur hingga menimbun halaman rumah.
“Dulu di sini lingkungan hijau, ada taman wisata Kali Temon, tiap Minggu ramai pengunjung. Tapi sejak tahun 2022, banjir bawa material batu, merusak semuanya,” ujar Sunardi, mengenang masa sebelum bencana datang.
Daftar Isi [Show]
Lingkungan yang Hilang

Serentetan banjir sejak 2022 telah mengubah wajah lingkungannya. Ia sudah tak mampu mengingat berapa kali air bah melanda. Yang pasti, belasan kali luapan Sungai Temon menyapu pohon kelapa, singkong, hingga rambutan yang dulu tumbuh subur di kebunnya.
Kini, lahan yang dulu lebih rendah satu meter dari teras rumah, sudah setara dengan lantai akibat timbunan batu yang datang tiap banjir.
“Karena ada Bendungan Bagong, sebelum ada itu banjir nggak bawa batu seperti sekarang. Dulu tahun 2006 juga banjir besar, tapi lingkungan ini aman,” kata Sunardi.
Banjir bulan Mei 2025 menjadi puncak bencana bagi keluarganya. Istrinya, Mariyem, harus membersihkan lumpur yang masuk rumah selama tiga hari penuh. Akibatnya, kedua kakinya terinfeksi kutu air hingga sulit berjalan selama berbulan-bulan.
Meski kini sudah sembuh, bekas luka di kakinya menjadi tanda betapa berat dampak banjir bagi mereka.
“Kalau sore atau malam hujan, sudah takut. Kami cuma mikir nyawa saja. Katanya mau dipindah, tapi nggak ada kabar. Ganti rugi juga belum ada,” ungkap Sunardi lirih.
Hilangnya Harapan di Pinggir Sungai

Beberapa meter dari rumah Sunardi, Imam Mahali (35) menunjukkan bekas pondasi warungnya yang kini tinggal puing. Warung berukuran 7x2 meter itu tersapu banjir pada November 2024.
Tak hanya warung, mushola tempat Imam mengajar anak-anak mengaji kini sepi. Anak-anak dari Dusun Sambi hingga Desa Sengon yang dulu rajin datang, tak lagi berani melintasi jalan yang kerap tertimbun batu.
“Anak saya sekarang kalau lihat air keruh langsung muntah. Bulan Mei kemarin saya ungsikan ke Blitar tiga minggu, takut kenapa-kenapa,” ucapnya.
Kerugian Imam ditaksir mencapai puluhan juta rupiah. Ia mengaku sempat diminta mencatat kerugian oleh pihak proyek Bendungan Bagong tahun 2024, namun hingga kini belum ada kompensasi.
“Dapat uang Telasih cuma 500 ribu. Warung saya hilang, pekarangan mati, itu tidak cukup apa-apa,” katanya.
Imam menyebut ada 28 jiwa dari 7 rumah yang terdampak paling parah. Selain kehilangan harta benda, mereka juga kehilangan rasa aman.
“Sekarang hidup kami seperti mati suri. Pekarangan tak bisa ditanami lagi,” tambahnya.
Rasa Tak Aman yang Terus Menghantui
Keresahan serupa dialami Hariyadi (40), kerabat Sunardi yang rumahnya juga berada di tepi Sungai Temon. Tiap kali hujan turun, ia tak bisa tidur nyenyak.
“Kalau ganti rugi, 20 juta pun nggak cukup buat perbaiki rumah saya. Ubin hilang, tembok rusak, pohon alpukat yang dulu buahnya dua kilo satu biji, semuanya mati,” ujar Hariyadi.
Menurutnya, sedikitnya 10 Kepala Keluarga (KK) kini hidup dalam rasa was-was. Mereka berharap pemerintah segera menindaklanjuti janji relokasi dan ganti rugi.
“Kalau tanah ini mau dibeli negara, kami mintanya yang pantas, bisa buat beli rumah lagi. Sekarang tinggal di sini itu seperti berjudi dengan nyawa,” tuturnya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz















