Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRTTulis Artikel

Kisah Purnomo, Pengrajin Turonggo Yakso Trenggalek yang Karyanya Mendunia

Karya barongan dan kuda yaksa buatan Purnomo, pengrajin asal Trenggalek, telah menembus pasar internasional. Ia khawatir seni tradisional tergeser versi printing.

  • 17 Oct 2025 20:00 WIB
  • Google News

    Poin Penting

    • Pengrajin barongan asal Trenggalek hasilkan karya hingga luar negeri.
    • Purnomo khawatir Turonggo Yakso printing menggeser nilai seni.
    • Pemerintah diharapkan bantu pelestarian kuda Turonggo Yakso asli.

    KBRT - Kuas kecil di tangan Purnomo bergerak perlahan, menorehkan warna pada permukaan jamangan berbahan kulit kambing. Satu per satu detail wajah raksasa yaksa muncul di atas media itu. Dalam beberapa hari lagi, karyanya akan menjadi bagian kepala barongan kesenian Turonggo Yakso simbol kebanggaan masyarakat Trenggalek.

    Pria berusia 39 tahun asal Desa Prambon, Kecamatan Tugu, itu bukan pengrajin biasa. Sejak 2013, ia menekuni pembuatan perlengkapan kesenian jaranan. Karya-karyanya bahkan telah melintasi batas negara.

    “Ini sedang mengerjakan pesanan dari luar negeri. Dulu yang pesan dari Jepang itu mahasiswa Indonesia yang ingin mengangkat Turonggo Yakso di sana,” ujar Purnomo.

    Selain Jepang, karya Purnomo juga pernah dikirim ke Singapura. Barongan dan kuda yaksa hasil buatannya digunakan oleh warga Indonesia di luar negeri untuk memperkenalkan budaya Trenggalek.

    Sebelum menjadi pengrajin, Purnomo sempat bekerja di industri mebel. Namun, panggilan jiwanya pada kesenian membuatnya berpindah haluan. Sejak saat itu, bengkel kecil di rumahnya menjadi tempat lahirnya berbagai peralatan jaranan seperti barongan, kuda yaksa, hingga properti pementasan.

    Teliti dalam membuat seni barongan dan turonggo yaksi. KBRT/Nandika

    Belakangan, Purnomo mulai resah melihat maraknya Turonggo Yakso versi printing. Meski tidak takut kehilangan pelanggan, ia merasa ada hal yang lebih penting yang terancam hilang.

    “Kalau saya sebagai pengrajin bukan khawatir orderan berkurang. Tapi saya khawatir semakin lama Turonggo Yakso printing menghilangkan ruh seninya,” katanya.

    Menurutnya, penggunaan properti jaranan hasil printing memang lebih praktis dan murah, namun membuat makna kesenian asli memudar.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    “Yang sayang itu dari aspek keseniannya. Kalau terus dibiarkan, nanti seniman pembuat Turonggo Yakso bisa hilang,” ungkapnya.

    Purnomo berharap ada peran aktif pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian kesenian Turonggo Yakso. Salah satunya, dengan mewajibkan penggunaan properti berbahan kulit asli saat pementasan atau lomba.

    “Kalau acara resmi atau festival, seharusnya diwajibkan pakai Turonggo Yakso kulit. Itu bentuk penghargaan pada seniman lokal,” ujarnya.

    Meski menghadapi tantangan, Purnomo tetap optimistis. Ia menilai, perkembangan jaranan di Kabupaten Trenggalek kini mulai tumbuh kembali di kalangan generasi muda.

    “Dulu besar-besarnya itu awal tahun 2010. Sekarang anak-anak dan pemuda mulai banyak yang terjun,” katanya.

    Setiap bulan, bengkel Purnomo bisa memproduksi tiga set barongan. Pesanan datang tak hanya dari Trenggalek, tapi juga daerah lain di Indonesia.

    “Harga bisa menyesuaikan pemesan, mulai dari dua juta sampai tujuh juta rupiah,” tuturnya.

    Dengan tekun, ia melanjutkan pekerjaannya. Setiap sapuan kuas menjadi doa agar Turonggo Yakso, warisan budaya Trenggalek, tetap hidup di tengah arus modernitas.

    Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Zamz