KBRT - Kuas kecil di tangan Purnomo bergerak perlahan, menorehkan warna pada permukaan jamangan berbahan kulit kambing. Satu per satu detail wajah raksasa yaksa muncul di atas media itu. Dalam beberapa hari lagi, karyanya akan menjadi bagian kepala barongan kesenian Turonggo Yakso simbol kebanggaan masyarakat Trenggalek.
Pria berusia 39 tahun asal Desa Prambon, Kecamatan Tugu, itu bukan pengrajin biasa. Sejak 2013, ia menekuni pembuatan perlengkapan kesenian jaranan. Karya-karyanya bahkan telah melintasi batas negara.
“Ini sedang mengerjakan pesanan dari luar negeri. Dulu yang pesan dari Jepang itu mahasiswa Indonesia yang ingin mengangkat Turonggo Yakso di sana,” ujar Purnomo.
Selain Jepang, karya Purnomo juga pernah dikirim ke Singapura. Barongan dan kuda yaksa hasil buatannya digunakan oleh warga Indonesia di luar negeri untuk memperkenalkan budaya Trenggalek.
Sebelum menjadi pengrajin, Purnomo sempat bekerja di industri mebel. Namun, panggilan jiwanya pada kesenian membuatnya berpindah haluan. Sejak saat itu, bengkel kecil di rumahnya menjadi tempat lahirnya berbagai peralatan jaranan seperti barongan, kuda yaksa, hingga properti pementasan.

Belakangan, Purnomo mulai resah melihat maraknya Turonggo Yakso versi printing. Meski tidak takut kehilangan pelanggan, ia merasa ada hal yang lebih penting yang terancam hilang.
“Kalau saya sebagai pengrajin bukan khawatir orderan berkurang. Tapi saya khawatir semakin lama Turonggo Yakso printing menghilangkan ruh seninya,” katanya.
Menurutnya, penggunaan properti jaranan hasil printing memang lebih praktis dan murah, namun membuat makna kesenian asli memudar.
“Yang sayang itu dari aspek keseniannya. Kalau terus dibiarkan, nanti seniman pembuat Turonggo Yakso bisa hilang,” ungkapnya.
Purnomo berharap ada peran aktif pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian kesenian Turonggo Yakso. Salah satunya, dengan mewajibkan penggunaan properti berbahan kulit asli saat pementasan atau lomba.
“Kalau acara resmi atau festival, seharusnya diwajibkan pakai Turonggo Yakso kulit. Itu bentuk penghargaan pada seniman lokal,” ujarnya.
Meski menghadapi tantangan, Purnomo tetap optimistis. Ia menilai, perkembangan jaranan di Kabupaten Trenggalek kini mulai tumbuh kembali di kalangan generasi muda.
“Dulu besar-besarnya itu awal tahun 2010. Sekarang anak-anak dan pemuda mulai banyak yang terjun,” katanya.
Setiap bulan, bengkel Purnomo bisa memproduksi tiga set barongan. Pesanan datang tak hanya dari Trenggalek, tapi juga daerah lain di Indonesia.
“Harga bisa menyesuaikan pemesan, mulai dari dua juta sampai tujuh juta rupiah,” tuturnya.
Dengan tekun, ia melanjutkan pekerjaannya. Setiap sapuan kuas menjadi doa agar Turonggo Yakso, warisan budaya Trenggalek, tetap hidup di tengah arus modernitas.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz