Kabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari iniKabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari ini

Press ESC / Click X icon to close

Kabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari iniKabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari ini
LoginKirim Artikel

Dalang Muda Aziz Yudha Angkat Lakon Gatotkaca untuk Kritik Kekerasan terhadap Guru di Trenggalek

Aziz Yudha mementaskan Lakon Lahirnya Gatotkaca di Tugu untuk menyampaikan pesan pendidikan karakter dan kritik atas maraknya kekerasan terhadap guru.

Poin Penting

  • Lakon Gatotkaca dipentaskan Aziz Yudha sebagai kritik kasus kekerasan guru.
  • Nilai pendidikan karakter ditekankan lewat alur cerita dan dialog tokoh wayang.
  • Aziz menilai peran orang tua dan pemerintah perlu diperkuat dalam pendidikan anak.

KBRT – Lakon Lahirnya Gatotkaca yang dipentaskan pada 22 November 2025 menjadi medium ekspresi sekaligus kritik sosial bagi Aziz Yudha Pratama (26), dalang muda asal Desa Dermosari, Kecamatan Tugu. Ia menyinggung maraknya kasus kekerasan terhadap guru yang ramai diperbincangkan belakangan ini.

Aziz, yang juga mengajar di SDN 01 Dermosari, menjelaskan bahwa nilai seperti pendidikan karakter, penghormatan kepada guru, hingga perjuangan murid mencari ilmu tersampaikan melalui lakon tersebut. Pementasan dilakukan bersama siswa SMPN 3 Tugu dalam acara Pelantikan OSIS dan peringatan Hari Wayang Sedunia.

“Gatotkaca sejak kecil sudah ditempa di kawah Candradimuka, bahkan mau dibunuh oleh raksasa. Tapi karena keajaiban Tuhan dan kebaikan, dia selamat,” ujarnya.

Aziz menceritakan bahwa Gatotkaca merupakan putra Werkudara dan Dewi Arimbi. Perjalanan Gatotkaca dalam pewayangan menurutnya selaras dengan pentingnya pendidikan karakter, yang kini dinilai belum optimal melihat maraknya kenakalan remaja dan kekerasan terhadap guru.

Ia menuturkan, sejak bayi Gatotkaca diminta para dewa untuk membantu mengatasi serangan raksasa di kahyangan. Dalam cerita, Bathara Narada membawa Gatotkaca kecil ke kahyangan sesuai perintah para dewa.

Sesampainya di kahyangan, Bathara Guru memerintahkan agar Gatotkaca diserahkan kepada raksasa yang menyerang sebagai ujian kesaktiannya.

“Gatotkaca yang masih berwujud jabang tetuka (bayi), diserahkan Narada kepada raksasa bernama Patih Sekipu. Dengan keajaiban, Gatotkaca tidak bisa dibunuh dengan cara apa pun, bahkan ketika Sekipu mencoba menelannya Gatotkaca tak dapat melewati tenggorokannya,” kata dia.

Aziz menyampaikan bahwa kepasrahan Werkudara dan Dewi Sinta menggambarkan kepercayaan orang tua kepada guru dalam mendidik anak. Mereka merelakan Gatotkaca diserahkan kepada para dewa setelah diyakinkan bahwa kelak ia tumbuh menjadi sosok bijaksana dan kuat.

Raksasa Sekipu yang gagal membunuh Gatotkaca kemudian beralasan bahwa ia tidak tega menghabisi seorang bayi. Hal itu membuat para dewa sepakat menjatuhkan Gatotkaca ke kawah Candradimuka, tempat penuh lava dan pusaka para dewa untuk menempanya menjadi kesatria.

“Dalam kawah itu, Gatotkaca digodog bersama pusaka-pusaka dewa yang sama seperti ilmu pengetahuan. Membuat Gatotkaca sekejap langsung tumbuh menjadi kesatria perkasa,” kata dia.

Setelah itu, Gatotkaca turun ke dunia menemui Semar untuk meminta petuah. Bagi Aziz, adegan tersebut menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga oleh keluarga.

“Anak muda harus ngabekti pada orang tua. Guru itu digugu lan ditiru. Tidak ada guru yang ingin murid sengsara,” ujarnya menirukan dialog Semar.

Usai menerima petuah, Gatotkaca kembali ke kahyangan untuk menghadapi Sekipu dan Prabu Nagapracana, mengakhiri serangan raksasa.

Melalui pementasan itu, Aziz ingin menyampaikan pesan mengenai kompleksitas persoalan pendidikan saat ini. Ia menilai pendidikan karakter di rumah semakin tersisihkan oleh gadget.

“Orang tua sibuk, membiarkan anak seharian dengan gadget. Walaupun mereka suka atau jadi tenang, yang anak-anak butuh itu kasih sayang dan perhatian,” kata dia.

Menurutnya, pendidikan karakter juga harus diberikan kepada orang tua agar mereka bisa mendampingi perkembangan anak. Ia menilai, dalam banyak kasus guru justru lebih memahami emosi dan karakter siswa dibanding orang tuanya sendiri.

"Orang tua sekarang butuh guru pendamping untuk mendidik anak. Tapi kadang justru orang tua yang menghakimi guru seperti kemarin,” ujarnya.

Aziz menyampaikan bahwa dunia pendidikan kini memerlukan perhatian lebih dari semua pihak, termasuk pemerintah. Ia menilai pemerintah perlu memberikan pendidikan atau sosialisasi kepada wali murid terkait pengasuhan dan pendidikan karakter di rumah.

“Seperti di cerita Gatotkaca sebagai anak, lalu difasilitasi Dewa atau pemerintah dengan kawah Candradimuka dan pusakanya, lalu dididik oleh Semar sebagai guru,” kata dia.

Ia berharap seni budaya yang terus dilestarikan dapat menjadi sarana untuk menyebarkan pesan moral dan pendidikan bagi masyarakat.

Pementasan tersebut dari komunitas Padang Ati (Pakumpulan Dalang Muda Trenggalek Nunggal Nyawiji) kerjasama dengan Sanggar Seni Gandewarastra Budaya.

Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.
Dukung Kami

Kabar Trenggalek - Sosial

Editor: Zamz