Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kepala Desa Ngarep Tambah Masa Jabatan, BPD Ngarep Imbuh Tunjangan. Pakar: Ngaca Dulu Deh

Pasca aksi demontrasi yang dilakukan 149 kepala desa Trenggalek di Jakarta pada Selasa (17/01/2023), serta aksi rapat dengar pendapat (RDP) oleh Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (ABPEDNas) dengan DPRD Trenggalek, Rabu (18/01/23), masih menuai beragam komentar dari para pengamat maupun pakar.Sebelumnya, Soeripto, direktur Non-Governmental Organization (NGO) PAMA, mengomentari perihal aksi para kepala desa yang menuntut revisi UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 39 ayat 1 tentang masa jabatan kades. Menurutnya, lama masa jabatan bukanlah tolok ukur dan menjadi jaminan akselerasi pembangunan dan kebijakan di desa bisa cepat. Namun, apakah para kades mampu menjalankan visi akselerasi percepatan pembangunan di desa?"Menurut saya bukan lama masa jabatan kades itu,” tegas pria yang pernah menjabat komisioner KPU Trenggalek 3 periode tersebut. (Baca komentarnya di tautan ini: Kades Trenggalek Minta Masa Jabatan Nambah, Pengamat: Ini Menyangkut Cost Politik Kades)Secara terpisah, Nandang Suherman, pengajar dan pakar ilmu politik anggaran dari lembaga Perkumpulan Inisiatif Jawa Barat, juga turut memberikan komentar terkait fenomena tuntutan Kades dan BPD tersebut. Menurutnya, ini merupakan fenomena yang juga terjadi di pusat (ibukota), yang mana Presiden Jokowi melalui jaringannya meminta tambah periode presiden."Saya melihatnya lebih lagi ya, meskipun joke ini setting gede tatkala sedang rame isu minta nambah di pusat, jadi menular" Ungkapnya melalui jaringan telepon saat dihubungi Kabar Trenggalek.Lebih serius, Nandang mengatakan bahwa fenomena ini sudah lama menggelinding, sejak jaman reformasi. Dulu, pemilihan kepala desa tidak banyak menarik isu politik."Sekarang ini dengan sumber daya yang bisa dikelola di desa cukup gede, akhirnya menarik orang untuk terlibat di dalamnya berkontestasi di kepala desa ini," ungkap Nandang.Nandang mengatakan, fenomena meminta tambah masa jabatan bukan soal untuk membawa kesejahteraan rakyat, melainkan bicara soal pragmatisme. Ia menilai, tambah masa jabatan terlalu jauh jika dikaitkan dengan isu kesejahteraan masyarakat."Sumber daya desa ini di satu sisi bagus karena akan terjadi seleksi, tapi di sisi lain tidak, karena sekarang ada fenomena pragmatisme, dimana terpilihnya kepala desa bukan soal bicara kepala desa namun bicara soal uang. Sehingga, ada korelasi saat menambah masa jabatan itu juga bagian untuk mengembalikan ongkos politik," tegas Nandang.Nandang tak bicara sembrono, berdasarkan pengamatannya, hampir jarang kepala desa memperjuangkan kesejahteraan warganya dengan berjerih payah mendatangi Jakarta. Misalnya, untuk memperjuangkan aturan bagian-bagian desa dan hak-hak wilayah desa. Tapi, ketika berbicara mengenai diri sendiri, para kepala desa sangat bersemangat.Terlebih berkaitan dengan perilaku kepala desa dalam hal pengelolaan keuangan saat ini cenderung sangat tertutup untuk publik. Hanya elit-elit desa saja yang mengetahui untuk apa pendapatan desa itu digunakan."Iya rata-rata kepala desa tidak ingin keuangannya dikontrol publik, itu menunjukkan fenomena yang buruk" ucap Nandang.

Harus Ada yang Mengingatkan Kepala Desa

Terlepas dari apa kepentingan demo kepala desa ke Jakarta, menurut Nandang, mestinya harus ada peringatan dari warga masyarakat kepada kepala desa setempat.Peringatan itu harusnya menegaskan, bahwa desa itu milik warga desa, bukan milik kepala desa. Oleh karenanya, jabatan kepala desa harus dibatasi, harus ada pergantian, harus ada seleksi dan ada kontrol supaya tidak mengarah pada pemerintahan absolut yang korup."Jadi adagiumnya begini, power trends to corrupt, absolut power trend to corrupt absolutely, kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak, pasti akan disalahgunakan," papar Nandang.Masih menurut Nandang, 9 tahun masa jabatan kepala desa dinilai terlalu lama dan tidak sehat bagi demokrasi. Dua kali terpilih bakal berlangsung 18 tahun lamanya. Bagi kepala desa yang ingin meniti karir lebih tinggi atau bagi warga desa yang ingin menjadi kepala desa, tentu akan lama menunggu.Nandang mewanti-wanti kepada para kepala desa supaya melakukan introspeksi diri dan tidak berorientasi pada biaya politik yang dikonversi dengan perpanjangan masa jabatan."Mending introspeksi diri aja deh para kepala desa ini," imbuh lelaki yang pernah jadi Dewan Nasional Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA) tersebut.Saat ditanya terkait masa jabatan kepala desa selama 6 tahun, justru Nandang mengatakan bahwa itu kelamaan, menurutnya 5 tahun sudah cukup.

BPD Harusnya Ngaca Diri

Menyoal hearing yang dilakukan asosiasi badan permusyawaratan desa nasional (ABPEDNas) dengan DPRD Kabupaten Trenggalek soal meminta kenaikan jatah tunjangan, Nandang juga berkomentar. Ia menilai, kondisi BPD saat ini kurang fungsional, sebab di desa-desa fungsi BPD kurang efektif."BPD tidak efektif melakukan fungsi kontroling kepada pemerintah desa, dengan adanya peran dominan dari kepala desa saya rasa peran BPD sudah bergeser dari spirit awal kelahirannya yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999," terang Nandang.Dengan menuntut kenaikan tunjangan tersebut, lanjut Nandang, BPD juga harus ngaca diri dan introspeksi. Nandang mempertanyakan, kenapa yang dipikirkan BPD soal tunjangan padahal jabatan BPD bukanlah pekerjaan? BPD masih bisa melakukan pekerjaan lain disela-sela mengemban tugasnya."Tidak harus full time ngantor kan?" terangnya mengakhiri wawancara.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *