Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Benarkah Bencana Alam Trenggalek itu Langganan?

Bencana alam sering datang tanpa diundang. Tapi mengapa, kita hampir selalu mendengar atau malah mengucapkan bahwa bencana alam itu langganan? Padahal, sebagai manusia yang memiliki akal, jelas kita tidak pernah menginginkan apalagi mengundang dampak kerusakan akibat bencana alam.

Pandangan atau kepercayaan bahwa bencana alam itu langganan juga pernah saya dengar dari sesama warga Kabupaten Trenggalek. Tapi menurut saya, pandangan itu hanya bentuk ketidakmampuan seseorang untuk menjelaskan datangnya bencana alam secara terus menerus, bahkan lebih parah tiap tahunnya. Sepertinya kita harus mempertanyakan, benarkah bencana alam Trenggalek itu langganan?

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengurai persoalan bencana alam Trenggalek dan pandangan "langganan" yang dipercaya oleh beberapa orang. Uraian tulisan ini merupakan refleksi berdasarkan penjelasan Dosen Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Dr. Ir. Wahyudi Citrosiswoyo, M.Sc. Ph.D.

Saya berkesempatan mendapatkan materi "Perubahan Iklim dan Isu Lingkungan Hidup di Jawa Timur" dari Pak Yudi, dalam kegiatan Training and Hearing Climate Action for Green Election oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Kegiatan itu berlangsung di Surabaya, Selasa, 12 September 2023.

Melalui penjelasan Pak Yudi, saya memahami bahwa bencana alam tidak sekedar fenomena alam saja, tapi ada faktor aktivitas manusia yang mendorong terjadinya bencana alam. Sehingga, bencana alam tidak dimaknai sebagai langganan, tapi sebagai perubahan iklim.

Menurut Pak Yudi, perubahan iklim adalah perubahan substansial dari iklim di bumi yang berjalan terus menerus sampai periode waktu tertentu. Saat ini, perubahan iklim sangat merusak, hingga dinilai sebagai "darurat kesehatan dan sosio-ekonomi global". Dampak dari perubahan iklim seperti pemanasan global, naiknya permukaan air laut, serta kerusakan lingkungan.

Berbagai kerusakan lingkungan itu seperti banjir, polusi, kekeringan, gagal panen, kebakaran hutan, hujan ekstrem, penyebaran hama, punahnya spesies hewan ataupun terumbu karang, hingga kematian (di negara sub-tropis).

Menjelaskan pemahaman bencana alam sebagai dampak dari perubahan iklim memang tidak mudah. Apalagi jika sasarannya adalah masyarakat umum. Tapi, saya rasa ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyampaikan pemahaman ini.

Penjelasan bisa dilakukan melalui pendekatan sejarah, budaya, dan sains. Misalnya, di Trenggalek sering terjadi banjir. Salah satunya banjir Trenggalek 2006 yang hampir tak bisa dilupakan oleh masyarakat. Berikutnya, ada banjir bandang tahun 2022 kemarin yang menghancurkan ruang hidup masyarakat pesisir hingga kota.

Lebih jauh lagi, Abdul Hamid Wilis dalam buku "Selayang Pandang Sejarah Trenggalek" mencayat bencana alam sudah terjadi sejak 1916. Nah, rentetan sejarah bencana alam di Trenggalek bisa ditelaah sebagai bahan kajian dampak perubahan iklim.

Apa yang menyebabkan perubahan iklim? Pak Yudi menyebutkan ada dua hal, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami (natural) berasal dari variasi radiasi sinar matahari, di mana orbit bumi mengalami perputaran terus-menerus (di suhu panas ke dingin) dalam siklus yang disebut sebagai Siklus Milankovitch.

Sedangkan faktor manusia (anthropogenic) yaitu terjadinya pemanasan global dan peningkatan emisi karbon/rumah kaca, yang berasal dari aktivitas manusia, seperti pengelolaan lahan, peternakan, debu pabrik/industri, dan penggunaan bahan fosil. Menurut Pak Yudi, perubahan iklim hari ini diakibatkan oleh pemanasan global dari aktivitas-aktivitas manusia.

Melalui penjelasan tersebut, kita perlu lebih menyadari bahwa bencana alam yang terjadi hari ini tak lepas dari keterlibatan kita sendiri dalam memperparah perubahan iklim. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih responsif untuk mendorong pola aktivitas manusia supaya bisa menghadapi perubahan iklim.

Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023, Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, mendapat penghargaan sebagai pembina program kampung iklim (proklim) terbaik tingkat Provinsi Jawa Timur. Dari catatan Dinas PKPLH Trenggalek, ada 30 desa dengan status proklim, dengan target 36 Desa Proklim di 2024.

Penghargaan tersebut tentunya perlu terus diimplementasikan dan dikembangkan untuk mencegah berbagai bencana alam di Kabupaten Trenggalek. Supaya kesadaran masyarakat terkait perubahan iklim lebih meningkat, kita juga bisa menyentil dari segi budaya. Contoh, di Jawa ada penanggalan untuk membaca musim, yang disebut sebagai Pranoto Mongso.

Akan tetapi, masyarakat Trenggalek akhir-akhir ini semakin kesulitan untuk membaca musim melalui Pranoto Mongso itu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat pada Juli 2023 di Trenggalek masih hujan, padahal sedang musim kemarau. Selain itu, ketika cuaca cerah, udara di Trenggalek terasa dingin.

Kondisi perubahan iklim itu tentu membuat masyarakat semakin bingung dan dirugikan. Tak sedikit petani yang menderita gagal panen akibat perubahan iklim. Ada petani yang waktu panen malah terjadi hujan ekstrem. Di Kecamatan Dongko, petani padi malah gagal panen karena kekeringan.

Kemudian di Kecamatan Kampak, hasil komoditas dari petani durian menurun karena cuaca ekstrem 3 tahun terakhir. Sementara itu, di Kecamatan Watulimo juga gagal panen karena hujan ekstrem yang merontokkan pohon durian dan berbagai komoditas lainnya.

Dengan penjelasan pendekatan sejarah, budaya, dan sains, masyarakat perlahan-lahan akan memahami bahwa bencana alam bukanlah langganan. Masyarakat akan menyadari bahwa bencana alam hari ini adalah dampak dari perubahan iklim.

Lantas bagaimana langkah-langkah mencegah atau memitigasi perubahan iklim supaya tidak lebih parah dan merugikan masyarakat? Sebagai penerima penghargaan pembina proklim terbaik, Bupati Trenggalek disarankan menjalankan upaya mitigasi dari penjelasan para akademisi, seperti Pak Yudi.

Menurut Pak Yudi, ada beberapa mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Pertama, pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas. Pemerintah perlu menyediakan dan memberikan pengetahuan, dan alih teknologi kepada komunitas. Seperti perluasan (ekstensifikasi) pertanian, teknologi pompa untuk irigasi dan drainase, serta jala dan perahu tangkap. Kemudian, hidupkan tenaga penyuluh lapangan pertanian/perikanan, modifikasi pola bercocok tanam, maupun mengembangkan varitas baru yang toleran terhadap banjir, kekeringan, dan air asin.

Kedua, pengembangan pembangunan infrastruktur tahan perubahan iklim untuk jalan, air bersih-irigasi, dan energi. Untuk irigasi, sistem pasokan air, dan drainase, perlu memperhatikan metode, teknologi, dan pengelolaan untuk meningkatkan efisiensi irigasi serta mengurangi persoalan degradasi tanah. Lalu, meningkatkan sistem drainase untuk menanggulangi peningkatan magnitudo dan intensitas hujan serta menghindari banjir dan genangan. Ditambah, embankment untuk melindungi air bah dari sungai dan air pasang.

Ketiga, pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Pak Yudi menjelaskan, pembangunan berkelanjutan artinya mewarisi generasi penerus dengan warisan yang kaya akan stok ilmu pengetahuan dan pemahaman, stok teknologi, stok modal karya manusia, dan stok aset lingkungan, tidak kurang dari yang diwarisi oleh generasi sekarang. Sehingga, pembangunan berkelanjutan bisa dilakukan dengan membangun delta dan pesisir seutuhnya. Tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan kesejahteraan sosial. Termasuk kesehatan, pendidikan, dan kemakmuran secara fisik dan rohani. Serta, mempertahankan kelestarian lingkungan.

Penjelasan Pak Yudi tentunya tidak bisa langsung dipahami secara tuntas melalui satu pertemuan saja. Oleh karena itu, sebelum sesi diskusi berakhir, Pak Yudi mengatakan "Saya mau diajak diskusi mitigasi bencana". Nah, pernyataan Pak Yudi tentunya harus diambil oleh pemerintah sebagai peluang memperkuat mitigasi. Sehingga, ada peran para akademisi itu untuk mencegah perubahan iklim yang sangat merugikan masyarakat.

Selain mengubah pandangan bahwa bencana alam adalah langganan, masih ada satu pelajaran penting untuk direnungkan bersama-sama. Bahwa bencana alam bukan langganan, tapi kalau terjadi bencana alam ya jangan menyalahkan alam atau cuacanya saja.

Lihat pabrik-pabrik dan perilaku manusia lain yang mendorong pemanasan global. Lihat adanya rencana tambang emas di Trenggalek yang akan meningkatkan emisi gas karbon/rumah kaca. Lihat ketika terjadi bencana banjir bandang, belum maksimal upaya mengatasi pendangkalan sungai, dan belum maksimal juga pengelolaan kawasan rawan bencana. Mari lihat bersama sama dan menyadari bahwa kita harus menjaga alam dari perusakan lingkungan.