Penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda melalui cultuurstelsel atau tanam paksa di Trenggalek memberikan penderitaan yang luar biasa. Ribuan masyarakat Trenggalek meninggal akibat hongeroedem (busung lapar). Penyakit pes, cacar, typhus, colera, desentri, TBC, malaria, frambusia dan sebagainya merajalela.
Karena perlawanan Bupati Trenggalek Mangunnegoro II (Kanjeng Jimat), Multatuli dengan buku "Max Havelaar", dan perlawanan di berbagai wilayah, tanam paksa dihapus pada 1870. Sistem yang dikenal juga dengan nama Kerja Rodi itu diganti Etische Politic (Politik Etis) atau Politik Balas Budi. Digencarkanlah irigasi, transmigrasi, dan pembangunan sekolah di Trenggalek pada zaman Belanda.
Sayangnya, masih ada berbagai bencana setelah tanam paksa di Trenggalek dihapus. Dalam buku "Selayang Pandang Sejarah Trenggalek" Abdul Hamid Wilis mencatat bencana terus melanda Trenggalek seperti tidak ada habis dan berhentinya.
Dalam bagian pembahasan 'Bencana Melanda Trenggalek' Abdul Hamid Wilis mencatat bencana setelah tanam paksa dihapus. Ada tiga macam bencana, yaitu busung lapar hongeroedeem (busung lapar), wabah penyakit, dan bencana alam.
Daftar Isi [Show]
Bencana Setelah Tanam Paksa di Trenggalek
Hongeroedeem (Busung Lapar)
Hongeroedeem atau busung lapar (Abdul Hamid Wilis menyebutnya kurang makan), menjadi akibat langsung adanya tanam paksa. Tanah yang subur milik masyarakat Trenggalek diambil Belanda. Waktu dan tenaga rakyat harus lebih banyak untuk memelihara jenis tanaman paksa milik Belanda, yaitu tebu dan kopi.
Sedang tanaman pokok tidaklah mencukupi dari luasnya sisa tanah pertanian rakyat setelah tanah yang subur diambil Belanda dan juga pemeliharaan yang kurang. Sehingga, persediaan bahan makan tidak cukup, bahkan sangat kurang dan bahaya kelaparan terus mengancam Trenggalek. Bahaya kelaparan tidak hanya pada waktu tanam paksa masih dilaksanakan, tetapi juga sesudahnya.
Bahkan setelah perang dunia pada tahun 1914-1918, kelaparan makin hebat dan melanda seluruh Indonesia yang disebut malaise. Rakyat biasa menyebutnya dengan istilah jaman meleset. Pada jaman malaise ini, ratusan orang kelaparan dan pemerintah Belanda terpaksa mengadakan tempat penampungan.
"Walaupun demikian, lebih banyak rakyat yang meninggal tidak tertolong daripada yang dapat diselamatkan. Bahkan di tempat yang sepi, di tepi jalan, di gardu [pos keamanan], bahkan di pasar-pasar setiap hari diketemukan orang yang meninggal karena kelaparan. Rupanya di rumah dan lingkungannya sudah tidak ada makanan lagi," tulis Abdul Hamid Wilis.
Rakyat Trenggalek menuju kota, ke tempat ramai untuk menjadi peminta-minta, tetapi meninggal ditengah jalan. Ada yang masih anak-anak, dan ada pula yang sudah tua renta. Meninggal tanpa diketahui namanya, tanpa identitas nama dan asal usulnya.
Keadaan yang sangat mengerikan di Trenggalek itu baru reda setelah tahun 1930. Tempat yang dijadikan penampungan di rumah Syukur dkk, (Wedono Wijayakusuma dan Bupati Purbonegoro). Rumah itu nantinya digunakan untuk Taman Siswa, yang sekarang merupakan gedung SMA Negeri 1 Trenggalek.
Wabah Penyakit
Penduduk Trenggalek sering dilanda wabah penyakit. Hal ini disebabkan oleh karena hongeroedem atau busung lapar, cara hidup yang tidak teratur, kebersihan lingkungan yang tidak teratur, dan tidak mendukung.
"Dalam bidang pelayanan kesehatan, ada kekurangan tenaga medis dan obat-obatan. Kondisi itu diperparah dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang lebih mengutamakan orang Belanda sendiri, China, Eropa, atau pegawai dan pekerja yang berpihak ke Belanda," terang Abdul Hamid Wilis.
Pada tahun 1920, hanya ada 1 Poliklinik di dalam Kota Trenggalek. Baru pada tahun 1923, dibangun rumah sakit yang lokasinya sekarang ditempati Pegadaian Ngantru. Tenaga dokter hanya 1 orang namanya Dr. Suwardi.
Kemudian Dr. Suwardi digantikan Dr. Mukardi, dibantu 2 orang mantri cacar dan 1 orang mantri patek. Barulah pada sekitar tahun 1925, dibantu mantri kesehatan, yang tugasnya keliling ke seluruh kecamatan. Masyarakat Trenggalek menyebutnya mantri keliling.
Berbagai penyakit yang merajalela pada waktu itu ialah pes, cacar, paru-paru (TBC), typhus colera, desentri, frambusia (Jawa: bubul di telapak kaki), patek dan penyakit kulit lainnya. Influenza yang hebat saat itu melanda seluruh Indonesia, dan juga membunuh banyak orang.
Bencana Alam
Gempa Bumi Tahun 1916
Pada tahun 1916, ada gempa bumi yang hebat. Tembok rumah banyak yang runtuh hingga memakan korban jiwa. Tetapi belum jelas berapa jumlah pasti korban gempa bumi. Menurut Abdul Hamid Wilis, ada korban di setiap kecamatan.
Banjir Bandang Tahun 1916
Pada tahun 1916, di Trenggalek turun hujan sampai beberapa hari terus menerus. Terjadilah banjir bandang yang hebat juga memakan korban. Banjir yang paling hebat ialah Kampak.
"Banyak rumah beserta penghuninya yang hanyut. Termasuk Masjid Kampak hanyut. Untunglah pada waktu itu Masjid Agung Trenggalek yang baru selesai dibangun. Sehingga, masjid yang lama diboyong seluruhnya ke Kampak," jelas Abdul Hamid Wilis.
Artinya, Masjid Jamik Kampak yang sekarang ini dahulu adalah Masjid Agung Trenggalek. Masjid yang dibangun oleh Bupati Sumotruno pada tahun 1743 dan Imam Masjid Mbah Nur Kholifah atau Mbah Nur Jalifah, pendiri Pesantren Rejowinangun.
Gunung Kelud Meletus Tahun 1919
Pada tahun 1919, Gunung Kelud meletus sangat hebat. Tidak hanya hujan abu selama setengah hari, tetapi hujan aba sampai beberapa hari. Akibatnya, banyak tanaman yang rusak dan banyak orang yang terkena penyakit pernapasan.
"Sungguh tragis, Trenggalek yang dilanda paceklik kurang makan, wabah penyakit, gempa dan banjir, sekarang terkena hujan abu yang membawa bencana," tulis Abdul Hamid Wilis.
Letusan Gunung Kelud sangat hebat, sehingga oleh masyarakat dijadikan sebagai patokan waktu. Orang menyebut berapa tahun sebelum atau sesudah gunung Kelud meletus. Misalnya untuk mengingat tahan kelahiran, perkawinan, dan sebagainya.
Bencana-bencana setelah tanam paksa di Trenggalek begitu banyak memakan korban jiwa. Namun, masih ada lagi bencana yang bakal datang. Bencana itu adalah Penjajahan Jepang.
Bersambung ...