Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Asal Usul Nama Trenggalek Bukan Terang ing Galih, Ini Penjelasan Almarhum Mbah Hamid Wilis

Kubah Migunani

Beberapa masyarakat memaknai nama Trenggalek dengan sebutan Terang ing Galih atau Trenggalih. Bahkan di kalangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek, sebutan Trenggalih digunakan dalam pentas seni. Seperti pentas drama tari berjudul “Prasasti Kamulan Tonggak ing Trenggalih” yang ditampilkan di Taman Mini Indah (TMII), Jakarta, 19 November 2022 lalu.

Akan tetapi, berbagai penelitian sejarah menjelaskan bahwa asal usul nama Trenggalek bukan Terang ing Galih. Seperti penelitian yang dilakukan Teguh Budiharso, akademisi Universitas Mulawarman. Kemudian penelitian oleh Panitia Sejarah Trenggalek (PST) pada tahun 1974, Pemerintahan Trenggalek zaman Bupati Soetran. Berikut ulasan lengkapnya.

Ragam Asal Usul Nama Trenggalek

Potret Alun-Alun Trenggalek saat malam hari/Foto: @wah_ao (Instagram)

Ada beragam versi interpretasi asal usul atau makna nama Trenggalek. Ada sumber yang menyebut Trenggalek artinya Terang ing Galih, Kota Gaplek, hingga Kota Pertahanan. Tulisan ini mengulas tentang asal usul nama Trenggalek yang diolah dari berbagai sumber buku dan penelitian.

Terang ing Galih

Istilah Terang ing Galih juga muncul melalui berbagai cerita rakyat (folklor), seperti buku buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek” karya Edy Santosa dan Jarot Setyono (Grasindo, 2005). Dalam buku “Cerita Rakyat dari Trenggalek”, disebutkan bahwa istilah Terang ing Galih (Jernih di Hati) diucapkan oleh Ki Ageng Sinawang (pengasuh Menak Sopal).

“Terima kasih, Mbok Randa Krandon! Semoga terang ing penggalihmu [terang di hatimu], ini membawa kemakmuran bagi penduduk di sekitar sini. Nanti, jika daerah ini sudah ramai, akan kuberi nama Terang ing Galih!” ujar Ki Ageng Sinawang, dalam buku "Cerita Rakyat dari Trenggalek".

Ki Ageng Sinawang berterima kasih kepada Mbok Randa yang telah mengikhlaskan Gajah Putih miliknya dikorbankan untuk Buaya Putih. Buaya Putih menginginkan kepala Gajah Putih sebagai syarat untuk tidak merusak Dam Bagong yang dibangun Menak Sopal dan masyarakat Trenggalek. Hingga hari ini, cerita rakyat itu dilestarikan dengan upacara adat Nyadran Dam Bagong.

Trenggalek Kota Gaplek

Sepuluh tahun kemudian, pada 2015, akademisi dari Universitas Mulawarman, Teguh Budiharso, membuat penelitian yang berjudul ‘Meluruskan Sejarah Trenggalek Kota Gaplek: Studi Heuristik Foklor Panembahan Batoro Katong, Joko Lengkoro Dan Menak Sopal’.

Teguh Budiharso mengritisi pemaknaan Trenggalek dalam istilah Terang ng Galih, karena tidak memiliki akar sejarah. Menurutnya, kata Trenggalek memiliki makna daerah penghasil gaplek (makanan yang diolah dari ubi ketela pohon atau singkong), atau daerah berbasis pertanian ketela. Asal-usul nama atau toponimi Treggalek daerah penghasil gaplek ataupun Trenggalek Kota Gaplek diperoleh secara praktis.

Pemaknaan Trenggalek Kota Gaplek dari penelitian Teguh Budiharso juga mengacu pada Manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta. Dalam manuskrip itu, disebutkan nama Galek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).

Berdasarkan penelitian Teguh Budiharso, Sri Susuhunan Pakubuwana II, raja terakhir Kasunanan Kartasura (1726–1742) serta raja pertama Kasunanan Surakarta (1745–1749), adalah raja yang menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan.  Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga zaman Sinuwun Paku Buwono II masih terus ditradisikan.

Trenggale – Treng dan Gale

Jauh sebelum terbitnya buku "Cerita Rakyat Trenggalek" maupun penelitian Teguh Budiharso, masyarakat Trenggalek sudah pernah melakukan penelitian untuk menemukan asal usul nama Trenggalek.

Pada tahun 1974, Pemerintahan Trenggalek zaman Bupati Soetran mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) supaya membentuk Panitia Sejarah Trenggalek (PST). Ketua PST yaitu P. Soeprapto (Golkar), dengan Wakil Ketua Abdul Hamid Wilis (PPP). Kemudian Sekretaris PST yaitu S. Hadisoeparto (PDI) dengan Wakil Sekretaris Imam Soewadi (ABRI).

Mbah Hamid Wilis (almarhum) merupakan Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda (PC GP) Ansor Trenggalek generasi pertama (1962-1975). Hasil penelitian PST terhadap asal usul nama Trenggalek disusun dan ditulis oleh Mbah Hamid Wilis dalam buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek”. Buku itu diterbitkan oleh Brave Inti gagasan (Yogyakarta) pada tahun 2016, zaman Bupati Emil Elestianto Dardak. 

Berdasarkan buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek”, makna Trenggalek bukanlah Terang ing Galih atau Terang di Hati. Menurut interpretasi Mbah Hamid Wilis, Trenggalek berasal dari kata Trenggale. Dalam Kamus Kawi Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito (1977), kata “Treng” berarti bagian dalam, sedangkan “gale” artinya menolak.

Sehingga, menurut Mbah Hamid Wilis, Trenggalek berasal dari kata Trenggale, artinya tempat yang jauh atau pedalaman tempat menolak marabahaya. Trenggale juga berarti tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali. Dari kata Trenggale, lama-lama bergeser atau mingset menjadi Trenggalek.

Tambahan huruf k pada “Trenggalek” merupakan paragog atau proses penambahan bunyi pada akhir kata dari huruf e dalam “Trenggale”. Mbah Hamid Wilis juga memberi julukan “Trenggalek Kota Pertahanan”.

Sejarah Pemaknaan Kata Trenggale

Buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)

Penemuan kata “Trenggale” sebagai awal dari nama Trenggalek merupakan hasil penelitian Panitia Sejarah Trenggalek (PST). Akan tetapi, penelitian itu tidak secara tiba-tiba dilakukan. Ada peristiwa yang melatarbelakangi penelitian tersebut.

Mbah Hamid WIlis dalam buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek”, menyebutkan pada tahun 1970, Bupati Soetran mempunyai gagasan untuk mengubah nama Trenggalek menjadi Trenggalih. Alasannya, kata Trenggalek sering diartikan Terang yen Elek (Jelas kalau Jelek). Sedangkan Trenggalih bisa diartikan sebagai Terang ing Galih (Jernih di Hati).

Bupati Soetran menyampaikan gagasan pengubahan nama menjadi Trenggalih itu kepada Ketua DPRD Trenggalek, Abu Sofyan. Awalnya gagasan itu ditolak oleh Abu Sofyan. Kemudian, awal tahun 1973, gagasan pengubahan nama itu diajukan lagi secara informil oleh Bupati Soetran.

Lalu, Pimpinan DPRD Trenggalek, yaitu I.S Soenandar, M. Hardjito, Abu Sofyan, mengadakan musyawarah bersama para ketua fraksi. Para ketua fraksi itu di antaranya P. Soeprapto (Golkar), Abdul Hamid Wilis (PPP), S. Hadisoeparto (PDI), dan Imam Soewadi (ABRI). Hasil musyawarah menyatakan penolakan terhadap gagasan Bupati Soetran.

“Karena Bupati Soetran agaknya ngotot, maka sebagai jalan tengah dibentuklah suatu panitia yang terdiri dari legislatif dan eksekutif dengan nama Panitia Sejarah Trenggalek, dengan tugas yang diperluas yaitu menyusun buku Sejarah Kabupaten Trenggalek, Mencari Hari Jadi Trenggalek, dan Mencari asal-usul kata Trenggalek,” tulis Mbah Hamid Wilis.

Salah satu hasil penelitian itu menyebutkan bahwa kata Trenggalek berasal dari “Trenggale”. Kata “Treng” berarti bagian dalam, sedangkan “gale” artinya menolak. Sehingga, Trenggalek berasal dari kata Trenggale, artinya tempat yang jauh atau pedalaman tempat menolak marabahaya. Trenggale juga berarti tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali.

Mbah Hamid Wilis menjelaskan interpretasi kata “Trenggale” berdasarkan sejarah wilayah sebagai tempat tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali. Buku “Selayang Pandang Trenggalek” mencatat beberapa peristiwa bersejarah yang membuktikan Trenggalek sebagai wilayah evakuasi, konsolidasi, dan pertahanan.

Trenggalek Wilayah Pelarian Mpu Sindok

Sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu, wilayah Trenggalek sudah memegang peran dalam percaturan politik. Patih Kerajaan Mataram, Mpu Sindok meninggalkan Mataram menuju Jawa Timur degan maksud untuk mendirikan kerajaan dan berbulan-bulan menetap di Kademangan Kampak. Maka, dengan bantuan penduduk dan prajurit dari Kademangan Kampak, akhirnya Mpu Sindok berhasil mendirikan Kerajaan Kahuripan.

Sebagai hadiah atas kontribusinya, Kademangan Kampak ditingkatkan statusnya sebagai daerah otonom (bebas pajak) setingkat Kadipaten. Status otonom, perdikan, atau sima swatantra itu dipahat dalam Prasasti Kampak pada tahun 929 Masehi. Kepemimpinan Mpu Sindok diteruskan oleh Prabu Dharmawangsa, kemudian dilanjutkan oleh Prabu Airlangga.

Pada zaman Prabu Airlangga menjadi Raja Kahuripan, muncul Kerajaan Wengker di sebelah selatan Ponorogo. Wengker ingin melepaskan diri dari Kerajaan Kahuripan. Dikisahkan, untuk menundukkan (mengalahkan dan menguasai kembali) Wengker, Prabu Airlangga terlebih dahulu menguasai Kerajaan Galuh, Hasin, dan Maratapan.

Setelah itu, wilayah Kerajaan Wengker berhasil dikuasai kembali, sehingga wilayah kekuasaan Kerajaan Kahuripan semakin luas. Wilayah dan penduduk Trenggalek berperan sebagai batu loncatan serta memberi dukungan dan tambahan prajurit untuk Kerajaan Kahuripan.

Trenggalek Wilayah Konsolidasi Prabu Kertajaya

Prabu Kertajaya, Sang Raja Kediri pernah terusir dari keraton akibat pemberontakan musuh di Katang-Katang. Kemudian, Prabu Kertajaya lari ke daerah Boyolangu (Tulungagung Selatan). Bersama penduduk di Kamulan, Prabu Kertajaya berkonsolidasi menyusun kekuatan untuk mengusir musuh. Sehingga, Raja Kertajaya berhasil mengalahkan musuhnya dan mengembalikan kekuasaan sebagai Raja Kediri.

Sebagai hadiah atas peran dan kontribusinya, status Kamulan ditingkatkan sebagai daerah otonom (bebas pajak) setingkat Kadipaten, dengan 4 Rakyan Katandan Kamulan. Status otonom, perdikan, atau sima swatantra itu dipahat dalam Prasasti Kamulan pada tahun 1116 Saka atau 31 Agustus 1194 Masehi. Tanggal inilah yang digunakan sebagai penetapan Hari Jadi Trenggalek.

Beberapa peristiwa bersejarah itu setidaknya menjadi bukti bahwa Trenggalek sebagai wilayah evakuasi, konsolidasi, dan pertahanan. Peristiwa sejarah itu mengilhami Mbah hamid Wilis dan menjadi dasar pemaknaan kata “Trenggale”, dengan arti tempat yang jauh atau pedalaman tempat menolak marabahaya.

Sebenarnya masih ada peristiwa sejarah lain yang disebutkan dalam buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek” untuk memperkuat dasar pemaknaan kata Trenggale. Seperti peristiwa penduduk Trenggalek yang berperan pada zaman Kerajaan Majapahit, Keraton Kartasura, Perang Diponegoro, Perang Agresi Militer Belanda 2, hingga Perang Kemerdekaan. Namun, alangkah baiknya penjelasan peristiwa bersejarah itu dibahas dalam tulisan lain (ben tulisan iki ra kedawan).

Pesan Almarhum Mbah Hamid Wilis

Almarhum Mbah Hamid Wilis memegang buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek/Foto: Xpro Production (YouTube)

Demikian ulasan tentang pemaknaan kata Trenggale. Memang dalam catatan sejarahnya, Trenggalek adalah tempat yang jauh atau pedalaman tempat menolak marabahaya. Trenggalek juga menjadi tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali.

Maka tak heran, jika sifat masyarakat Trenggalek sering kali waspada dengan kehadiran orang atau kelompok yang berpotensi mendatangkan ancaman maupun marabahaya.

Salah satu contohnya, masyarakat bersama Bupati Trenggalek saat ini menolak segala bentuk perusakan lingkungan dari perusahaan asing yang ingin mengeruk alam untuk industri ekstraktif tambang emas. Apalagi, kabarnya lokasi pertama yang terancam dirusak oleh tambang emas adalah Kecamatan Kampak, salah satu wilayah bersejarah di Trenggalek.

Jikalau ada masyarakat Trenggalek yang mendukung tambang, bisa jadi mereka belum mendapatkan edukasi tentang potensi bahaya perusakan alam yang bakal ditimbulkan. Atau, masyarakat Trenggalek belum mendapatkan edukasi tentang sejarah dan perjuangan para leluhur di Trenggalek.

Hal itu berkesinambungan dengan masih digunakannya istilah Trenggalih ataupun makna Trenggalek sebagai Terang ing Galih, hingga hari ini. Bagaimana tidak digunakan? Lha buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek” di Perpustakaan Daerah saja sedikit, hanya ada 3 buah (eksemplar). Selain itu, diskusi tentang kesejarahan Trenggalek juga minim.

Sebagai penutup tulisan, perlu dipahami bersama bahwa makna kata Trenggalek dari Terang ing Galih, Kota Gaplek, Trenggale, maupun Kota Pertahanan, semuanya merupakan hasil interpretasi atau tafsiran. Setiap pemaknaan kata Trenggalek memiliki dasarnya masing-masing.

Masyarakat bisa memakai dan menyetujui tafsiran siapapun, yang penting saling menghargai dan ndaktukaran (tidak berantem). Terkait mana tafsiran yang paling benar, hingga tulisan ini diterbitkan, belum ditemukan sumber sejarah yang spesifik menjelaskan asal-usul nama Trenggalek.

Pada proses penelitian dalam buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek” membutuhkan waktu yang sangat lama, sekitar 42 tahun hingga buku itu terbit. Bahkan, saat penelitian itu berlangsung, pada Mei 1975, Bupati Soetran, mendadak pergi dari Trenggalek, karena diangkat menjadi Pj. Gubernur Irian Jaya. Bisa dibilang, tanpa adanya keinginan Bupati Soetran untuk mengubah nama Trenggalek menjadi Trenggalih, masyarakat maupun Pemerintah Trenggalek tidak akan melakukan penelitian, dan tidak tahu makna nama Trenggalek.

Dalam bagian penutup buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek” Almarhum Mbah Hamid Wilis menegaskan bahwa nama Trenggalek yang diartikan Terang yen Elek atau Trenggalih dari kata Terang ing Galih, itu adalah kerata basa, menurut Sastra Bahasa Jawa Baru. Dalam Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Jawa Tengahan, tidak dikenal kerata basa yang demikian itu.

“Kesimpulannya nama Trenggalek tidak perlu diubah menjadi Trenggale atau Trenggaluh atau Trenggalih. Jadi, tetap saja seperti sekarang, Trenggalek,” tegas Almarhum Mbah Hamid Wilis.

Almarhum Mbah Hamid Wilis berpesan, buku “Selayang Pandang Sejarah Trenggalek” belum sempurna. Terlebih lagi apabila ada data dan fakta baru yang ditemukan. Maka setidaknya, buku ini dapat menjadi buku referensi apabila ada yang ingin menulis buku Sejarah Trenggalek lebih luas lagi dengan mengambil sudut pandang yang berbeda. Buku ini juga bisa dijadikan salah satu kajian tentang Trenggalek, dan masih dapat disempurnakan lagi di masa yang akan datang.

“Buku bacaan putra-putri kita agar mengenal daerahnya serta mengenal para leluhurnya [nenek moyangnya], serta bisa menghargai jasa para pahlawan, dengan harapan bisa membangkitkan semangat generasi penerus dalam segala hal untuk menjadikan Trenggalek menjadi sebuah Kabupaten yang maju dan beradab,” pesan Almarhum Mbah Hamid Wilis.

Baca tulisan lainnya tentang Asal Usul Nama Trenggalek:

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.