Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account
ADVERTISEMENT
Fighter 2024

Benarkah Asal Usul Nama Trenggalek itu Terang ing Galih?

Terang ing Galih memiliki kesan yang bagus untuk menjelaskan asal usul nama Trenggalek. Terang ing Galih memiliki arti “Terang di Hati”. Akan tetapi, jika membaca berbagai sumber sejarah, ada beragam arti nama dari Trenggalek.

Seperti di tulisan sebelumnya, ‘Legenda Menak Sopal, Cerita Rakyat Asal Usul Nama Trenggalek’, istilah Terang ing Galih berasal dari buku ‘Cerita Rakyat dari Trenggalek’ yang ditulis oleh Edy Santosa dan Jarot Setyono, pada tahun 2005.

Dalam buku “Cerita Rakyat dari Trenggalek”, disebutkan bahwa istilah Terang ing Galih diucapkan oleh Ki Ageng Sinawang (pengasuh Menak Sopal), kepada Mbok Randa, yang telah mengikhlaskan Gajah Putih miliknya dikorbankan untuk Buaya Putih. Buaya Putih menginginkan kepala Gajah Putih sebagai syarat untuk tidak merusak Dam Bagong yang dibangun Menak Sopal dan masyarakat.

“Terima kasih, Mbok Randa Krandon! Semoga terang ing penggalihmu [terang di hatimu], ini membawa kemakmuran bagi penduduk di sekitar sini. Nanti, jika daerah ini sudah ramai, akan kuberi nama Terang ing Galih!” ujar Ki Ageng Sinawang, dalam buku ‘Cerita Rakyat dari Trenggalek’.

Sepuluh tahun kemudian, pada 2015, akademisi dari Universitas Mulawarman, Teguh Budiharso, membuat penelitian yang berjudul ‘Meluruskan Sejarah Trenggalek Kota Gaplek: Studi Heuristik Foklor Panembahan Batoro Katong, Joko Lengkoro Dan Menak Sopal’. Salah satu pembahasan dalam penelitian itu mempertanyakan asal usul nama Trenggalek.

Pada sisi lain, Teguh Budiharso melihat istilah Terang ing Galih memiliki arti terang di hati atau hati yang jernih. Istilah Terang ing Galih dikontraskan dengan makna Tulungagung (kabupaten sebelah timur dari Trenggalek). Tulungagung memiliki makna Pertolongan Besar. Sehingga, Trenggalek diartikan sebagai daerah yang memeroleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai orang yang “memberi pertolongan besar”.

Pemaknaan Trenggalek dalam istilah Terang ing Galih dikritisi oleh Teguh Budiharso, karena tidak memiliki akar sejarah. Oleh karena itu, Teguh Budiharso mengusal asal usul nama Trenggalek melalui berbagai sumber, salah satunya adalah Manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta.

Trenggalek Kota Gaplek

Menurut Manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek atau daerah penghasil gaplek (makanan yang diolah dari ubi ketela pohon atau singkong). Dalam manuskrip itu, disebutkan nama Galek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).

Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, ketela pohon yang dikeringkan.  Gaplek pada zaman itu merupakan makanan rakyat jelata tetapi sekaligus hidangan khusus di kraton. Gaplek diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah. Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih. Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah kecamatan Bendungan, Kampak, Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo.

“Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang ‘terang’ lama-lama berubah menjadi ‘Trenggalek’. Kata Trenggalek kemudian dipopulerkan di antaranya dalam tembang dan wangsalan, seperti: ‘Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.’ Pohong garing artinya gaplek,” tulis Teguh Budiharso.

Berdasarkan penelitian Teguh Budiharso, Sri Susuhunan Pakubuwana II, raja terakhir Kasunanan Kartasura (1726–1742) dan raja pertama Kasunanan Surakarta (1745–1749), ialah raja yang berjasa menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan.  Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga zaman Sinuwun Paku Buwono II masih terus ditradisikan.

Teguh Budiharso mencatat, asal-usul nama Trenggalek yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama, cerita tutur ketika Penembahan Batoro Katong menjadi Adipati Ponorogo pada 1489-1532, menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek.  Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek dengan mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong, (sekarang di Kelurahan Ngantru, Kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek).

Kedua, versi lain mengenai asal-usul nama Trenggalek diperoleh dari cerita tutur dari pinisepuh yang tinggal di Trenggalek.  Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”. Sugal-elek menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka berperilaku “kurang baik” atau jelek.

“Sejak zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic.  Daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut walaupun sekarang mengalami penurunan makna,” jelas teguh Budiharso.

Teguh Budiharso menyampaikan, berdasarkan uraian dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa nama Trenggalek yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil gaplek. Asal-usul nama atau toponimi tersebut biasanya diperoleh secara praktis.

Trenggalek Bukan Pemberian Tulungagung

Upaya meluruskan asal usul nama Trenggalek, juga ditelusuri melalui sejarah Trenggalek. Setidaknya, ada dua poin penting yang bisa diambil dari penelitian Teguh Budiharso tentang sejarah Trenggalek. Pertama, fakta sejarah membuktikan bahwa Trenggalek adalah daerah perdikan sepanjang zaman. Kedua, pemerintahan Trenggalek sering dipecah-pecah, tapi akhirnya tetap bersatu kembali.

Teguh Budiharso mencatat, status Trenggalek sebagai daerah bebas pajak, atau sima swatantra atau daerah otonom, pertama kali muncul zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929). Status itu dilanjutkan oleh Raja Airlangga (1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti Kamulan (1194), serta raja Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui piagam yang dipahatkan di arca dwarapala yang ditemukan di Bendungan.

“Jika prasasti Kampak, prasasti Baru, prasasti Kamulan dan lempeng arca di Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah perdikan sejak zaman Raja sindok.  Daerah sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja. Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus,” terang Teguh Budiharso.

Teguh Budiharso menyebutkan, Trenggalek sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman Sinuwun Paku Buwono II.  Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743.

Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono.

“Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung.  Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung,” tulis Teguh Budiharso

Dalam perjalanan sejarah pemerintahan, status dan wilayah Trenggalek mengalami pemisahan dan penggabungan. Oleh karena itu, Trenggalek dianggap lebih muda dari Tulungagung. Menurut Teguh Budiharso, pernyataan itu tidak tepat, karena Trenggalek sudah ada jauh sebelum Tulungagung tercatat dalam prasasti. Namun secara politik, Trenggalek mengalami pasang surut bahkan sempat dimasukkan dalam wilayah Tulungagung dan wilayah Pacitan.

Salah satu catatan penting teguh Budiharso dalam penelitiannya merujuk pada masa RT Partowidjojo (1896-1901) menjabat Bupati Tulungagung, saat dilakukan penggabungan dan penghapusan Trenggalek. Pertimbangan geografis dan kondisi alam menjadi alasan utama penggabungan tersebut.

Saat itu, Tulungagung sering dilanda banjir. Belanda memerintahkan agar Kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut untuk dimasukkan ke wilayah Tulungagung, Kabupaten Ponorogo menyumbangkan daerah Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan menyumbangkan daerah pantai di antaranya Ngrayun, Panggul dan Jombok.

Kebijakan tersebut menyebabkan Trenggalek dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Tulungagung. Setelah Bupati Trenggalek KRT Poesponegoro wafat pada 1934, Kabupaten Trenggalek dihapus lagi dan  wilayahnya diberikan ke kabupaten Tulungagung dan Pacitan.

“Jika konteks ini dirujuk, definisi ‘pitulungan agung’ [pertolongan besar] justru diberikan untuk Tulungagung, bukan Tulungagung yang pemurah dan memberi pertolongan. Selain itu, pemaknaan Trenggalek sebagai ‘teranging galih’ [hati nurani yang bersih] juga tidak cocok dengan konteks,” jelas teguh Budiharso.

Demikian uraian penelitian Teguh Budiharso tentang asal usul nama Trenggalek. Makna kata Trenggalek menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela. Trenggalek juga bukan pemberian dari Tulungagung, karena sejak zaman kerajaan Trenggalek adalah daerah otonom, bebas pajak, atau sima swatantra. Selain itu, sejarah mencatat, justru Trenggalek yang pernah memberikan wilayahnya kepada Tulungagung.

Oleh karena itu, Teguh Budiharso menyarankan, ada baiknya Trenggalek merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut. Mengenai makna yang dikaitkan dengan Teran ing Galih serta “sugal dan elek”, karena tidak memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita asal-usul nama Trenggalek.

Baca tulisan lainnya tentang Asal Usul Nama Trenggalek: