KBRT – Buah-buah asam jawa yang jatuh berserakan di anak tangga menuju kompleks makam Margohayu tak pernah luput dari perhatian tangan renta Mbah Mulyani. Di usianya yang menginjak 90 tahun, pria yang akrab disapa Mbah Mul itu tetap setia menyapu dedaunan, menemani peziarah, dan menjaga pintu-pintu makam yang digembok rapat.
Kompleks pemakaman ini bukan tempat biasa. Ia adalah situs cagar budaya yang dikenal sebagai Makam Kanjeng Jimat, tempat peristirahatan terakhir Raden Mangun Negoro, Bupati pertama Trenggalek. Sudah hampir lima dekade Mbah Mul memegang amanah sebagai juru kunci—tugas yang diwarisi dari kakek dan ayahnya.
“Saya itu mulai jadi juru kunci mulai dari zaman Bupati Soetran. Buah asam yang jatuh saya kumpulkan untuk dikeringkan, nanti dipakai istri buat masak,” ujarnya pelan namun jelas.
Masa jabatan Soetran sebagai Bupati Trenggalek berakhir pada 1975. Itu artinya, Mbah Mulyani telah hampir genap 50 tahun menjaga kompleks makam yang terletak di Desa Ngulan Kulon, Kecamatan Pogalan ini.
Setiap pengunjung yang hendak berziarah ke makam Kanjeng Jimat, hampir pasti akan singgah ke rumah Mbah Mul yang berada persis di jalan masuk makam. Di sana, Mbah Mul memegang kunci-kunci pagar besi yang menjaga makam dari tangan jahil atau kejadian tak diinginkan.
“Dulu pernah ada sepasang muda-mudi naik ke atas tanpa pamit. Warga sampai menyuruh mereka turun, takut terjadi hal-hal yang tidak baik,” kenangnya.
Mbah Mul tak sendiri menjalani rutinitas ini. Sang istri mendampingi dalam keseharian, mulai dari membersihkan kompleks makam hingga menyambut peziarah yang datang bahkan hingga tengah malam.
“Kalau ada pengunjung yang minta ditemani ziarah, meski tengah malam saya tidak bisa menolak,” katanya.
Tak jarang, para tokoh politik maupun pejabat datang untuk berziarah, terutama menjelang momen seperti Hari Jadi Kabupaten Trenggalek atau masa kampanye pemilu. Ia pun pernah mengusulkan agar listrik di makam dipasang secara permanen, karena selama bertahun-tahun hanya menumpang dari rumahnya.
“Saya usulkan ke anggota Dewan di desa ini. Tapi katanya, ‘Nggak bisa Mbah Mul, tunggu anggaran tahun depan. Atau warga saja yang iuran,’” tutur Mbah Mul sambil tertawa getir.
Harapan itu sempat kandas. Namun ia tak menyerah. Di satu kesempatan, ketika Bupati berziarah ke makam, Mbah Mul langsung menyampaikan berkas usulan pemasangan listrik secara resmi.
“Saya sedikit khawatir waktu itu. Setelah saya serahkan, berkasnya dilempar-lempar ke ajudan. Tapi akhirnya, beberapa bulan kemudian petugas datang dan mulai pasang kabel serta spedometer di pos pintu masuk makam,” kisahnya dengan senyum.
Kini, aliran listrik di kompleks makam telah berdiri sendiri, tak lagi tergantung dari rumahnya. Namun tugas sebagai juru kunci masih tetap ia emban, meski kini sebagian urusan administratif ke dinas dan provinsi telah dilimpahkan kepada anak bungsunya.
“Selagi masih kuat, saya tetap melayani pengunjung di sini,” ucapnya mantap.
Mbah Mulyani juga tak lelah mengenalkan sejarah lokal kepada generasi muda. Ia menjelaskan bahwa “Kanjeng Jimat” adalah gelar kehormatan bagi Raden Mangun Negoro, cucu dari Raja Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono I.
“Lengkapnya bisa dilihat di tulisan dekat makam. Tapi sering juga mahasiswa atau anak muda tanya bolak-balik. Kadang saya suruh tanya gurunya atau Pak Bupati, bukan karena saya malas, tapi supaya orang lain juga ikut paham sejarah ini,” ucapnya lirih.
Bagi Mbah Mulyani, menjaga makam bukan sekadar rutinitas atau warisan keluarga. Ia percaya bahwa tempat seperti ini adalah bagian penting dari identitas dan kebanggaan warga Trenggalek.
“Peninggalan sejarah dan budaya seperti ini harus dijaga. Lewat ziarah atau kunjungan, kita hidupkan terus ingatan terhadap leluhur,” pesannya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz