Tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi atau Earth Day. Peringatan Hari Bumi tahun ini jatuh pada Sabtu (22/4/2023). Peringatan Hari Bumi merupakan momen untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Salah satu perhatian masyarakat di seluruh dunia dalam lingkungan hidup adalah persoalan perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, menyusun laporan Krisis Iklim Memperluas Bencana di Jawa Timur: Mendorong Transformasi Paradigma Dalam Menghadapi Krisis Iklim. Pada artikel ini akan fokus membahas perubahan iklim ancam perparah bencana di Trenggalek.
Daftar Isi [Show]
Daftar Isi:
WALHI Jawa Timur menyampaikan, perubahan iklim membawa ancaman serius terhadap kehidupan manusia. Sebab, perubahan iklim mendorong peningkatan suhu, cuaca ekstrem, peningkatan level permukaan air laut dan mungkin menstimulus aneka penyakit yang lebih ganas. Keberadaan perubahan iklim telah mendorong semacam kekhawatiran global. Sebab salah satu catatan saja, dampak perubahan iklim begitu masif dan destruktif.
Apa Hubungan Perubahan iklim dan Bencana?
Catatan dari Maarten yang berjudul “The impacts of climate change on the risk of natural disasters,” merujuk pada pengamatan terkait perubahan iklim, bahwa telah ada fenomena umum kenaikan suhu yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari panas, dan penurunan jumlah hari dingin/beku, untuk hampir semua wilayah daratan.
Di lintang utara menengah dan tinggi, pengamatan juga menunjukkan peningkatan kejadian hujan lebat. Pada beberapa wilayah, seperti sebagian Afrika dan Asia, frekuensi dan intensitas kekeringan meningkat selama beberapa dekade terakhir.
Perubahan ini konsisten dengan intensifikasi umum dari siklus hidrologi. Proyeksi untuk masa mendatang menunjukkan bahwa jumlah hari yang panas dan sangat panas akan terus meningkat, dan jumlah hari yang dingin dan sangat dingin akan menurun terus berlanjut di hampir semua wilayah daratan.
Selain itu, intensitas dan frekuensi kejadian curah hujan ekstrem sangat mungkin meningkat di banyak daerah, dan kembalinya periode kejadian curah hujan ekstrim diproyeksikan mengecil (tidak dapat diprediksi), sehingga lebih banyak lagi banjir dan tanah longsor. Daerah tengah benua umumnya akan menjadi pengering yang kemungkinan besar meningkatkan risiko kekeringan pada musim panas dan mendoronng kebakaran hutan.
Perubahan Iklim Tingkatkan Bahaya Hidrometeorologi
Bahaya Hidrometeorologi (Hydrometeorogical Hazard) menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) adalah suatu fenomena atau proses alam dalam atmosfer, hidrologi atau oseanografi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya, kerusakan properti, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
Menurut dokumen laporan IPCC (2014) menyebutkan jika perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang memperparah bahaya hidrometeorologi ke arah lebih ekstrem seperti dapat mengubah ekosistem alami secara permanen. Karena iklim mengalami perubahan yang cepat, maka hal tersebut menyebabkan fenomena yang tidak biasa dari sifat atmosfer dan hidrologis terjadi.
Kondisi tersebut juga telah mengakibatkan naiknya suhu perlahan, naiknya permukaan laut global, dan curah hujan yang ekstrem (Gupta dkk, 2009). Tentu kondisi tersebut dapat menyebabkan menyebabkan bencana hidrometeorologi dan aneka kerugian yang dihadapi oleh manusia.
Bahaya hidrometeorologi inilah yang pada dasarnya menyebabkan bencana iklim sebagai dampak panjang dari perubahan iklim atau yang umum disebut sebagai bencana hidrometeorologi. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, khususnya Jawa Timur.
Peningkatan bahaya hidrometerologi telah meningkat menjadi bencana yang merusak suatu wilayah. Alam secara alami memiliki siklus iklim yang mana kita kenal sebagai musim dan lebih spesifiknya cuaca.
Perubahan iklim mendorong rusaknya siklus alami yang mendorong semakin meningkatnya resiko bencana, Huang dkk (2016) menyebutkan jika bahaya hidrometeorologi disebabkan oleh ekstrimnya kejadian iklim dan meteorologi seperti banjir, tornado atau puting beliung, kekeringan dan longsor.
Seperti kejadian bencana di Jawa Timur sepanjang 2022 ini yang mayoritas didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Data BNPB menyebutkan sepanjang bulan Januari sampai November awal 2022 ini terdapat 164 kejadian bencana hidrometeorologi yang tersebar hampir di seluruh titik Provinsi Jawa Timur. Bencana ini paling tidak menyebabkan 23,891 orang menjadi korban dan sekitar 1280 orang menjadi mengungsi.
Berikut informasi mengenai kejadian bencana hidrometeorologi di Jawa Timur: Puting beliung mendominasi catatan bencana disusul oleh banjir, longsor dan kejadian lainnya.
Sejalan dengan BNPB kami juga mencoba untuk melakukan perekapan jumlah kejadian bencana yang terjadi di Jawa Timur melalui informasi dari jejaring tapak bencana yakni warga yang terhubung dengan kami, serta dari jejaring media dan hasil penelusuran melalui kliping pemberitaan bencana.
Kami mencatatkan bahwa terdapat kejadian bencana iklim yang beruntun terjadi terutama dalam rentang September hingga awal november ini, di mana terdapat kurang lebih 84 kejadian bencana iklim yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung.
Bencana Trenggalek Akibat Perubahan Iklim
Sementara di Trenggalek dalam satu tahun ini terhitung sudah 160 kali terjadi bencana. Bencana yang sering terjadi di trenggalek ini yaitu banjir (75 kasus), gempa bumi ringan (38 kasus), angin kencang (26 kasus) dan yang sering terjadi adalah tanah longsor (65 kasus). Di mana daerah yang rawan terjaid bencana ini yaitu di Kecamatan Tugu, Pule dan Munjungan.
Dalam satu bulan terakhir ini yaitu lebih tepatnya pada bulan oktober sudah banyak terjadi bencana yang terjadi di kabupaten tulungagung, untuk tanah longsor sendiri sudah terjadi sebanyak 7 kali kejadian bencana. Pertama terjadi di Desa Dongko (Kecamatan Dongko) pada tanggal 8 oktober. Tidak ada korban jiwa namun longsoran tanah menimpa dinding bagian bawah sebuah dapur sehingga banggunan rumah itu jebol.
Kemudian yang kedua terjadi di Kecamatan Trenggalek, Bendungan, Pule, Dongko, Kampak, Tugu, Suruh dan Gandusari. Kejadian kedua pada rabu 7 Oktober banjir besar melanda Desa Tamanan di Kecamatan Trenggalek; Desa Karangrejo, Bogoran, Senden, Ngadimulyo di Kecamatan Kampak; serta Desa Wonocoyo di Kecamatan Panggul. Banjir tersebut telah menewaskan satu manusia dan sebanyak 2.667 rumah terendam banjir. Kejadian ketiga pada tanggal 12 Oktober.
Kabupaten Trenggalek kembali dilanda bencana, namun dalam kejadian ini tidak ada korban jiwa namun sebanyak 30 KK penduduk menjadi korban. Lalu kejadian keempat pada tanggal 18 Oktober tidak ada keterangan pasti di kabupaten mana namun sebanyak 49 unit rumah terdampak longsor.
Tidak ada korban jiwa dalam bencana tersebut namun 106 rumah penduduk dan fasilitas umum rusak. Selanjutnya kejadian kelima terjadi pada 19 Oktober, ada sekitar 8 kecamatan yaitu Panggul, Bendungan, Dongko, Watulimo, Suruh, Munjungan, Kampak dan Pule, tidak ada korban jiwa dalam bencana ini namun sebanyak 106 rumah penduduk dan fasilitas umum rusak.
Kejadian bencana keenam terjadi pada tanggal 22 Oktober 2022 terjadi di Desa Sumurup, Kecamatan Bendungan, total ada 4 rumah tertimbun tanah, dan puluhan rumah terancam mengalami hal yang sama.
Kejadian ketujuh terjadi pada tanggal 3 November, terdapat 2 kecamatan yang terdampak yakni Watulimo dan Munjungan. Paling parah terjadi di Munjungan hampir 5 desa mengalami kerusakan rumah dan fasilitas umum seperti jembatan.
Secara umum kejadian bencana di Trenggalek ini diakibatkan oleh cuaca ekstrem dan tidak mampunya kawasan hulu menampung dan menyerap air. Ada beberapa dugaan, yakni vegetasi yang tidak sesuai dengan kondisi, seperti banyaknya pohon pinus yang kurang mampu menahan air dan mencengkram tanam. Sementara upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek lebih ke mitigasi bencana.
Mengurai problem bencana, seperti banjir, tidak cukup dengan mitigasi bencana atau sekedar membangun infrastruktur, tetapi harus melampaui hal tersebut. Selama ini jika melihat apa yang terjadi pemerintah baik pusat maupun daerah masih meremehkan perubahan iklim.
Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya komitmen untuk membenahi tata ruang sampai masih membiarkan alih fungsi kawasan untuk eksploitasi skala masif seperti pertambangan, contohnya Trenggalek di mana sekitar 12.813,41 Ha mencakup 9 kecamatan dari 14 kecamatan yang ada yakni Suruh, Watulimo, Kampak, Dongko, Munjungan, Gandusari, Pule, Tugu dan Karangan akan dibuka untuk pertambangan emas.
Konsesi tersebut juga tumpang tindih dengan beberapa kawasan penting seperti sekitar 6.951 Ha berada pada kawasan hutan produksi, 2.779 Ha di kawasan hutan lindung, lalu kurang lebih sekitar 804 Ha berada di permukiman, 660 Ha di perkebunan, tegalan dan ladang rakyat. Sehingga pemberian konsesi tambang ini akan memperburuk bencana di Trenggalek ke depannya jika masih dipaksakan.
Melampaui mitigasi adalah bagaimana pemerintah baik pusat maupun daerah mencoba mengubah paradigma mereka yang selama ini dipakai, bukan lagi berbicara terkait mitigasi dan adaptasi tetapi tumpuannya adalah infrastructured based solution dan cenderung menyalahkan masyarakat atau curah hujan. Tetapi tidak pernah melihat betapa ganasnya persoalan krisis iklim ini.
Solusi Menghadapi Perubahan Iklim
Padangan yang melampaui mitigasi dan adaptasi yakni dengan menggunakan pendekatan ecological resilience. Konsep ini digariskan oleh C.S. Holling (1973) sebagai kapasitas sistem ekologi dan hubungan di dalam sistem tersebut untuk bertahan dan menyerap perubahan pada "variabel keadaan, variabel pendorong, dan parameter.
Tentu definisi ini membantu membentuk dasar untuk gagasan tentang keseimbangan ekologis: gagasan bahwa perilaku ekosistem alami ditentukan oleh dorongan homeostatik menuju beberapa titik sesuai (kesesuaian) yang stabil.
Di bawah aliran pemikiran ini (yang mempertahankan status yang cukup dominan selama periode ini), ekosistem dianggap merespons gangguan sebagian besar melalui sistem umpan balik negatif – jika ada perubahan, ekosistem akan bertindak untuk mengurangi perubahan itu sebanyak mungkin dan mencoba untuk kembali ke keadaan sebelumnya.
Pendekatan ini akan dikembangkan dengan kerangka yang sesuai, di mana persoalan bencana ini bukan alam tapi tidak seimbangnya pengelolaan ruang sehingga memicu kekacauan iklim.
Maka berangkat dari ecological resilience sebagai respons dalam peningkatan bahaya hidrometeorologi sebagai penyebab bencana yang secara dasar diakibatkan oleh perubahan iklim, maka penting untuk mendorong lebih ke arah climate resilience.
Mengapa demikian? Secara aplikatifnya pengembangan climate resilience menjadi sebuah framework akan benar-benar menjadi langkah konkrit penerapan ecological resilience sebagai solusi atas persoalan yang hadir saat ini. Kejadian bencana beruntun ini telah menunjukkan bahwa kita tengah menghadapi krisis iklim akut.
Climate resilience framework dapat lebih membekali pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengembangkan solusi berkelanjutan yang memerangi dampak perubahan iklim. Untuk memulainya, climate resilience menetapkan gagasan tentang sistem sosio-ekologis multi-stabil (sistem sosio-ekologis sebenarnya dapat stabil di sekitar banyak kemungkinan keadaan).
Merujuk pada Nelson dkk (2007) climate resilience telah memainkan peran penting dalam menekankan pentingnya tindakan pencegahan ketika menilai dampak perubahan iklim. Meskipun adaptasi akan selalu menjadi pertimbangan utama, membuat perubahan setelah fakta memiliki kemampuan terbatas untuk membantu masyarakat dan negara menghadapi perubahan iklim.
Dengan bekerja untuk membangun climate resilience, pembuat kebijakan dan pemerintah dapat mengambil sikap yang lebih komprehensif yang bekerja untuk mengurangi bahaya dampak perubahan iklim sebelum terjadi.
Perspektif climate resilience mendorong keterhubungan lintas-skala yang lebih besar dari sistem, seperti menciptakan mekanisme adaptasi yang terjadi secara terisolasi di tingkat lokal, negara bagian, atau nasional dapat membuat sistem sosial-ekologis secara keseluruhan menjadi rentan.
Kerangka kerja berbasis ketahanan akan membutuhkan lebih banyak pembicaraan silang, dan penciptaan perlindungan lingkungan yang dihasilkan dan diimplementasikan secara lebih holistik.
Persoalan krisis iklim ini bukan hanya persoalan tata kelola atau sekedar tindakan membuat regulasi, tetapi benar-benar melihat persoalan krisis iklim ini sebagai problem yang dihasilkan oleh sistem terutama politik dan ekonomi, di mana dunia sekarang masih bertumpu pada liniear economic yang boros sumber daya.
Sehingga menjawab problem bencana sebagai dampak krisis iklim adalah perombakan keseluruhan sistem politik dan ekonomi, baik aturannya berubah maupun praktiknya. Serta problem bencana di Jawa Timur juga bukan persoalan lokal tetapi nasional, sebab ancaman bencana ke depan akan lebih tinggi, di mana ada seperangkat regulasi yang melegitimasi eksploitasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
Selain itu, belum adanya komitmen dalam membuat UU Perubahan Iklim juga menjadi kendala, ditambah RUU Energi Terbarukan yang masih memfasilitasi energi tinggi resiko seperti nuklir dan tidak ada niatan mengurangi batu bara dengan memaksakan co-firing sebagai energi terbarukan.