Hari Jumat Legi, tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia diumumkam oleh Soekarno. Didampingi Mohammad Hatta, Soekarno membaca teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Berita proklamasi itu sampai ke berbagai daerah. Dalam buku "Selayang Pandang Sejarah Trenggalek", Abdul Hamid Wilis mencatat sejarah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai di Trenggalek.
Proklamasi kemerdekaan menjadi puncak perjuangan para pahlawan sejak penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang. Beberapa pahlawan dari Trenggalek yang perlu dikenang perjuangannya seperti Bupati Trenggalek Mangunnegoro II, atau yang terkenal dengan julukan Kanjeng Jimat.
Kanjeng Jimat merupakan salah satu pemimpin Trenggalek yang berani melawan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa oleh penjajah Belanda di Trenggalek. Seperti perlawanan terhadap kesewenang-wenangan orang kulit putih di perkebunan kopi Dilem Wilis, Kecamatan Bendungan, Trenggalek.
Berikutnya ada Supriyadi, pahlawan nasional kelahiran Trenggalek. Supriyadi adalah pemimpin pemberontak PETA Blitar pada 14 Februari 1945, enam bulan sebelum Soekarno membacakan teks proklamasi. Bersama tentara pemberontak lainnya, Supriyadi melawan penjajah Jepang yang bertindak kejam terhadap rakyat Indonesia. Salah satu pernyataan Supriyadi yang perlu diingat adalah:
"Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan tanah air dengan secepat-cepatnya. Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata, jangan sampai Indonesia didominionkan."
Dari perjuangan para pahlawan itulah, akhirnya Soekarno bisa membacakan teks proklamasi kemerdekaan ke berbagai daerah, termasuk di Trenggalek. Menurut catatan Abdul Hamid Wilis, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 masuk Trenggalek tidak dari berita radio.
Abdul Hamid Wilis menjelaskan, pada waktu itu radio masih sangat jarang, bahkan sangat mungkin di Trenggalek kala itu belum ada yang punya. Apabila ada yang punya, pengoperasiannya masih sangat sulit, karena listrik di Trenggalek belum ada.
Sehingga, pengoperasian radio harus dengan 60 buah baterai atau minimal 48 baterai. Apalagi situasi masih sangat diawasi oleh Jepang. Hanya gelombang radio Jepang yang dihidupkan. Jepang menyegel gelombang lainnya.
"Masuknya berita proklamasi ke Trenggalek dari mulut ke mulut, lewat pamflet-pamflet, selebaran dan coretan-coretan di pagar-pagar dan bangunan rumah tembok, yang dibuat oleh para pemuda. Tentu saja tidak secara terang terangan, tetapi secara sembunyi-sembunyi," tulis Abdul Hamid Wilis.
Pemerintah Belanda segera beralih ke Pemerintahan RI, didukung oleh rakyat dan golongan pemuda yang bergerak cepat. Bendera merah putih dikibarkan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan. Pekik "MERDEKA" yang menjadi salam apabila bertemu atau dalam pertemuan dikumandangkan.
"Lambang merah putih dipasang di baju, topi, kopiah, delman [dokar], dinding rumah, gardu, bahkan di pohon-pohon, tiang telepon dan sebagainya. Pokoknya apa saja yang pantas ditempeli merah putih ditempeli," terang Abdul Hamid Wilis.
Ukuran bendera merah putih ada yang besar selebar kain dan ada yang kecil (seperti emblem 2x3 cm). Bentuknyapun bervariasi, ada yang empat perseg panjang sesuai ketentuan resmi 2 banding 3. Tetapi ada pula yang bulat, lonjong (oval). Bahannya apa saja, dari kain, kertas, seng dan kayu dicat.
Abdul Hamid Wilis menyampaikan, tentara Jepang yang pada waktu kedatangannya masuk di Trenggalek tahun 1942 berkekuatan 1 kompi, tiba-tiba saja pada akhir jaman Jepang tinggal 1 regu.
"Pada waktu oleh BKR [Badan Keamanan Rakyat] dan golongan pemuda akan ditangkap dan dilucuti, ada yang melawan. Akhirnya ada yang mati dikeroyok rakyat, 1 orang di Trenggalek, dan 1 orang di Tugu. Yang lainnya menyerah kemudian ditawan dan dikirim ke Tulungagung. Dari Tulungagung dikirim ke Surabaya dan diserahkan kepada sekutu sebagai tawanan perang," tandas Abdul Hamid Wilis.