Kejamnya penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap masyarakat Indonesia membuat negara lain bersimpati, salah satunya Jepang. Oleh karena itu, Jepang membantu masyarakat Indonesia untuk mengusir Belanda. Tapi bohong. Simpati itu hanyalah tipu daya belaka.
Tujuan sebenarnya penjajahan Jepang terhadap Indonesia adalah untuk menguasai sumber daya alam demi kepentingan industri dan perang. Tujuan itu dilatarbelakangi salah satunya karena kerugian akibat Perang Dunia II antara Blok Sekutu (Belanda, Amerika Serikat, Inggris, dll) dan Blok Fasis (Jerman, Jepang, Italia).
Menurut laporan Historia, jepang memulai agenda penjajahan Indonesia melalui mata-mata yang menyamar sebagai pedagang toko di Surabaya. Mereka rutin mengirimkan segala informasi tentang situasi di Indonesia kepada militer Jepang.
Melalui informasi dari mata-mata itu, militer Jepang mampu memanfaatkannya untuk membuat strategi penjajahan yang efektif. Terbukti, Jepang menguasai Indonesia dari kekuasaan Belanda, dalam waktu singkat.
Dimulai pada 12 Januari 1942, Jepang menguasai Tarakan, Kalimantan Utara. Penguasaan itu dilanjutkan ke Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, hingga Maluku. Sebulan kemudian, Jepang sudah menguasai Sumatera.
Dalam komando Jenderal Hitoshi Imamura, pada 1 Maret 1942, Jepang mulai masuk ke Jawa. Tepatnya di Teluk Banten, Jawa Barat dan Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Empat hari berikutnya, Batavia (Jakarta), pusat kekuasaan Belanda berhasil direbut Jepang. Dua hari kemudian, Jepang menguasai Bandung.
Atas pengambilalihan paksa kekuasaan di Indonesia, Belanda semakin terdesak dan memutuskan untuk menyerah tanpa syarat ke Jepang pada 8 Maret 1942. Kekalahan Belanda itu dikenal dengan Perjanjian Kalijati, karena lokasi perundingan berada di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat.
Keberhasilan Jepang mengalahkan Belanda juga disebabkan oleh propaganda kepada masyarakat Indonesia untuk mengusir penjajah. Propaganda itu dikenal dengan istilah 3A, yaitu: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia. Jepang juga memanipulasi masyarakat Indonesia bahwa mereka adalah saudara tua Bangsa Asia (Hakko Ichiu).
Setelah menguasai Jawa Barat dan Jawa Tengah, Jepang melanjutkan agenda penjajahan ke Jawa Timur, termasuk Trenggalek. Abdul Hamid Wilis dalam buku "Selayang Pandang Sejarah Trenggalek", menulis catatan sejarah penjajahan Jepang di Trenggalek Tahun 1942-1945.
Daftar Isi [Show]
Rute Penjajahan Jepang ke Trenggalek
- Pendaratan di Rembang, Tentara Angkatan Laut Jepang menuju Cepu terus ke Ngawi. Dari Ngawi pecah menjadi dua, ke barat Sragen, Boyolali dan seterusnya wilayah Jawa Tengah. Ke timur Magetan, Madiun, Kertosono, Jombang terus ke Mojokerto, mengancam Surabaya.
- Pendaratan di Tuban kemudian menguasai Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik.
- Kemudian dari Mojokerto dan Gresik menyerang dan menguasai Surabaya.
- Kemudian seperti air bah, dari Surabaya menuju Pasuruan dan Malang.
- Dari Pasuruan dan Malang Jepang terus menguasai Jawa Timur bagian Timur. Dari Malang terus ke barat menuju ke Blitar, Batu dan Pare.
- Kediri diserang dari Pare, Kertosono dan Nganjuk.
- Dari Kediri dan Blitar, menyerang Tulungagung (lalu ke Ponorogo dan Trenggalek)
Menurut Abdul Hamid Wilis, semula Trenggalek bukanlah basis pertahanan Belanda. Tetapi karena Belanda menyediakan kapal laut untuk mengungsi ke Australia di Pelabuhan Banyuwangi dan Pacitan, maka Trenggalek menjadi sangat penting.
Terlebih lagi setelah kapal yang di Banyuwangi sudah berangkat, maka tinggal satu-satunya kapal untuk lari yang berada di Pacitan. Maka orang-orang Belanda dari Karesidenan Madiun, Bojonegoro, Kediri, serta sisa-sisa dari Surabaya dan Malang semuanya menuju Pacitan, kecuali yang dari Madiun dan Tuban, lewat Trenggalek.
Trenggalek menjadi sangat penuh dengan pelarian Belanda. Di Trenggalek, banyak orang Belanda yang kesasar ke arah Kecamatan Bendungan (Trenggalek). Hal ini disebabkan karena rambu-rambu arah jalan ke Ponorogo ada yang memindah ke arah Kecamatan Bendungan.
Kemudian dari Madiun, Jepang menuju Ponorogo. Sedangkan kapal pengungsi di Pacitan sudah melaut menuju Australia. Maka setelah Tentara A.L. Jepang dari Tulungagung dan Ponorogo menduduki Trenggalek, ratusan orang Belanda, tentara dan orang sipil, tua muda, anak-anak, laki-laki perempuan, menjadi tawanan perang.
"Trenggalek adalah tempat pelarian yang terakhir, sebab Belanda sudah ndak mengadakan perlawanan. Belanda menyerah dan tempat tawanan berada di gedung Sekolah Angka 2 dan di rumah Kamar Bola sebelah utara Alun-Alun yang sekarang menjadi kantor Pemda dan kantor PU Kabupaten Trenggalek," tulis Abdul Hamid Wilis.
Kekejaman Penjajahan Jepang di Trenggalek
Abdul Hamid Wilis mencatat, semula, tentara Jepang disambut dengan gegap gempita, sorak sorai penuh kegembiraan sebagai saudara tua yang datang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan akan membawa kemakmuran. Tetapi baru 2-3 bulan, suasana sudah berbalik.
"Bendera merah putih yang semula boleh dikibarkan, dan lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan, sekarang dilarang. Yang melanggar akan dihukum. Saat itu Hinomaru, Bendera Jepang yang boleh dikibarkan dan Kimigayo [lagi kebangsaan Jepang] yang boleh dinyanyikan," terang Abdul Hamid Wilis.
Kekejaman Jepang sangat luar biasa. Rasanya, bangsa Indonesia akan ditumpas habis, korban ratusan tahun kekejaman Belanda sama dengan korban kekejaman Jepang selama 3,5 tahun saja.
"Tenaga rakyat diperas selama masih hidup dan produktif, setelah itu mati. Keadaan serasa seperti pembunuhan masal berencana. Romusha adalah kerja paksa yang jauh lebih kejam dari kerja rodi [cultuurstelsel atau tanam paksa] jaman Belanda. Trenggalek yang sejak lama dikenal sebagai daerah minus, penduduknya sangat menderita," jelas Abdul Hamid Wilis.
Penyakit merajalela, kelaparan di mana-mana. Bahan makan sudah tidak ada lagi. Orang kesana kemari berkeliaran mencari makanan. Ada yang ke kota, ada yang keluar masuk hutan. Ke kota tidak menjumpai makanan, ke hutan tidak mencukupi, kemudian mati di sembarang tempat.
"Di tepi jalan, di bawah pohon, di gardu, di pasar dan dimana saja sering dijumpai mayat yang mati kelaparan atau karena penyakit," tulis Abdul Hamid Wilis.
Sedangkan orang yang ikut romusha mati di tempat romusha. Tempat romusha orang Trenggalek yaitu ke Prigi, Damas (Watulimo), Niyama, Tulungagung, dan sampai ada yang ke Bima dan Malaysia.
"Hampir tidak ada yang pulang hidup, tetapi pulang tinggal nama itupun apabila ada beritanya. Sungguh sangat mengerikan keadaan waktu itu," terang Abdul Hamid Wilis.
Pembagunan fisik tidak ada, karena semua daya dan dana untuk Jepang dan untuk membiayai perang. Dalam bidang pendidikan, semua sekolah di Trenggalek pada zaman penjajahan Belanda, disamakan menjadi Sekolah Rakyat (SR) VI Tahun.
Sekolah Angka 2 yang semula 5 Tahun, HIS dan ELS yang 7 tahun, Shakel Schol yang setingkat kelas 4 dan 5 Sekolah Angka 2, semua menjadi SR VI Tahun. Juga untuk Sekolah Desa 3 tahun jadi SR VI Tahun. Demikian juga Sekolah Guru disamakan.
Semua organisasi politik (parpol) dan dan organisasi masyarakat (ormas) dibubarkan. Baru setelah Jepang makin terdesak akan kalah, untuk menarik simpati, beberapa ormas boleh hidup kembali.
Dalam buku-buku sejarah nasional disebutkan, Jepang sangat ganas, kejam, dan keras. Rakyat yang sudah sangat menderita, kelaparan, dan banyaknya penyakit yang merajalela, masih dituntut berkorban lebih banyak lagi untuk kepentingan Jepang.
"Padahal orang hidup tinggal tengkorak ibarat kerangka berjalan, orang minta tolong ibarat bangkai minta tolong bangkai, atau bangkai makan bangkai, sebab sebentar lagi akan sama-sama meninggal kelaparan," jelas Abdul Hamid Wilis.
Pemberontakan Terhadap Penjajahan Jepang
Karena keperluan Jepang untuk perang, maka penduduk dilatih ilmu keprajuritan sesuai dengan sistem pendidikan Jepang yang bersifat militer. Latihan gerak badan (olahraga = taiso), berbaris bela diri, perang-perangan sangat diutamakan. Dibentuklah Gakkukotai (laskar pelajar), Seinendan (barisan pemuda), Keibodan (barisan pembantu polisi), Fujinkai (barisan perempuan).
Sedangkan untuk bala bantuan tentara, dibentuklah laskar rakyat atau tentara dari bangsa Indonesia, yaitu Pembela Tanah Air (PETA). Lalu, untuk golongan pemuda Islam yaitu Hizbullah. Jepang juga membentuk Heiho (barisan cadangan prajurit). Markas PETA berada di Tulungagung, markas Hizbullah di Trenggalek (sekarang Gedung NU Cabang Trenggalek), dan markas Heiho di Surabaya
Organisasi rakyat bentukan Jepang itu di kemudian hari memanfaatkan pendidikan militer Jepang untuk memberontak. Dalam buku "Monumen Perjuangan Jawa Timur" yang disusun oleh Prayoga Kartomihardjo, Prapto Saptono, dan Soekarsono, tercatat salah satu pemberontakan dilakukan oleh tentara PETA.
Awalnya, pada pertengahan Mei 1944, anggota Daidan (batalion) PETA Blitar mendapat tugas membangun benteng dan kubu-kubu pertahanan untuk menghadapi serangan Blok Sekutu. Di sela-sela menjalankan tugasnya, tentara PETA menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat di desa-desa akibat Romusha oleh Jepang.
Melihat penderitaan rakyat dan para romusha serta perlakuan yang tidak baik terhadap kaum wanita Indonesia, menyebabkan timbulnya kemarahan para tentara PETA Blitar terhadap Jepang.
Rasa marah dan tidak puas berubah menjadi rasa benci terhadap Jepang setelah adanya perlakuan tidak wajar, yaitu para perwira diharuskan memberi hormat terlebih dahulu kepada tentara Jepang yang pangkatnya lebih rendah.
Hal itu dirasakan sebagai suatu yang merendahkan martabat tentara PETA sebagai bangsa Indonesia. Mereka belum berani mengutarakan isi hatinya masing-masing karena risikonya berat. Kempetai (militer) Jepang pasti akan menghancurkan mereka yang berani mencela atau menentang kekuasaan Jepang.
Tetapi, lama-kelamaan perasaan itu tak dapat lagi mereka sembunyikan, gagasan untuk melakukan pemberontakan mulai timbul. Orang yang mula-mula mencetuskan gagasan itu ialah Komandan Pleton kelahiran Trenggalek, Shodanco Supriyadi.
Berbagai rapat rahasia dikonsolidasikan Supriyadi bersama tentara PETA Blitar lainnya. Laporan-laporan dikumpulkan, strategi-strategi dirumuskan. Hingga hari pemberontakan PETA Blitar pecah pada 14 Februari 1945.
Sehari sebelum pemberontakan, dalam rapat rahasia Supriyadi mengatakan dengan tegas:
"Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan tanah air dengan secepat-cepatnya. Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata, jangan sampai Indonesia didominionkan".
Abdul Hamid Wilis mencatat, pada 14 Februari 1945, Rabu subuh, pukul 03.30 WIB, Supriyadi bersama pasukannya dengan gagah berani menyerbu markas Jepang. Pertempuran dengan Jepang sampai ke wilayah Tulungagung, Kediri dan Blitar-Malang.
"Pasukan Supriyadi yang terdesak sampai ke lereng Gunung Kelud akhirnya dapat dipadamkan. Ratusan yang gugur dan ratusan pula yang tertangkap dan diadili di Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Salah seorang pembelanya adalah Mr. Kasman Singodimejo," terang Abdul Hamid Wilis.
Supriyadi hilang, tidak jelas hidup atau gugur atau ditembak Jepang secara rahasia. Setelah Proklamasi, Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Nasional yang pertama dalam Kabinet Presidensil yang pertama pula. Tetapi Supriyadi tidak pernah muncul sampai sekarang.
Meskipun gagal, menurut Abdul Hamid Wilis, pemberontakan PETA Blitar yang dipimpin Supriyadi merupakan pemberontakan terbesar serta mempunyai pengaruh sangat luas dan kuat dalam membangkitkan rakyat melawan Jepang. Hingga menjelang proklamasi, tentara militer Jepang berhasil dipukul balik oleh rakyat Trenggalek.
"Kalau pada awalnya Jepang datang di Trenggalek ada beberapa kompi, tetapi tentara Jepang saat menjelang proklamasi di Trenggalek hanya tinggal 1 regu saja. Konon I regu itu hanya 2 orang yang hidup dan menjadi tawanan perang, sedang yang lainnya dikeroyok rakyat karena melarikan diri pada waktu akan ditangkap," ungkap Abdul Hamid Wilis.
Akhir Penjajahan Jepangdi Trenggalek
Penjajahan Jepang di Indonesia mulai berakhir dengan serangan pembalasan tentara sekutu Amerika Serikat, Inggris, Rusia, China, Belanda dan sebagainya. Jepang mulai kewalahan mempertahankan wilayahnya.
"Dengan strategi loncat katak, dari satu pulau ke pulau berikutnya. Sekutu dapat merebut kembali wilayah kekuasaannya. Jepang mulai mundur dan terus terdesak," tulis Abdul Hamid Wilis.
Dalam keadaan mulai mengalami kekalahan demi kekalahan itu, maka Jepang mulai mengambil langkah-langkah untuk mendekati hati dan tenaga rakyat, untuk ikut bela negara.
Selain organisasi tempur macam PETA, Dibentuklah 4 serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur. Selain itu, K.H.M. Hasyim Asy'ari tokoh NU yang pernah ditahan dan dianiaya tidak hanya dibebaskan dari tahanan, tetapi diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat, setingkat Menteri Agama.
Dibentuklah Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar. Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI ini melahirkan Piagam yang Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai Rancangan Pembukaan UUD. Juga dibentuk Panitia Perancang untuk merumuskan Batang Tubuh UUD, maka lengkaplah Rancangan UUD.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, BPUPKI tugasnya dianggap selesai dan dibubarkan. Pada hari yang sama, dibentuk Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ketuanya Ir. Soekarno, dan wakil ketuanya Drs. Moh. Hatta.
"Setelah Jepang dibom atom oleh sekutu dan menyerah kalah, PPKI tidak terikat lagi dengan Jepang. Atas tanggung jawab sendiri, panitia menambah jumlah anggotanya dan memutuskan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Maka atas nama bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia," terang Abdul Hamid Wilis.