Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Detik-Detik Pemberontakan PETA yang Dipimpin Supriyadi, Pahlawan Nasional Kelahiran Trenggalek

Enam bulan sebelum Presiden Indonesia Ir. Soekarno mengumandangkan proklamasi kemerdekaan, ada salah satu percikan api revolusi yang digelorakan pahlawan nasional kelahiran Trenggalek. Ia adalah Supriyadi.

Pada 1943, Supriyadi menjabat sebagai Komandan Pleton atau Shodanco tentara Pembela Tanah Air (PETA) Blitar. PETA merupakan salah satu dari 10 organisasi yang dibentuk penjajah Jepang untuk melawan Blok Sekutu (Belanda, Amerika Serikat, Inggris, dll). Jepang tergabung dalam Blok Fasis (Jerman dan Italia).

Akan tetapi, di kemudian hari, kemarahan tentara PETA terhadap Jepang memuncak dan menjadi sumbu api pemberontakan. Buku "Monumen Perjuangan Jawa Timur" yang disusun oleh Prayoga Kartomihardjo, Prapto Saptono, dan Soekarsono, mencatat detik-detik pemberontakan PETA yang dipimpin Supriyadi.

Awal Pemberontakan dan Rapat Rahasia

Pasukan tentara PETA/Foto: Dokumen Istimewa

Berawal pada pertengahan Mei 1944, anggota Daidan (batalion) PETA Blitar mendapat tugas membangun benteng dan kubu-kubu pertahanan untuk menghadapi serangan Blok Sekutu.

Para anggota Peta Blitar yang bertugas di luar kota dan ditempatkan di desa-desa bergaul erat dengan rakyat. Karena itu, mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat di desa-desa. Dalam tugas membuat perbentengan itu, mereka bekerja sama dengan para romusha yang dikerahkan secara paksa oleh pemerintah penjajahan Jepang.

Melihat penderitaan rakyat dan para romusha serta perlakuan yang tidak baik terhadap kaum wanita Indonesia, menyebabkan timbulnya kemarahan para tentara PETA Blitar terhadap Jepang. Rasa marah dan tidak puas berubah menjadi rasa benci terhadap Jepang setelah adanya perlakuan tidak wajar, yaitu para perwira diharuskan memberi hormat terlebih dahulu kepada tentara Jepang yang pangkatnya lebih rendah.

Hal itu dirasakan sebagai suatu yang merendahkan martabat tentara PETA sebagai bangsa Indonesia. Mereka belum berani mengutarakan isi hatinya masing-masing karena risikonya berat. Kempetai (militer) Jepang pasti akan menghancurkan mereka yang berani mencela atau menentang kekuasaan Jepang.

Tetapi, lama-kelamaan perasaan itu tak dapat lagi mereka sembunyikan, gagasan untuk melakukan pemberontakan mulai timbul. Orang yang mula-mula mencetuskan gagasan itu ialah Dai Ichi Shodan (Pleton 1), Shodanco Supriyadi.

Berbagai rapat rahasia dikonsolidasikan Supriyadi bersama tentara PETA Blitar lainnya. Lokasi rapat rahasia yaitu di kamar tidur Bundanco (Komandan Regu) Halir Mangkudijaya. Supriyadi bertugas untuk menghubungi tokoh-tokoh serta pemuda-pemuda masyarakat.

Tercatat, ada lima rapat rahasia yang dilakukan oleh tentara PETA Blitar mulai bulan Mei sampai 13 Februari 1945. Laporan-laporan dikumpulkan, strategi-strategi dirumuskan. Atas usul Bundanco Halir Mangkudijaya dan persetujuan Eisei Gakari (petugas kesehatan) Cudanco (Komandan Kompi) dr. Ismangil, terbentuk organisasi pemberontak PETA Blitar dengan anggota sebagai berikut:

  • Pimpinan: Shodanco Supriyadi
  • Komandan Pertempuran: Shodanco Muradi
  • Komandan-Komandan Pasukan: Shodanco Sunarjo, Shodanco Suparyono, Shodanco S. Jono, Shodanco Dasrip, dan Sigiangco (Komandan Markas) Sunanto.
  • Perbekalan: Shodanco Sumardi dan Bundanco Halir Mangkudijaya.
  • Keuangan: Bundanco Pracoyo
  • Peralatan: Bundanco Sungkono
  • Angkutan: Bundanco Atmaja
  • Pergudangan: Bundanco Tarmuji
  • Penasehat: Cudanco dr. Ismangil dan Bundanco Mangkudijaya

Sehari sebelum pemberontakan, dalam rapat rahasia yang terakhir, Supriyadi mengatakan dengan tegas:

"Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan tanah air dengan secepat-cepatnya."

"Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata, jangan sampai Indonesia didominionkan."

"Sebagai bangsa yang ingin merdeka, kita harus berani berjoang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang sudah sangat menderita."

"Konsekuensi dari pemberontakan kita ini ialah, paling ringan dihukum dan disiksa serta paling berat dibunuh; tetapi kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai kita membunuh bangsa sendiri."

Hari Valentine Adalah Hari Pemberontakan

Tentara PETA memberontak kepada penjajah Jepang/Foto

Rapat rahasia terakhir organisasi pemberontak PETA Blitar ditutup pukul 00.00 WIB, usai pembagian tugas para anggota tentara pemberontak. Tanggal berganti menjadi 14 Februari 1945. Tanpa tidur, istirahat, atau berbasa-basi, semua tentara itu giat melakukan persiapan pemberontakan.

Mengacu pada peringatan hari besar internasional, 14 Februari dirayakan sebagai Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Akan tetapi, bagi tentara PETA Blitar, 14 Februari 1945 dirayakan dengan pemberontakan terhadap penjajahan Jepang, sebagai ungkapan kasih sayang kepada Tanah Air Indonesia.

Pasukan bagian kendaraan di bawah pimpinan Bundanco Atmaja dipersiapkan dan kendaraan diisi perbekalan berupa amunisi, bahan makanan dan lain-lainnya yang dianggap perlu.

Pasukan bagian kendaraan diperintahkan mengikuti pasukan-pasukan yang sedang bergerak dan mengadakan pertempuran. Kepada semua pasukan dibagi-bagikan peluru dan granat. Setiap prajurit rata-rata diberi 150 butir peluru dan 4 buah granat tangan.

Pada saat sibuk melakukan persiapan, tampak Shodanco Supriyadi berpakaian preman dan membawa sebilah keris dan sepucuk pistol, dikerumuni oleh para perwira dan bintara Peta yang siap mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan Jepang.

Setelah segala persiapan selesai, maka Shodanco Muradi memberikan penjelasan-penjelasan kepada pasukan-pasukan yang segera akan mengadakan gerakan. Penjelasan-penjelasan itu sekaligus berisi perintah, antara lain sebagai berikut:

"Malam ini kita semuanya mengadakan pemberontakan melawan Jepang."

"Lawan kita yang utama ialah orang-orang Jepang dan bangsa asing lainnya yang membantu Jepang."

"Jangan sekali-kali membunuh bangsa Indonesia."

"Jangan bertindak sendiri-sendiri. Ikutilah pimpinanmu dengan penuh disiplin."

Pemberontakan akan dimulai pada tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.30 WIB oleh seluruh kekuatan Daidan Blitar. Tanda dimulainya pemberontakan itu ialah tembakan mortir sebanyak tiga kali yang ditujukan ke hotel Sakura di mana banyak orang-orang Jepang tinggal.

Setelah segala persiapan untuk memulai pemberontakan selesai. Maka Shodanco Muradi melaporkan hal itu kepada Shodanco Supriyadi. Kemudian Supriyadi masuk ke kantor Honbu dan menelpon Bupati Blitar dan Kepala Kepolisian Blitar, memberitahukan bahwa hari ini tentara Peta Blitar mengadakan latihan besar-besaran dengan mempergunakan peluru tajam. Maksudnya agar kedua pembesar itu jika menerima laporan dapat menenangkan rakyat dan anak buahnya.

Setelah selesai menelpon Bupati dan Kepala Kepolisian Blitar, maka Supriyadi keluar dari kantor Honbu dan berdiri di dekat penembak senjata mortir untuk memberikan komando dimulainya pemberontakan. Pada tanggal 14 Februari 1945, tepat pukul 03.30 WIB, Shodanco Supriyadi memberikan komando dengan berteriak dalam bahasa Jepang "Hajimeee...!!!" Artinya, "Mulaiii...!!!"

Perintah itu diteruskan oleh Bundanco Sudarmo kepada Giyuhei Katam dan Giyuhei Tukiman. Kedua Giyuhei itu melepaskan tembakan mortir yang disebut hakugekiho, masing-masing empat kali tembakan. Jadi semuanya ada delapan peluru mortir yang ditembakkan dan memecahkan kesunyian Kota Blitar yang pada saat itu sedang tenggelam dalam tidur nyenyak.

Bersamaan dengan penembakan senjata mortir itu, Bundanco Pujianto memutuskan hubungan telepon dari semua jurusan. Kantor Kempetai Jepang Blitar ditembaki dari tiga jurusan, yakni: dari arah depan dan dari arah barat dengan senjata jukikanju (senapan mesin berat) dari arah utara dengan senjata kakikanju (senapan mesin ringan). Dengan demikian, dibukalah babak pertama pemberontakan PETA Blitar.

Pada saat-saat yang tegang, Shodanco Partoharjono membawa sehelai Bendera Merah Putih yang sudah lama disiapkan ke tengah-tengah lapangan besar di seberang jalan depan Daidan. Bendera itu dikerek oleh Shodanco Partoharjono pada tiang bendera yang ada di sana.

Setelah bendera itu berkibar di angkasa, ia menyembah tiga kali dan mencium tanah sebagai tanda syukur. Setelah itu Shodanco Partoharjono cepat-cepat menuju ke arah timur mengejar rombongan yang menurut rencana memang menuju ke arah sana. Bendera merah putih itu dibuat sendiri oleh Shodanco Partoharjono dan disimpannya sejak ia pulang dari latihan perwira PETA di Bogor.

Shodanco Partoharjono telah menyatakan niatnya, bahwa bendera itu akan dikibarkannya bila Indonesia telah merdeka. Semua kawan-kawannya, termasuk Shodanco Muradi, sudah tahu niat yang sudah lama terpendam di dalam hati Shodanco Partoharjono itu. Dan ketika pemberontakan telah dimulai, maka kesempatan itu dipergunakannya untuk melepaskan niat yang sudah lama terpendam di dalam lubuk hatinya.

Setelah komando berontak diberikan oleh Shodanco Supriyadi yang kemudian disusul oleh tembakan mortir sebanyak delapan kali, maka semua pasukan pemberontak mulai bergerak. Semua hubungan telepon dari segala jurusan dirusak dan dihancurkan oleh pasukan di bawah pimpinan Bundanco Pujianto. Kantor Kempetai Blitar ditembaki dengan gencar oleh pasukan-pasukan di bawah pimpinan Shodanco Sunarjo dan Shodanco Suparjono.

Kemudian pasukan-pasukan bergerak ke segala penjuru kota Blitar sesuai dengan pembagian tugas yang sudah diadakan oleh Shodanco Muradi. Setelah gerakan-gerakan di dalam kota selesai, maka sebagian besar pasukan tentara Peta Blitar menuju ke luar kota. Sesuai dengan rencana, maka kekuatan dibagi-bagi menjadi beberapa rombongan, yaitu utara, timur, selatan, dan barat.

Tercatat, pemberontakan berlangsung selama 2 hari. Sayangnya, kekuatan pemberontakan tentara PETA Blitar tak mampu menghadapi strategi licik dari militer Jepang. Setiap rombongan mengalami berbagai kesulitan.

Rombongan utara yang dipimpin Shodanco Sunarjo dihadapkan dengan pasukan tentara PETA Tulungagung. Mengingat pesan Shodanco Muradi bahwa "Jangan sekali-kali membunuh bangsa Indonesia", Shodanco Sunarjo tak melawan. Tapi pasukan rombongan utara tak menyerah, mereka membubarkan diri dan bersembunyi.

Setelah itu, ada kabar buruk bahwa orang tua dan keluarga mereka ditangkapi militer Jepang. Pasukan rombongan utara goyah. Jika kabar itu benar, orang tua dan keluarga mereka pasti mendapat siksaan yang hebat.

Sementara itu, pasukan rombongan timur yang dipimpin Bundanco Sunanto, berhasil membunuh seorang Jepang yang sedang mengendarai mobil. Tiga tembakan memastikan bahwa nyawa penjajah Jepang itu melayang. Selain itu, pasukan berhasil mengibarkan bendera merah putih. Mereka juga menemukan sepanduk bertuliskan "Indonesia akan Merdeka". Kata "akan" dirobek, lalu berkibarlah sepanduk "Indonesia Merdeka".

Tapi pemberontakan pasukan rombongan timur juga digagalkan oleh strategi licik militer Jepang. Sebuah pesawat mendarat di lokasi pasukan. Terlihat polisi Jepang, Tentara PETA, dan tentara Jepang. Mereka mengawal Daidanco Surakhmat, Komandan Batalion PETA Blitar. Pasukan rombongan timur kacau. Senjata dilucuti. Sebagian pemberontak itu tak mampu melawan perintah Komandan Batalion. Tapi sebagian pemberontak kabur.

Pemberontakan pasukan rombongan selatan yang dipimpin Shodanco Dasrip dan Bundanco Imam Bakri, juga tidak berhasil. Mereka sempat baku tembak dengan orang Jepang bernama Takeyama yang didampingi tentara PETA Kediri. Akan tetapi, tembakan rombongan selatan malah mengenai tentara PETA Kediri. Daidanco Surakhmat dan Cudanco Ciptoharsono juga datang untuk menggembosi pemberontakan. Setelah itu, batalion-bataliom PETA dari berbagai daerah mengepung para pemberontak.

Terakhir, pemberontak rombongan barat yang berisi 200 pasukan paling kuat dari segi fisik, materi, dan semangat, juga dikalahkan oleh militer Jepang. Taktik dan strategi licik untuk memanfaatkan prinsip para pemberontak, kembali digunakan. Akhirnya, pemberontakan PETA Blitar terhadap Fasis Jepang berakhir dengan kegagalan.

Hari Penghakiman Para Pemberontak

Tentara pemberontak PETA ditangkap/Foto: Dokumen Istimewa

Para anggota tentara PETA Blitar yang tertangkap atau kembali ke Daidannya dikumpulkan di tempat tahanan Kempetai. Sesudah tempat itu tidak memadai lagi, mereka dipindahkan ke Kantor Kepolisian Blitar yang pada waktu itu dikenal sebagai gedung atau kantor Keisatsutai. Di tempat-tempat itulah mereka diperiksa bahkan mengalami siksaan-siksaan yang tidak akan mudah mereka lupakan. Mereka ditempatkan di dalam sel-sel tahanan yang luasnya hanya 1 x 2 meter yang memuat 5 atau 6 orang.

Sesudah diadakan pemeriksaan dengan bermacam-macam siksaan, diadakan pemisahan di antara para pelaku pemberontakan itu. Mereka yang terbukti mempunyai kesalahan berat ditahan terus sedang yang ringan kesalahannya dikembalikan ke Daidan (Batalion).

Pada tanggal 12 Maret 1945, sebanyak 71 orang, terdiri dari perwira-perwira, bintara-bintara, dan prajurit-prajurit, diangkut ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dalam pemeriksaan di Jakarta, ada 4 orang yang dianggap tidak terlalu berat kesalahannya dikembalikan ke Daidan Blitar. Sedangkan 67 orang dihadapkan pada pengadilan militer Jepang.

Sidang berlangsung dalam beberapa hari (tanggal 13, 14 dan 16 April 1945). Dalam pengadilan militer itu, para terdakwa oleh Jaksa Penuntut dituduh sebagai pemberontak dan telah melakukan tindakan terkutuk, yaitu di dalam negara yang berada dalam keadaan perang nyata-nyata berani mengangkat senjata yang dipercayakan kepada mereka untuk melawan pemerintah yang sah.

Setelah Jaksa Penuntut membacakan tuntutan hukum kepada terdakwa, kemudian Hakim Ketua menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa sebagai berikut:

  1. Ex Shodanco Supriyadi dinyatakan hilang
  2. Ex Cudanco Dr. Ismangil, ex Shodanco Muradi, ex Shodanco Suparyono, ex Bundanco Halir Mangkudijaya, ex Bundanco Sunanto, dan ex Bundanco Sudarmo mendapat hukuman mati.
  3. Ex Bundanco Sukardi, ex Bundanco Pujianto dan ex Bundanco Amin Mulyono mendapat hukuman seumur hidup.

Sedangkan kepada anggota pemberontak Peta yang lain dijatuhi hukuman penjara 15 tahun, 10 tahun, 7 tahun, 4 tahun, 3 tahun dan 7 bulan.

Kira-kira jam 15.00 WIB, sidang pengadilan militer yang mengadili para pemberontak tentara Peta Blitar selesai, ditandai dengan ketokan palu tiga kali oleh Hakim Ketua. Setelah pengadilan militer Jepang menjatuhkan hukumannya, para pelaku pemberontakan tentara PETA Blitar menjalani hukuman mereka masing-masing.

Pelaksanaan hukuman mati dilakukan "Ereveld" Ancol, Jakarta, pada tanggal 16 Mei 1945. Sedangkan yang menjalankan hukuman seumur hidup dan hukuman yang lain, dilakukan di penjara Cipinang, Jatinegara, Jakarta, penjara Sukamiskin Bandung, serta di Gedung Gunpokai, Merdeka Barat, Jakarta.

Demikian detik-detik pemberontakan PETA yang dipimpin Supriyadi. Kegagalan pemberontakan itu menjadi salah satu percikan api revolusi untuk kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dengan membaca cerita pemberontakan PETA, kita mengetahui bahwa kemerdekaan tidak turun dari langit atau sekedar dibacakan melalui teks-teks proklamasi Soekarno. Kemerdekaan yang sesungguhnya diwujudkan oleh pengorbanan para pemberontak dengan kekerasan bersenjata melawan penjajah.