Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Sejak Kapan Nama Trenggalek Pertama Kali Ada? Ini Penjelasan Pengamat Sejarah

Kubah Migunani

Ada beragam versi yang menjelaskan asal-usul nama Kabupaten Trenggalek. Mulai dari Terang ing Galih, Kota Gaplek, hingga Trenggale (gabungan kata 'Treng' dan 'Gale'). Akan tetapi, ragam penjelasan tentang asal-usul nama Trenggalek itu hanyalah interpretasi atau tafsiran. Tafsir-tafsir itu tidak bisa menjawab pertanyaan sejak kapan nama Trenggalek pertama kali ada?

Pertanyaan itu penting untuk mengetahui data pasti terkait kemunculan nama Trenggalek. Sebuah data yang menjelaskan bukti konkret seperti tahun, pencipta, dan makna dari Trenggalek. Bukan sekedar tafsiran.

Pentingnya mengetahui data pasti kemunculan nama Trenggalek itu, disampaikan oleh Misbahus Surur, pengamat sejarah Trenggalek, sekaligus akademisi Fakultas Humaniora di UIN Maliki Malang.

Mengapa Melacak Asal-Usul Nama Trenggalek itu Susah?

Buku Sebelum Trenggalek Kini karya Misbahus Surur/Foto: Dokumen Surur

Surur melakukan upaya pelacakan sejarah serta kemunculan nama Trenggalek, melalui buku 'Sebelum Trenggalek Kini', yang diterbitkan Instrans Publishing, Malang, 2019. Dari hasil pelacakannya, Surur mengaku hingga hari ini belum ada data pasti terkait sejak kapan nama Trenggalek pertama kali ada.

“Sampai hari ini belum ada data yang bisa menunjukkan nama Trenggalek ini mulai muncul kapan, terus di mana munculnya. Jadi kalau kita lacak asal usul nama Trenggalek mulai kapan ada itu juga susah,” ujar Surur saat ditemui Kabar Trenggalek.

Upaya pelacakan nama Trenggalek yang dilakukan Surur mentok di data peta administrasi pemerintah kolonial Belanda tahun 1855 dan Serat Centhini (Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga) tahun 1814.

Dalam peta pemerintah kolonial Belanda, disebutkan nama ‘Trenggalek’ sebagai afdeling (setingkat kabupaten), beserta onderafdeling (setingkat kawedanan) Trenggalek, Ngasinan, Pakis, Panggoel, Ngrajoeng, dan Kampak.

Kemudian, Serat Centhini juga menyebut nama ‘Trenggalek’ sebagai ‘Trenggalekwulan’. Menurut Surur, dalam serat Centhini ada tokoh-tokoh yang pernah berkunjung ke Trenggalek. Seperti cerita Pahargyan ngundhuh têmantèn (perayaan pernikahan) di Serat Centhini Jilid 10, bagian 8, bab III, yang berisi:

Dêmang Prawirancana gadhah niyat ngundhuh têmantèn dhatêng Trênggalèkwulan. Jayèngrêsmi nyuwun, supados pahargyan wontên ing Lêmbuasta kemawon. Sêdaya sami rujuk. Ngundhuh têmantèn ing Lêmbuasta kanthi ngaturi pirsa priyayi ing Panaraga tuwin sanak sadhèrèkipun Prawirancana, mila sakêlangkung rowa. Sadaya ubarampening pahargyan kadhatêngakên saking Trênggalèkwulan.

Artinya:

Demang Prawirancana berniat mengirim pesan ke Trenggalekwulan. Jayengrêsmi meminta agar perayaan tetap diadakan di Lêmbuasta. Mereka semua merujuk satu sama lain.  Mengunduh pesan di Lêmbuasta dengan menyampaikan informasi pria di Panaraga dan kerabat Prawirancana, itu sebabnya. Semua persiapan hajatan berasal dari Trenggalekwulan.

Melalui data peta administrasi pemerintah kolonial Belanda tahun dan Serat Centhini, Surur menyatakan pada awal tahun 1800, nama Trenggalek sudah dipakai dan dikenal oleh orang luar. Kendati demikian, Surur tetap belum menemukan sejak kapan nama Trenggalek pertama kali ada, siapa penciptanya, dan apa maknanya.

Surur mengatakan, Abdul Hamid Wilis dalam buku ‘Selayang Pandang Sejarah Trenggalek’, 2016, menyebutkan nama ‘Trenggalek’ sudah ada sejak zaman Adipati Menak Sopal, sekitar tahun 1500.

Menurut Hamid Wilis, Menak Sopal merupakan sosok legenda penyiar Islam di Trenggalek. Menak Sopal juga dikultuskan sebagai bapak pertanian di Trenggalek, atas jasanya membangun Dam Bagong, sehingga bisa mengairi ratusan hektare sawah di Bagong (sekarang Dusun Bagong, Kelurahan Ngantru, kecamatan Trenggalek).

Dikisahkan, ayah Menak Sopal yaitu Minak Sraba, seorang penyiar Islam yang bermukim di Bagong. Sedangkan ibunya adalah Putri Amiswati, konon merupakan putri Kerajaan Majapahit yang dilarikan ke Trenggalek.

Dalam pelariannya, Putri Amiswati diasuh oleh salah satu bangsawan Majapahit, Ki Ageng Galek (disebut juga Mbah Galek, Setono Galek, ataupun Mbah Kawak). Sosok Ki Ageng Galek ini yang diduga sebagai awal penyebutan nama wilayah Trenggalek.

Akan tetapi, Surur menyatakan bahwa Hamid Wilis tidak mampu menyebutkan data pasti terkait kemunculan nama Trenggalek. Dalam buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek, Hamid Wilis juga mengakui susahnya Tim Peneliti Sejarah Trenggalek (PST) dalam menentukan rentang masa kepemimpinan Menak Sopal. Sehingga, pernyataan bahwa nama Trenggalek ada sejak zaman Menak Sopal, sekitar tahun 1500, menjadi kurang valid.

“Dari Mbah Hamid sempat mengatakan bahwa asal usul nama Trenggalek itu sudah ada sejak zaman Menak Sopal. Meskipun Mbah Hamid ini gak ada data juga. Maksudnya, dia [Hamid Wilis] sepertinya juga berasumsi, interpretasi, mengangan-angan, memperkirakan. Mungkin sejak zaman Menak Sopal sudah ada nama Trenggalek. Tapi gak ada bukti tertulisnya,” jelas Surur.

Mengapa Banyak Tafsir Asal-Usul Nama Trenggalek?

Misbahus Surur, pengamat sejarah Trenggalek, akademisi Fakultas Humaniora di UIN Maliki Malang/Foto: Dokumen Surur

Minimnya referensi data pasti itu membuat sosok Ki Ageng Galek maupun Adipati Menak Sopal pada hari ini lebih diyakini masyarakat sebagai sosok legenda dengan beragam versi. Selain itu, susahnya melacak asal-usul kemunculan nama Trenggalek, membuat masyarakat mencetuskan tafsiran-tafsirannya. Ada versi Trenggalek berasal dari Terang ing Galih, Kota Gaplek, hingga Trenggale (gabungan kata 'Treng' dan 'Gale').

Surur mengkritik asal-usul Trenggalek versi Terang ing Galih. Versi ini berdasarkan buku ‘Cerita Rakyat dari Trenggalek’ yang ditulis oleh Edy Santosa dan Jarot Setyono, pada tahun 2005.

Dalam buku itu, disebutkan bahwa istilah Terang ing Galih diucapkan oleh Ki Ageng Sinawang (pengasuh Menak Sopal), kepada Mbok Randa, yang telah mengikhlaskan Gajah Putih miliknya dikorbankan untuk Buaya Putih. Buaya Putih menginginkan kepala Gajah Putih sebagai syarat untuk tidak merusak Dam Bagong yang dibangun Menak Sopal dan masyarakat.

“Kalau Terang ing Galih itu hanya gothak gathik mathuk, seperti kerata basa di bahasa Jawa. Seperti kuping, kaku njepiping. Gedhang, digeget bar madhang. Sama saja seperti Trenggalek, Terang ing Galih. Itu tidak bisa melacak asal usul, itu hanya sekedar menciptakan makna baru bagi nama lama,” ucap Surur.

Asal-usul Trenggalek versi Kota Gaplek, juga dikritik oleh Surur. Versi itu merupakan tafsiran dari penelitian yang dilakukan Teguh Budiharso, akademisi dari Universitas Mulawarman. Teguh Budiharso membuat penelitian yang berjudul ‘Meluruskan Sejarah Trenggalek Kota Gaplek: Studi Heuristik Foklor Panembahan Batoro Katong, Joko Lengkoro Dan Menak Sopal’. 

Teguh Budiharso dalam penelitiannya menyatakan, menurut Manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, nama Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek atau daerah penghasil gaplek (makanan yang diolah dari ubi ketela pohon atau singkong). Dalam manuskrip itu, disebutkan nama Galek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).

“Memang benar kalau Trenggalek itu salah satu daerah penghasil gaplek, tapi keterkaitannya dengan nama Trenggalek itu saya kira agak jauh. Malah itu hanya othak-athik, karena bingung juga mau mencarinya kan, akhirnya ya dikait-kaitkan gitu. Meskipun Pak Teguh itu di tulisannya cukup meyakinkan, tapi menurut saya itu juga belum menggambarkan. Tidak ada kaitannya nama Trenggalek dengan gaplek,” jelasnya.

Bahkan, dalam Prasasti Kampak (929) maupun Prasasti Kamulan (1194), juga tidak menyebutkan nama Trenggalek. Meski demikian, secara pribadi, Surur lebih menerima asal-usul nama Trenggalek dari Trenggale, versi Abdul Hamid Wilis, dalam buku Selayang Pandang Sejarah Trenggalek, meskipun versi ini juga tafsiran tanpa data pasti yang kuat. 

Dalam Kamus Kawi Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito (1977), kata “Treng” berarti bagian dalam, sedangkan “gale” artinya menolak. Sehingga, menurut Hamid Wilis, Trenggalek berasal dari kata Trenggale, artinya tempat yang jauh atau pedalaman tempat menolak marabahaya.

Trenggale juga diartikan tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali. Dari kata Trenggale, lama-lama bergeser atau mingset menjadi Trenggalek. Tambahan huruf k pada “Trenggalek” ditafsirkan sebagai paragog atau proses penambahan bunyi pada akhir kata dari huruf e dalam “Trenggale”.

“Kalau saya yang cocok, untuk nama Trenggalek itu secara menggambarkan full geografisnya ya tafsirannya Mbah Hamid itu. Yang nama Trenggalek itu diambil dari kata Trenggale, Treng dan Gale. Karena memang Trenggalek itu lokasinya sangat jauh dari ibukota beberapa teritori besar dari zaman dulu sampai sekarang," kata Surur.

Surur menyebutkan, sejak zaman kerajaan, Trenggalek jauh dari kekuasaan Demak, Pajang, Mataram, Majapahit, ataupun Kediri. Lokasi yang jauh itu menjadi keuntungan bagi tokoh-tokoh di zaman kerajaan hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebagai tempat berlindung, konsolidasi, maupun pelarian.

“Kalau dilacak dari masa ke masa itu, Trenggalek jadi tempat berlindung, pelarian, buron. Banyak tokoh-tokoh besar yang bertetirah, mencari wangsit sekaligus untuk berlindung, seperti Jenderal Sudirman. Itu karena lokasinya [Trenggalek] jarang dijamah orang. Nah, [tempat yang jauh] itu memang identik dengan kata Trenggalek kalau ditafsirkan secara ilmu bahasa,” terangnya.

Mengapa Orang Trenggalek Minder dengan Daerah Asalnya?

Potret permukiman Kabupaten Trenggalek yang dikelilingi bukit dan gunung/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)

Dalam catatan sejarah, asal-usul nama Trenggalek dari Trenggale versi Hamid Wilis itu digunakan sebagai dasar untuk menolak usulan pengubahan nama Trenggalek menjadi Trenggalih, pada zaman Bupati Soetran (1973). Alasan Bupati Soetran waktu itu karena ia menilai nama Trenggalek sering diartikan Terang yen Elek (jelas kalau jelek). Sedangkan Trenggalih dinilai memiliki arti Terang ing Galih (Jernih di Hati).

Menurut pengamatan Surur, usulan pengubahan nama Trenggalek menjadi Trenggalih itu didasari oleh perasaan tidak percaya diri atau minder. Hingga hari ini, rasa minder itu juga dialami oleh beberapa kalangan masyarakat, termasuk anak-anak muda Trenggalek.

“Beberapa anak Trenggalek itu ada yang tidak mengakui kalau asalnya Trenggalek. Ngakunya Tulungagung, karena minder dengan nama daerahnya. Pak Soetran pernah menggagas mengubah nama Trenggalek menjadi nama Trenggalih. Atau membuat kata dari makna yang lama, dikreasi maknanya yang mengandung sesuatu yang bagus,” ujarnya.

Surur tak menganggap penafsiran Terang ing Galih ataupun Trenggalih itu salah. Akan tetapi, versi tafsiran itu tidak bisa digunakan untuk menjelaskan asal-usul nama Trenggalek secara historis.

“Mengkreasi nama Trenggalek itu adalah Trenggalih, itu tidak ada salahnya, tidak apa-apa. Tapi kalau kemudian melekatkan nama Terang ing Galih itu sebagai asal usul historis nama Trenggalek, itu kemudian yang menjadi salah paham. Jadi perlu dijelaskan, dua hal ini berbeda. Karena nama Trenggalek belum jelas asal usulnya dari mana, kapan mulai muncul. Selama ini dugaan-dugaan, asumsi-asumsi, belum ada datanya,” ungkap Surur.

Oleh karena itu, Surur menilai seharusnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek hari ini melakukan penelitian lanjutan yang lebih serius untuk melacak asal-usul nama Trenggalek. Pertama, pemerintah harus menemukan sejak kapan nama Trenggalek pertama kali ada? Lalu, dari mana munculnya nama Trenggalek, dan siapa yang menciptakan?

“Nanti kalau sudah ketemu itu, saya kira gampang untuk menyusun arti [Trenggalek] secara historis. Bisa aja pemerintah membentuk tim untuk melacak, tim yang lebih kompeten, melacak nama Trenggalek dari mana. Mungkin saja data-datanya masih tertimbun di Belanda,” ujarnya.

Terlepas dari minimnya referensi dan data pasti terkait asal-usul nama Trenggalek, Surur menilai bahwa nama Trenggalek merupakan nama yang bagus. Ia juga bangga menjadi orang yang lahir di Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek.

“Kalau Trenggalek diidentifikasi dengan jelek, elek, lokasinya jauh, itu kan asosiasi orang saja. Misalnya masyarakat Trenggalek pede, rumah saya Trenggalek, nggunung, pede aja. Salahnya itu minder dulu [karena] rumah nggunung dan ndesa,” tandas Surur.

Baca tulisan lainnya tentang Asal Usul Nama Trenggalek:

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *