Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren Harus Dilakukan Bersama-Sama

Kabar Trenggalek - Aktivis perempuan menyuarakan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual di pesantren yang harus dilakukan bersama-sama. Upaya pencegahan itu disuarakan karena kekerasan seksual di pesantren terus terjadi. Salah satunya Kekerasan seksual yang dilakukan SMT, ustad di Trenggalek, kepada 34 santriwati, Minggu (3/10/2021).Tsamrotul Ayu Masruroh, aktivis Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres), mengatakan pencegahan kekerasan seksual bisa dilakukan dengan cara menciptakan budaya pendidikan yang lebih egaliter [setara].“Menurut saya upaya yang bisa dilakukan adalah menciptakan kultur pendidikan yang lebih egaliter, adil gender, dan tidak menganggap perempuan sebagai makluk kelas dua. Hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan mata pelajaran di pesantren menyoal pendidikan kritis,” ujar Ayu.Baca juga: Tiga Tahun Cabuli 34 Santriwati, Ustadz di Trenggalek Ditangkap PolisiMenurut Ayu, memasukkan pelajaran kesetaraan gender penting karena laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah dengan yang derajat yang sama.“Tidak ada yang lebih mulia di antara manusia, kecuali yang paling banyak bertaqwa dan beramal sholeh dalam hidupnya. Penting memasukkan pelajaran kesetaraan gender perspektif Islam. Karena Islam sangat menghargai antara laki-laki dan perempuan, jangan sampai ajaran Islam itu digunakan untuk menindas sesama manusia,” terang Ayu.Ayu menambahkan, memasukkan pelajaran atau pendidikan kesehatan reproduksi juga penting supaya santri tidak tabu dengan tubuhnya. Sehingga, santri tidak tabu membahas soal reproduksi ataupun kekerasan seksual.

Kekerasan Seksual di Pesantren, Siapa yang Tanggungjawab?

Upaya pencegahan kekerasan seksual di pesantren perlu dibarengi dengan upaya penanganan ketika terjadi kekerasan seksual. Ayu menjelaskan, pihak pesantren harus bertanggungjawab menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa santri-santrinya.“Ya karena kekerasan seksual itu terjadi di pesantren, pesantren harus tanggungjawab terhadap apa yang ada di pesantren tersebut. Dan itu bisa dilakukan dengan adanya wadah konseling kesehatan mental maupun lembaga bantuan hukum untuk korban kekerasan seksual,” tegas Ayu.“Jadi pesantren harus menyediakan [wadah konseling dan bantuan hukum] itu dan pesantren harus bertanggungjawab. Karena pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mendidik santri berhari-hari, dan mungkin bertahun-tahun di dalam pesantren tersebut,” tambahnya.Baca jugaUstad di Trenggalek Cabuli 34 Santriwati, Warganet Mencibir Tindakan BejatnyaAyu mengamati, hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur penanganan tindak kekerasan seksual di pesantren. Padahal, jumlah pesantren di Indonesia sangat banyak, ada sekitar 27.000 lebih pesantren.“Sejauh ini saya belum menemui regulasi soal penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren. Dan ini penting dibuat supaya pesantren bisa tau, dan bisa punya langkah strategis apa yang bisa dilakukan kalau ada kekerasan seksual di pesntren. Dan korban juga tidak semakin memburuk kondisinya, tahu harus bagaimana ketika mengalami kekerasan seksual di pesantren,” jelas Ayu.Selain pesantren, Kementerian Agama (Kemenag) juga memilki tanggungjawab untuk menciptakan regulasi penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren. Ayu mengatakan, regulasi ini penting diciptakan supaya pesantren bisa jadi ruang aman.Baca juga: Upaya Dinsos Trenggalek Dampingi 34 Santriwati serta Istri dan Anak Pelaku Kekerasan SeksualAyu berkata, Kemenag sudah membuat Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada tahun 2019. Peraturan itu termuat dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019. Namun, regulasi itu hanya berlaku di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).[caption id="attachment_3340" align=aligncenter width=1273]Aktivis Perempuan Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren seperti Fenomena Gunung Es Aksi Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual: Menagih Kinerja Profesional Polda Jatim Usut Tuntas Kasus Perkosaan Santriwati di Jombang, (15/7/2020)/Foto: Kabar Trenggalek - Wahyu Agung Prasetyo[/caption]“Kemenag sudah menciptakkan regulasi penanganan kekerasan seksual. Meski banyak perguruan tinggi islam yang tidak menggunakannya, tapi setidaknya di pesantren bisa didorong untuk menciptakan regulasi penanganan kekerasan seksual,” ucap Ayu.

Baca juga: Empat Korban Ustad Cabul di Trenggalek Melapor ke Polisi

Belum adanya regulasi khusus di pesantren untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, membuat pesantren harus berani bertanggungjawab ketika terjadi kekerasan seksual. Salah satu tanggungjawab yang bisa dilakukan pesantren adalah mengakui adanya kekerasan seksual di lembaganya.“Seandainya ada kasus kekerasan seksual harus berani mengakui. Entah itu ustad atau kiai, kalau menjadi pelaku kekerasan seksual ya harus ditindak tegas. Kita harus adil sejak dalam pikiran. Tentu sangat islami sekali jika pesantren mau menginsafi ada kekerasan seksual dan sebagai koreksi supaya tidak ada kasus-kasus tersebut di kemudian hari,” terangnya.Baca jugaKronologi Pelaporan Ustad di Trenggalek yang Cabuli 34 SantriwatiMenurut catatan Ayu, ada banyak pesantren di Indonesia yang mendapat banyak gelar pesantren ramah anak dan pesantren ramah perempuan. Tapi menurut Ayu, pada dasarnya pesantren itu tidak punya regulasi soal penanganan kasus kekerasan seksual.“Saya menangkap bahwa gelar pesantren ramah anak atau ramah perempuan itu hanya slogan saja. Tidak dibarengi dengan regulasi soal penanganan kasus kekerasan seksual, tidak dibarengi dengan adanya edukasi pemahaman kritis, pendidikan kesetaraan gender ataupun pendidikan soal reproduksi. Jadi menurut saya gelar itu cuma slogan-slogan atau omong kosong belaka. Tidak ada yang lebih islami dari keadilan,” ujar Ayu.

Bersama-Sama Mencegah Kekerasan Seksual

Penangkapan SMT, pelaku kekerasan seksual terhadap 34 santriwati di Trenggalek perlu diapresiasi supaya kedepannya bisa mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di Trenggalek. Namun, kasus kekerasan seksual di pesantren itu bisa terungkap karena korban berani untuk melapor. Terlebih, SMT sudah melakukan aksi bejatnya sejak tahun 2019.[caption id="attachment_3290" align=aligncenter width=1280]Empat Korban Ustad Cabul di Trenggalek Melapor ke Polisi Polres Trenggalek ungkap kasus kekerasan seksual oleh ustad cabul di Trenggalek/Foto: Polres Trenggalek[/caption]Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan sesksual di Trenggalek perlu ditingkatkan lagi. Dian Meiningtias, aktivis perempuan Trenggalek, mengatakan perlunya dukungan dari berbagai pihak serta lingkungan terdekat untuk menguatkan korban kekerasan seksual.Baca juga: 15 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan, Warga Trenggalek Harus Tahu“Upaya mencegah dan menangani [dari Pemkab Trenggalek] sudah baik, hal tersebut secara tegas juga dilindungi payung hukum yang jelas. Kesulitan dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah sifat tertutup dari korban yang memungkinkan kesulitan bagi terungkapnya kasus serupa,” ujar Dian“Dalam banyak kasus kekerasan seksual, harus ada satu korban yang melapor baru disusul pengakuan dari korban lainnya. Baik yang hadir dari pengembangan kasus atau kesadaran korban untuk melaporkan karena adanya rasa senasib. Hal tersebut penting kiranya disadari bahwa terungkapnya kasus ini sangat dipengaruhi oleh dukungan lingkungan yang menguatkan,” tambahnya.Baca juga: Aktivis Perempuan Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren seperti Fenomena Gunung EsMenurut Dian, masyarakat perlu bersinergi untuk mencegah kekerasan seksual. Sinergi yang dimaksud Dian yaitu baik pemerintah, instansi pendidikan, pemerhati anak, lingkungan dan orang tua. Semua pihak perlu bersinergi untuk memberikan pendidikan seksualitas sesuai umur sebagai upaya preventif dalam pencegahan terhadap bentuk kejahatan. Pendidikan seksualitas juga bisa mempersempit ruang bagi pelaku kekerasan seksual karena tingginya tingkat kesadaran dari semua lapisan masyarakat.“Pendidikan seksualitas menjadi satu pendidikan penting bagi anak dalam mengenal kebertubuhan. Sehingga anak-anak memahami peran dari anggota tubuh dan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang di luar dirinya,” ucap Dian.Baca juga: ForMujeres: Ustad yang Memaksa Hubungan Seksual Harus Dilawan, Tidak Boleh PatuhDian menjelaskan, ketika masyarakat lebih sadar dan teredukasi tentang seksualitas, maka masyarakat akan bersolidaritas secara masif kepada korban. Solidaritas itu penting untuk mendukung korban serta mendorong pelaporan dan pemberian sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual.Selain itu, solidaritas kepada korban juga penting untuk mendorong upaya pemulihan korban, yang dalam kasus ini adalah anak-anak. Pemulihan korban menjadi salah satu agenda penting sebagai upaya memberikan rasa aman dan dan penyembuhan atas trauma yang dialaminya.“Dengan kata lain pencegahan tehadap kekerasan seksual pada anak dapat diberikan oleh orang tua melalui pengarusutamaan komunikasi dalam memberikan pendidikan seksualitas sesuai umur. Sehingga, upaya pencegahan dan pemulihan korban menjadi tugas bersama guna terciptanya masa depan anak yang aman dan lebih baik,” terang Dian.