Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah, berkunjung ke Hongkong untuk menyosialisasikan peraturan pembebasan biaya penempatan atau zero agency fee, pada 30 - 31 Juli 2023. Peraturan itu ditujukan kepada Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Hong Kong.
Akan tetapi, JBMI atau Jaringan Buruh Migran Indonesia kritik kunjungan Menteri Tenaga Kerja ke Hong Kong. Menurut JBMI, peraturan itu tidak dapat menyelesaikan persoalan biaya berlebih (overcharging) yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hong Kong.
Dalam kunjungannya, Menteri Tenaga Kerja bersama Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (ASPATKI, Asosiasi P3MI). Menteri menyampaikan aturan itu akan mendorong calon majikan menanggung mayoritas biaya perekrutan PMI.
Sringatin, Koordinator JBMI, melalui rilis pernyataan sikap resminya, menjelaskan peraturan zero cost sudah diresmikan sejak 2020. Namun mayoritas PMI sektor domestik di Hong Kong dan di negara-negara lain masih tetap dipungut biaya keberangkatan yang sangat mahal.
JBMI mengungkapkan, biaya-biaya tersebut dinikmati oleh P3MI, agen Hong Kong, swasta lain (BPJS, RS, dsb) dan pemerintah Indonesia sendiri. Selain itu, PMI pendatang baru masih mengalami penahanan paspor dan kontrak kerja oleh agen Hong Kong dan surat-surat penting (KTP, ijazah, KK, dsb) oleh P3MI di Indonesia.
Sringatin mengatakan, permasalahan beban biaya dan pelanggaran-pelanggaran yang menyertainya sudah lama diteriakkan oleh JBMI dan anggota-anggotanya melalui forum, dialog, petisi hingga pengaduan ratusan korban overcharging.
"Akan tetapi, pemerintah tidak mampu memberi solusi untuk mengembalikan uang dan dokumen para korban. Pemerintah juga gagal membuat biaya keberangkatan lebih murah dan proses bermigrasi lebih mudah," ungkap Sringatin.
Sringatin menilai, peraturan zero agency fee sangat indah di atas kertas tetapi nyatanya tidak bisa dipraktekkan. Buktinya hingga sekarang, PMI masih harus membayar biaya antara HKD (Dolar Hong Kong) 12,000 hingga HKD 20,000 (Rp. 23.295.438,10 hingga Rp. 38.801.106,70) untuk satu kali kontrak agar dapat bekerja di Hong Kong. Jika PMI mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), mereka dapat dipungut biaya baru sebesar HKD 4,000-HKD 6,000 (Rp. 7.760.221,34 hingga Rp. 11.640.332,01).
Sringatin membandingkan, pemerintah Filipina juga menerapkan peraturan bebas biaya, bahkan jauh lebih awal daripada pemerintah Indonesia. Akan tetapi buktinya sampai sekarang pekerja migran Filipina masih tetap dipungut biaya keberangkatan sebesar HKD 5000 hingga HKD 8000. Artinya, meski peraturan ada, tetapi tidak dapat dilaksanakan.
Menurut Sringatin, Pemerintah Indonesia sudah berkali-kali membuat peraturan perubahan biaya penempatan bagi PRT Indonesia ke Hong Kong. Dari HKD 17,000 diturunkan menjadi HKD 9,000 dan kemudian dinaikkan menjadi HKD 15,000 lalu sekarang dihapus menjadi zero agency fee.
"Akan tetap di lapangan, PMI tetap membayar biaya yang jauh lebih besar dari biaya yang ditetapkan. Bahkan tidak ada satupun P3MI yang dihukum penjara karena pelanggaran ini," tegas JBMI.
Sringatin mengkritik, pemerintah tutup mata atas praktek overcharging yang merajalela karena sengaja kongkalikong dengan P3MI untuk menjual tenaga kerja Indonesia keluar negeri sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan risiko.
"Pengiriman tenaga kerja sudah menjadi bisnis besar yang sangat menggiurkan dan menguntungkan banyak pihak sejak tahun 1980-an. Pemerintah memainkan peran sebagai penyedia stock tenaga kerja dan mencari potensi pasar sementara P3MI dan agen sebagai distributor di lapangan," jelas Sringatin.
Dalam bisnis ini, lanjut Sringatin, PMI diperlakukan layaknya barang dagangan. Dorongan mencari pasar tenaga kerja semakin besar setelah pandemi Covid-19 seiring membludaknya pengangguran khususnya di kalangan mereka yang berpendidikan tinggi.
"Inilah alasan mengapa Menteri Tenaga Kerja meminta agar pemerintah Hong Kong dan negara-negara lain membuka pasar bagi penempatan tenaga kerja formal dari Indonesia," ujar Sringatin.
Sringatin juga mengkritik kunjungan Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah, sebagai kunjungan langka. Akan tetapi, Ida Fauziah tidak menyempatkan menemui pimpinan dari organisasi-organisasi yang selama ini aktif memperjuangkan hak dan kesejahteraan PMI.
"Ratusan korban overcharging yang sedang menuntut keadilan juga tidak ditemui. Lalu bagaimana Ibu Menteri dapat membuat kebijakan dan langkah yang membantu para PMI jika para PMI yang bersangkutan saja tidak ditemui?" kritik Sringatin.
Menurut Sringatin, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menerapkan bebas biaya bagi PMI, langkah pertama dan utama adalah dengan terlebih dahulu menghukum penjara P3MI yang memungut biaya berlebih dan mengembalikan uang dan dokumen dari para korban.
"Jika pemerintah sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan bagi PMI, maka pemerintah harus membuka ruang pengaduan dan jalur pengaduan yang mudah di kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri serta mempercepat proses penanganan kasus agar para korban tidak semakin terlantar," tegas Sringatin.
"Peraturan dan siaran pers yang dikeluarkan pemerintah Indonesia hanya cantik diatas kertas tetapi kenyataannya tidak dapat dijalankan. Sementara apa yang kami sampaikan diatas adalah berdasarkan kondisi konkret PMI di Hong Kong," tambahnya.