KBRT - Di tengah riuh rendah transaksi pasar basah Trenggalek, sosok Nur Kamad (55) melangkah tenang dengan pundak yang tak pernah lelah memanggul karung berisi hasil bumi. Ia bukan pedagang, bukan pula pembeli. Namun, jasanya menjadi urat nadi yang menghubungkan para penjual dengan barang dagangan mereka.
Hari itu, menjelang peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, Nur Kamad tetap menjalani rutinitasnya. Pagi-pagi benar ia sudah siap di pasar, menanti pelanggan yang membutuhkan bantuannya. Di pundak kokohnya, ratusan hingga ribuan kilogram barang dagangan berpindah tempat — mulai dari beras, sayur-mayur, hingga kebutuhan pokok lainnya.
“Sebelum peristiwa kebakaran Pasar Pon, saya sudah jadi kuli panggul di sana sejak lama. Setelahnya, saya menetap di Pasar Basah sampai sekarang. Kalau dibilang capek ya, saya tahan. Bagaimanapun keadaannya tetap jalan, namanya juga cari rezeki,” ujarnya sembari mengelap keringat.
Pria asal Dusun Punjung, Desa Sumberingin ini memulai profesinya sejak puluhan tahun silam. Tak hanya memanggul, ia juga kerap menggunakan becaknya untuk mengantar barang dalam jumlah besar agar pekerjaan lebih ringan dan waktu lebih efisien.
“Barang yang kecil-kecil seperti sayur atau mi saya bawa pakai becak kalau suasana pasar tidak terlalu ramai, agar tidak mengganggu pejalan kaki. Beda dengan beras atau gula dalam karung besar yang langsung saya panggul, karena akan memakan waktu dan tenaga lebih besar kalau pakai becak,” ceritanya.
Menariknya, dalam menjalankan pekerjaannya, Nur Kamad tidak pernah memasang tarif tetap. Ia sepenuhnya menyerahkan besaran upah kepada kemurahan hati pelanggannya.
“Yang pasti itu upah mengangkut beras, untuk satu ton beras saya mendapatkan Rp20.000. Kalau barang dagangan lain seperti sayur atau kelapa jauh lebih sedikit,” kata Nur Kamad.
Pendapatannya tak menentu. Kadang ramai, kadang sepi. “Hari ini saya baru dapat dua pelanggan yang meminta mengantarkan sayurnya ke lapak. Saya tadi juga menawarkan bantuan ke pedagang yang bawa satu pikap kerupuk, tetapi karena pesanannya sedikit jadi tidak perlu bantuan saya,” ungkapnya.
Meski begitu, Nur Kamad tak pernah mengeluh. Ia memandang rezeki sebagai sesuatu yang sudah diatur Sang Pencipta. “Ya, saya percaya rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Tugas saya tinggal berusaha mendapatkan bagian milik saya. Meski harus bekerja berat setiap hari seperti ini, saya bersyukur bisa mencukupi kebutuhan istri dan ketiga anak di rumah,” pungkasnya.
Di Hari Buruh 1 Mei ini, kisah Nur Kamad menjadi pengingat bahwa kerja keras tidak hanya berlangsung di pabrik-pabrik atau perkantoran. Di pasar tradisional, para buruh panggul seperti dia adalah tulang punggung yang memastikan roda ekonomi tetap berputar. Tanpa mereka, denyut pasar tak akan seramai hari ini.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz