Peringatan Hari Tani Nasional 2023 menjadi momen untuk merefleksikan persoalan di bidang pertanian. Khusus di Jawa Timur, salah satu persoalan yang perlu disoroti yaitu revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) dalam merevisi RTRW mengantarkan pada pertanyaan, apakah Jawa Timur masih jadi lumbung pangan?
Berdasarkan pengamatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, luasan lahan komoditas pangan seperti padi yaitu 1.69 juta hektare di Jawa Timur pada tahun 2022. Akan tetapi, jumlah itu mengalami penurunan dari 2021 yang seluas 1.75 hektare.
"Saat melihat tren-nya, luas lahan pertanian khususnya sawah mengalami penurunan cukup signifikan. Hal ini belum termasuk dengan lahan-lahan lainnya seperti tegalan/ladang dan kebun," ujar Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, melalui rilis resminya.
Menurut Wahyu, penurunan produktivitas pangan selalu bersanding lurus dengan penurunan lahan pertanian yang kian hari semakin menyusut. Hal itu ditunjukkan dengan adanya alih fungsi yang cukup masif pada lahan-lahan produktif untuk menjadi peruntukan lain seperti kawasan industri, perumahan, infrastruktur dan tambang.
"Sebaran dari alih fungsi ini hampir terjadi di seluruh wilayah Jawa Timur mulai dari Pacitan hingga Banyuwangi. Sehingga situasi ini cukup mengkhawatirkan terkait masa depan pangan di Jawa Timur pada khususnya dan Pulau Jawa lebih luasnya," jelas Wahyu.
Persoalan Tata Ruang di Jawa Timur
Wahyu menjelaskan, alih fungsi lahan pertanian di Jawa Timur tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Masifnya transformasi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan perubahan tata ruang di suatu daerah.
"Sebelum diketoknya Undang-undang bermasalah seperti UU Cipta Kerja yang mendorong munculnya PP No 21 Tahun 2021, rencana tata ruang sudah bermasalah, dari semua wilayah kabupaten dan kota hampir semuanya isinya terdapat tumpang tindih peruntukan, seperti kawasan pangan dengan kawasan industri, infrastruktur, dan tambang," jelas Wahyu
Tidak hanya itu, lanjut Wahyu, mengenai penetapan lahan pangan dan pertanian berkelanjutan juga tidak konsekuen dengan kenyataan ruang. Hasilnya, penetapan tersebut tidak tepat sasaran dan minim.
"Kami menemukan bahwa banyak alih fungsi lahan pangan dan pertanian berkelanjutan dikarenakan pembangunan masif yang tidak sesuai dengan perencanaan ruang, tetapi tidak pernah ada tindakan bahkan kerumitannya ditambah dengan diberikannya aneka izin dari hak guna bangunan, hak guna usaha hingga izin usaha pertambangan," terangnya.
WALHI Jawa Timur menyayangkan revisi RTRW yang hampir dilakukan di seluruh wilayah Jawa Timur tidak menjadikan persoalan tersebut sebagai evaluasi. Mulai dari level provinsi hingga kabupaten dan kota, revisi RTRW memfasilitasi alih fungsi dengan menetapkan kawasan yang sebelumnya bermasalah menjadi terakomodir.
"Kondisi tersebut semakin diperparah dengan munculnya UU Cipta Kerja yang mempunyai semangat menggebu untuk merampas ruang hidup, termasuk kawasan pertanian dan pangan, sebagai jalan meningkatkan investasi," ucap Wahyu.
Melalui PP No 21 Tahun 2021 yang digunakan sebagai dasar revisi rencana tata ruang dan tata wilayah, meskipun aturan induknya inkonstitusional, telah mendorong revisi tata ruang yang menyesuaikan dengan kehendak determinasi pusat.
Peraturan itu membuka ruang untuk kebutuhan proyek infrastruktur nasional seperti jalan bebas hambatan, pengembangan energi seperti geothermal, pembangunan kilang minyak dan jaluran pipa sampai dorongan pembangunan kawasan ekonomi khusus.
"Selain itu rencana tata ruang ini juga memfasilitasi pertambangan skala besar dan pembangunan-pembangunan yang menyalahi kondisi ruang untuk dilegalkan," ujar Wahyu.
Wahyu menegaskan, rencana tata ruang yang kini dibuka selebar-lebarnya untuk kepentingan investasi besar telah mendorong ketidakamanan pangan, pasalnya akan ada banyak alih fungsi lahan pertanian. Seperti yang terjadi di Tuban untuk memenuhi alokasi luas guna pembangunan kilang minyak total 340 hektare lahan pertanian akan dialihfungsikan menjadi tapak kilang minyak.
Sementara sawah-sawah sepanjang Pesisir Utara Jawa Timur juga terancam digusur untuk kepentingan pembangunan jalan tol dari Tuban hingga Banyuwangi. Lalu lahan-lahan pertanian di wilayah pesisir selatan Jawa Timur juga bernasib sama dengan pesisir utara, di mana banyak lahan akan dialihfungsikan untuk jalan bebas hambatan.
"Bahkan akan banyak wilayah pertanian yang akan tergusur karena ditetapkan sebagai kawasan industri seperti Ngajuk, Pasuruan sisi timur dan Banyuwangi di area pesisir utara," terang Wahyu.
Tidak cukup di situ, WALHI Jawa Timur menilai aturan tata ruang telah mendorong tumpang tindih kawasan, seperti memunculkan kawasan pertambangan bersanding dengan kawasan pertanian dalam satu area.
Hal itu dapat dilihat dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Timur yang memasukan hal tersebut sebagai salah bagian dari revisi rencana tata ruang. Lahan-lahan pertanian di daerah seperti Trenggalek, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi menjadi sangat rentan dialifungsikan untuk kebutuhan pertambangan.
"Sebagai contoh munculnya izin usaha pertambangan di Trenggalek, Lumajang, Jember dan Banyuwangi telah mendorong revisi tata ruang yang memaksakan memasukan pertambangan di kawasan pertanian," ucapnya.
Alih fungsi lahan juga berlaku di kawasan-kawasan urban. Lahan pertanian dihapus dari peta ruang hanya untuk memfasilitasi ekspansi masif industri properti seperti yang terjadi di Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Malang Raya.
Pemerintah Harus Berpikir Ulang
Menurunnya luas lahan panen hingga produktivitas pertanian di Jawa Timur tak cukup diselesaikan dengan berbicara mengenai persoalan teknis pertanian. Sudah seharusnya melihat salah satu penyebab lain yakni rencana tata ruang yang tidak berperspektif realitas kawasan.
WALHI Jawa Timur menyampaikan, suatu kawasan seharusnya dilindungi dan dijaga agar tidak dialihfungsikan seperti lahan pangan dan pertanian. Tetapi praktik yang terjadi hari ini malah sebaliknya. Alih fungsi pada area tersebut malah difasilitasi untuk diubah peruntukannya. Sehingga tidak ada perlindungan, hasilnya alih fungsi semakin masif.
"Kawasan pangan tidak berdiri sendiri. Ia selalu ditopang oleh ekosistem, alih fungsi pertanian tidak cukup dengan hanya melindungi lahannya tetapi juga kawasan penunjangnya seperti hutan dan mata air," ungkap Wahyu.
Wahyu menilai, pemerintah justru sering melihat banyak wilayah kabupaten dan kota yang memfasilitasi alih fungsi di wilayah hulu, tengah, dan hilir dalam jalur DAS. Padahal, kerusakan pada kawasan penunjang juga akan mendorong menurunnya produktivitas pangan.
"Rusaknya kawasan hulu DAS akan berdampak pada kawasan hilir dan tercemarnya kawasan tengah DAS akan mendorong rusaknya kawasan hilir," kata Wahyu.
Menurut keterangan Wahyu, praktik yang terjadi sampai hari ini adalah perencanaan ruang tidak melihat kondisi dan realitas yang terjadi dalam suatu wilayah. Malahan memaksakan mengubah untuk kepentingan investasi yang sifatnya jangka pendek.
"Banyak lahan pangan dan pertanian berkelanjutan dan ekosistem penunjangnya yang diubah dan ditumpuk kegunaan ruangnya untuk memfasilitasi kepentingan investasi," jelasnya.
Hal itu dapat dilihat dalam revisi rencana tata ruang Pemprov Jatim dan seluruh kabupaten/kota. Dampaknya, kondisi tersebut telah mendorong kerentanan pangan, karena akan memantik alih fungsi kawasan pertanian dan ekosistem penunjangnya.
"Memang sudah seharusnya Pemprov Jawa Timur dan seluruh kabupaten/kota untuk meninjau ulang rencana tata ruangnya, mengevaluasi dan merevisinya untuk kepentingan keberlanjutan ekosistem dan pangan di masa yang akan datang," ujarnya.
WALHI Jawa Timur menegaskan, RTRW harus bertumpu pada aspek perlindungan dan pencegahan alih fungsi lahan pangan dan pertanian berkelanjutan berserta ekosistem penunjangnya.
"Kembali menerapkan prinsip mengembalikan kembali fungsi ruang yang sesuai dengan kondisi ekosistemnya, serta menegakkan prinsip ekonomi harus mengikuti pola ruang, bukan dipaksakan atau diubah paksa," tegas Wahyu.
Catatan WALHI Jawa Timur itu merupakan refleksi mengenai kondisi lahan pangan dan pertanian yang semakin menyusut, kekhawatiran akan ketidakamanan pangan ke depan akan semakin menyusahkan Jawa Timur dan semakin merentankan kehidupan warga.
"Karena itu, kami mendorong Pemprov Jawa Timur dan seluruh kabupaten/kota untuk memikirkan kembali mengenai rencana tata ruang yang semakin tidak sensitif pangan dan ekosistem. Serta mendorong untuk membuat rencana tata ruang yang bertumpu pada perlindungan dan penguatan kawasan pangan beserta ekosistem penunjangnya," tandas Wahyu.