Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Was-was Tambang Emas Mengancam Petani Durian Kampak Trenggalek

"Kutho Trenggalek… Kutho Trenggalek…Kinubengan gunung gunung tepung gelang. Bumine lohjinawi. Tanah Jowo katon subur cengkehe. Duren lan manggis wohe dedompolan. Turine bulgure mugi batih angremuyuh. Kondang ningrat produksi Batik Trenggalek. Tempene alen alen tekan monco projo. Taneman pon-empon kopi mrajak semi. Prayoto subur makmur Kutho Trenggalek…"

~ Lagu Kutho Trenggalek

Minggu, 24 September 2023. Samidi, seorang petani durian berusia 53 tahun menyanyikan penggalan lagu Kutho Trenggalek di ruang tamu rumahnya. Simbol hasil pertanian dan perkebunan dalam lagu itu menggambarkan Trenggalek kota yang makmur. Masyarakatnya hidup tentram dan memiliki potensi alam yang besar untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Tapi nahas, hasil alam Trenggalek yang mencukupi kebutuhan hidup masyarakatnya, kini berpotensi terancam rencana eksploitasi tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan investornya Far East Gold (FEG). Hampir dua dekade belakang, hidup masyarakat Trenggalek makin was-was di bawah ancaman tambang emas terbesar di Pulau Jawa.

Menjelang sore, pukul 15.30 WIB, Samidi pulang dari kebunnya. Ia baru saja menurunkan ratusan durian dari obrok miliknya. Durian itu masing-masing diikat sepasang menggunakan tali rafia. Ukurannya tak terlalu besar. Perpaduan warna mencolok antara hijau, kuning, dan coklat, memperlihatkan pesona durian lokal khas Trenggalek. Ia menanam puluhan pohon durian di hutan milik Perhutani, Cangtumpak dan Kedungpetung, Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek.

Samidi sudah menanam pohon durian sejak tahun 1991. Waktu itu ia masih berusia 21 tahun. Di masa mudanya, ia kerap bereksperimen bagaimana cara menghasilkan buah durian yang bagus dan banyak. Ia menjelaskan ada beberapa langkah yang harus diperhatikan sejak dari masa tanam.

"Sudah tanam durian sejak tahun 1991. Sampai sekarang sudah gak bisa dihitung lagi panennya, entah berapa, sudah lupa," ujarnya.

Dari pengalaman Samidi, ketelitian jarak tanam berpengaruh pada produktivitas pohon durian. Apalagi jika pohon durian ditanam di tanah miring seperti rata-rata tanah di Desa Karangrejo yang banyak perbukitan. Jarak tanam antar pohon jika berada di tempat miring setidaknya tidak kurang dari 12 meter. Kemudian di sekitar pohon juga harus dibuatkan galuran, semacam tempat untuk menahan sampah daun-daun agar tidak terbawa air.

Sampah daun-daun yang berjatuhan akan terbawa air dan tertahan di galuran. Kemudian daun-daun itu akan mengering dengan sendirinya dan membusuk menjadi pupuk organik. Sehingga tanah di sekitar pohon durian tetap subur secara alami. Dengan begitu, Samidi tak pernah menggunakan pupuk buatan.

Cara seperti itu Samidi gunakan setelah menemukan banyak tanaman duriannya yang tidak berbuah. Ia kemudian menghilangkan beberapa tanamannya agar tidak tumbuh berdempetan.

"Jarak tanam itu kalau di tempat miring jangan kurang dari 12 meter. Biar rantingnya itu tidak bersangkutan. Kalo kita tanam begitu, pas masih kecilnya suka, tapi besarnya nanti bertumpuk dengan ranting-ranting yang lain akhirnya mati. Kita bukan panen buah, tapi panen batang," jelasnya.

Hal itu berbeda jika pohon durian ditanam di tanah datar. Jarak tanam tak perlu jauh-jauh dan tak perlu membuat galuran. Tetapi tetap harus benar-benar memperhatikan proses penanaman. Mulai dari ditanam dengan tanah timbun agar nantinya akar muda pohon durian menjadi kuat jika terkena air.

Durian juga bisa lebih produktif jika didukung faktor kecenderungan cuaca yang panas. Samidi mengungkapkan, beberapa tahun belakangan, tanaman durian miliknya tak berbuah sama sekali karena intensitas hujan yang tinggi.

Tetapi di tahun ini, cuaca yang dominan panas membawa berkah bagi Samidi. Dari dua lahan dengan luas total 1,5 hektare miliknya saja, Samidi memanen sekitar 3000 buah di musim panen pertama dan 1500 buah di musim panen kedua. Bahkan di akhir bulan September, pohon-pohon durian yang belum lama dipanen sudah berbunga lagi. Ia memprediksi, di tahun 2023 ini seharusnya bisa memanen sebanyak 3-4 kali.

Mayoritas masyarakat Desa Karangrejo memang berprofesi sebagai petani. Menurut Samidi, hampir semua petani di desanya juga menanam durian lokal. Ia hanya satu dari sekian petani yang menggantungkan hidup dari tanaman durian atau perkebunan lainnya.

"Mayoritas petani. Kalau daerah sini [Trenggalek] kan dari Pule, ke selatan Ngitikan, Ngelo, ke barat Cangtumpak, Sentul, Jati, Pare, Pesu, Pereng, pokok sampai Tulang semua petani. Petani pinggiran pasti semua punya durian," sebutnya satu per satu.

Maka tak heran, Trenggalek menjadi salah satu daerah penyumbang durian terbanyak di Jawa Timur. Berdasarkan data BPS, Jawa Timur menghasilkan 419.913 ton durian pada tahun 2022. Jawa Timur menempati posisi teratas. Varietas durian-durian lokal juga tengah mendominasi pasar domestik di Indonesia.

Celakanya, para petani di Desa Karangrejo saat ini dibuat was-was oleh ancaman tambang emas PT SMN yang akan beroperasi di wilayah mereka. Desa Karangrejo menjadi salah satu desa di Kecamatan Kampak yang masuk ke dalam konsesi tambang emas seluas 12.813,41 hektare.

Was-was Dampak Tambang Emas

Gerbang masuk wilayah eksploitasi tambang emas PT SMN, di Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek
Gerbang masuk wilayah eksploitasi tambang emas PT SMN, di Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)

Samidi bersama mayoritas masyarakat Trenggalek menolak adanya rencana penambangan emas yang digadang-gadang akan menjadi tambang emas terbesar di Pulau Jawa. Ia mengetahui informasi soal wacana tambang emas dari berbagai pemberitaan media.

"Yang bikin jadi penasaran itu karena permasalahannya adalah kena rencana yang mau ditambang itu. Mangkanya wilayah sini itu banyak orang-orang yang menolak. Memang kalau itu terjadi sudah gak ada apa-apanya, cukup. Entah transmigrasi entah kemana," ucap Samidi.

Samidi menceritakan, dulu sudah pernah ada aktivitas eksplorasi tambang emas di desanya tahun 1995. Saat itu, Samidi dan banyak warga lainnya tak terlalu tahu menahu detail terkait eksplorasi dan dampak dari adanya tambang emas. Bahkan, para warga turut menjadi pekerja harian saat proses eksplorasi awal.

Berdasarkan data Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT SMN, Eksplorasi waktu itu dilakukan oleh PT Aneka Tambang (Antam), pendahulu PT SMN yang beroperasi sejak tahun 1990. Eksplorasi regional itu dilakukan dengan melakukan pemetaan geologi, prospeksi geokimia sungai, dan pemboran dangkal (scout drilling).

Aktivitas eksplorasi PT Antam dilakukan untuk mengidentifikasi mineralisasi emas di daerah Dusun Sentul (Desa Karangrejo) dan Dusun Buluroto (Desa Ngadimulyo). Titik eksploitasi awal ini disebut dengan prospek Sentul-Buluroto.

"Dulunya rame. Di sini itu gak tahu mau diolah kayak apa, gak tahu. Sudah tahu di situ mau ada tambang masuk. Orang sini pun banyak yang ikut kerja harian, mikul diesel waktu pengeboran, samplingan, itu ikut," ceritanya.

Samidi mengatakan, mulanya warga tak tahu menahu tentang dampak dari tambang emas. Bahkan ia mengira aktivitas penambangan hanya dilakukan saat itu saja. Seiring perkembangan media digital, warga mulai mengerti akan dampak yang terjadi jika tambang emas tetap dilakukan di desa mereka. Mereka tahu informasi dari pemberitaan media-media.

"Sekarang kan zaman modern. Tahu di HP, ketik di internet, YouTube, kan dikasih tahu. Baru orang-orang ini merasa, 'loh kalau gini gimana tanamanku?" tambahnya.

Sampai hari ini, masyarakat yang mayoritas petani di Desa Karangrejo menolak adanya tambang emas PT SMN. Jika dari penghasilan kebun saja, petani skala kecil seperti Samidi sudah bisa mencukupi kebutuhan istri dan anak. Sama halnya dengan masyarakat Desa Karangrejo lain, pasti akan terancam jika tambang emas akan tetap berlangsung.

Tetap Menolak Apapun Resikonya

Aliansi Rakyat Trenggalek bentangkan poster tolak tambang emas di wilayah prospek Sentul-Buluroto/Foto: Trigus D. Susilo (Kabar Trenggalek)

Samidi cukup memahami dampak dari tambang emas. Dulu ia pernah menjadi pekerja tambang emas di Muntun, Kalimantan Tengah, pada tahun 1998. Tak heran jika ia paham dampak yang akan terjadi. Terlebih ia juga sangat mengenali potensi dan karakteristik tanah di wilayahnya.

Desa Karangrejo dikelilingi banyak perbukitan. Rumah-rumah warga tersebar di sepanjang aliran sungai dan lereng perbukitan. Konon, di bawah bukit-bukit itu emas bersemayam. Tetapi, di lereng bukit-bukit itu, hidup dari 8 ribu masyarakat Desa Karangrejo terpenuhi oleh hasil pertanian.

Menurut Samidi, metode penambangan yang dilakukan menggunakan penambangan terbuka (open pit) oleh PT SMN berpotensi mengancam keberadaan sumber mata air di Desa Karangrejo.

Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ada 12 sumber mata air yang tersebar di 4 dusun Desa Karangrejo. Bahkan, tambang emas juga berpotensi mencemari aliran sungai dan 68 sumber mata air di Kecamatan Kampak. Mungkin keterancaman mata air juga akan menghantui kecamatan-kecamatan lain dalam wilayah konsesi.

"Masalah kedua yang paling penting adalah pengairan. Nah kalau di sana memang dieruk sekian dalam [open pit], airnya ke mana? Walaupun bilang pemerintah tidak akan menyengsarakan rakyat, tapi apa mungkin air segitu setiap hari butuh sekian ribu liter itu tercapai?" ujar Samidi.

Permasalahan air menjadi penting, terlebih mayoritas warga Desa Karangrejo beragama Islam. Artinya, selain kebutuhan minum dan mandi, air bersih juga menjadi salah satu kebutuhan untuk beribadah.

Kementerian ESDM pernah menyatakan bahwa pihaknya memastikan PT SMN akan menerapkan kegiatan pertambangan Good Mining Practices (GMP). GMP idealnya menerapkan dua hal yaitu keselamatan kerja serta keselamatan operasi pertambangan dan penerapan prinsip konservasi sumberdaya dan cadangan.

Akan tetapi, menurut Samidi, penambangan terbuka tetap akan memicu masalah lingkungan lainnya. Ia tetap was-was mengingat banyak lubang-lubang tambang di Kalimantan yang tidak direklamasi.

"Aku tunjukkan di Kalimantan itu yang sudah bolong-bolong itu sudah bertahun-tahun, sana air sini air. Siapa yang menutup? Nggak ada. Apalagi kalau di sini," ucapnya.

Samidi khawatir terhadap kerusakan lingkungan dan bencana ekologis akibat tambang emas. Mengingat wilayah konsesi yang menyasar kawasan hutan lindung, karst, perkebunan warga, bahkan berpotensi mematikan perekonomian masyarakat lokal.

Bagaimanapun, Samidi tidak rela jika sumber penghasilan ekonomi dari alam bakal dirusak oleh tambang emas PT SMN. Apalagi, Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, menjadi salah satu lokasi pertama yang akan dieksploitasi oleh tambang emas.

Samidi bersama masyarakat Trenggalek menyadari bahwa tak ada kesejahteraan di bawah iming-iming tambang emas. Apapun resikonya, mereka akan tetap berjuang untuk mempertahankan tanahnya.

"Diajak gimana pun ya berangkat. Urusan rusuh ya rusuh. Itu kalau pendapat pribadi saya. Apa resikonya, ya diterjang saja," tandas Samidi.

Catatan Redaksi:

Berita ini diadukan oleh PT SMN serta telah dinilai Dewan Pers melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Dewan Pers menilai, berita ini melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, karena tidak berimbang, tidak uji informasi dan memuat opini yang menghakimi. Berita ini juga tidak sesuai dengan butir 2 huruf a dan b, Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber terkait verifikasi dan keberimbangan berita, bahwa setiap berita harus melalui verifikasi, serta berita yang merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

Berikut tautan Hak Jawab dari PT SMN: Hak Jawab PT SMN terkait Berita Was-was Tambang Emas Mengancam Petani Durian Kampak 

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *