KBRT – Dalam gulita malam di panggung terbuka desa-desa Watulimo, nama Samidi tak asing lagi di telinga para pecinta wayang. Lelaki kelahiran 1947 ini telah memanggungkan kisah Mahabharata dan Ramayana sejak sebelum sebagian besar dalang muda hari ini dilahirkan.
Sejak 1963, ia melangkah ke dunia perdalangan dengan langkah malu-malu namun penuh tekad. Tanpa ijazah dari sekolah seni, Samidi mengakrabi pedalangan lewat buku-buku dan bimbingan pamannya, seorang dalang dari Kecamatan Kampak.
“Dulu saya memulai dalang itu di Kampak, di sana ada paman yang jadi dalang,” kenangnya, lirih.
Debut Samidi sebagai dalang datang bukan dari panggung mewah atau ajang seni prestisius, melainkan perintah spontan dari Kepala Desa Sawahan di tengah peringatan 17 Agustus. Ia tampil seadanya, mengenakan pakaian layaknya anak bermain. Bahkan, baru setelah 30 menit mendalang, ia diberi blangkon—lambang sah seorang dalang.
“Pertama kali saya sempat tidak yakin. Tampilan baju saya ya seperti anak biasa,” tuturnya, sembari tersenyum.
Daftar Isi [Show]
Melewati G30S, Menjadi Dalang Setiap Malam
Tahun 1964, Samidi mulai mencatat popularitas. Undangan mendalang datang bertubi-tubi. Namun, gelombang politik nasional pada 1965 memaksanya vakum, ketika pemerintah membatasi keramaian imbas dari Aksi G30S/PKI.
Tahun berikutnya, ia kembali, lebih sibuk dari sebelumnya. Hampir setiap hari, ia berjalan kaki dari desa ke desa—membawa gamelan, kotak wayang, dan semangat yang tak pernah luntur.
“Dulu itu malam dalang, pagi jalan kaki lagi ke desa lain. Lakonnya dari jam 9 malam sampai jam 6 pagi,” ujarnya.
Petruk, Blangkon, dan Falsafah Hidup

Di balik blencong yang menyala, Samidi dikenal lewat lakon andalannya: "Petruk Mencari Ayahnya." Kisah jenaka sekaligus mengharukan itu jadi favorit warga. Hampir tiap panggilan pentas, penonton meminta lakon yang sama.
“Dulu favoritnya itu lakon Petruk Mencari Ayahnya, itu yang paling diminta,” katanya.
Kini, faktor usia dan kesehatan menuntun Samidi menepi. Sudah hampir sepuluh tahun ia tak lagi duduk di balik kelir sebagai dalang utama. Namun ia belum sepenuhnya meninggalkan dunia perwayangan. Ia kini aktif sebagai peruwat, bagian sakral dalam ritus pedalangan yang dilakukan usai pertunjukan.
“Saya istirahat karena mancal kecrek sudah tidak kuat. Tapi kalau meruwat masih saya jalani,” ucapnya.
Warisan untuk Dalang Muda
Samidi tak sekadar menghibur, ia percaya dalang adalah juru penerang dan pemangku falsafah. Karena itu, ia mewanti-wanti generasi muda agar tidak mengubah nilai-nilai luhur yang ada dalam dunia wayang.
“Dalang itu juru penerang, pemejang, dan penghibur. Jangan tinggalkan rumus perwayangan, terutama watak tokohnya,” tegasnya penuh wibawa.
Setengah abad lebih Samidi mengabdi pada panggung, pada blangkon, pada suara gamelan yang merambat di angin malam desa. Kini ia memang tak lagi mengatur wayang semalam suntuk, tapi warisan jiwanya tetap berpendar dalam setiap lakon yang dimainkan para dalang muda. Dalam dunia wayang, nama Samidi tak akan pernah benar-benar selesai.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz