KBRT – Sepeda tua meluncur perlahan di jalan kecil Dusun Kranding, Desa Bendorejo. Di atasnya, Waryono (88) mengayuh mantap menuju sawahnya di Dusun Rowo Pucung, Krandegan. Setiap pagi pukul 07.00, tanpa absen, ia berangkat seperti biasa.
Di usia yang jauh dari muda, ketika sebagian besar teman seangkatannya memilih duduk tenang di beranda, Waryono justru memilih tanah sebagai sahabat tuanya.
Langkahnya memang tak lagi cepat. Pekerjaan fisik pun tak seberat dulu. Namun beberapa jam setiap hari, ia tetap menyusuri pematang, mencabuti rumput liar di sela cabai, dan menyiram tanaman dengan sabar.
“Kalau pagi hari jam 09.00 saya sudah pulang, ya sudah kecapekan. Nanti sore hari kembali jika masih mau,” ujarnya sambil mencabut rumput dengan tangan gemetar.
Sawah seluas 100 ru itu tetap ia garap sendiri. Bukan karena tak ada yang membantu—anak-anaknya sudah mapan dan berkecukupan. Tapi ia merasa membayar orang untuk mengolah sawah terlalu memberatkan hasil panennya. Lagi pula, ia masih kuat, begitu katanya.
Dua musim terakhir, Waryono menanam palawija. Kali ini, sebagian lahannya ditanami cabai, sisanya untuk terong dan ketela. Bibit cabai ia beli sendiri dari Sumbergayam, Durenan, menggunakan motor bebek kecil.
“Sekarang cuma bisa naik motor kecil. Kalau dulu motor saya waktu masih muda bagus-bagus,” kenangnya sambil tersenyum kecil.
Anak-anaknya sudah sering melarang. Tapi Waryono merasa tubuhnya justru akan rapuh jika tidak digerakkan. Rumah, baginya, bukan tempat menua. Sawahlah yang menjaga napasnya tetap panjang.
Sebelum istrinya meninggal, mereka sering ke sawah berdua. Kini, meski tinggal sendiri dan seluruh anaknya sudah sukses, ia tetap memilih bertani.
“Sekarang telinga saya kira-kira sudah berkurang 50 persen pekanya, tetapi mata saya masih normal sampai sekarang. Ya walau lutut saya sudah susah kalau diajak gerak cepat,” katanya ringan.
Setiap pemupukan dan penyiraman masih ia tangani sendiri. Bahkan, sekarung pupuk kandang dari kotoran kambing masih tertata di pinggir lahannya.
“Semangat saya yang masih ada hingga saat ini berasal dari rasa sabar saya menghadapi semua hal. Seperti bekerja di sawah ini, saya tidak terburu-buru. Meski ketinggalan jauh dengan orang lain, saya tetap berusaha sesuai kemampuan saya,” tuturnya.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz