Limbah tambak udang yang langsung dibuang ke laut di Pantai Blado Munjungan/Foto: Dokumen warga Munjungan[/caption]Menurut keterangan Hanung, sejak 2021, penghasilan nelayan mulai berkurang akibat dampak limbah tambak udang. Sebelumnya, nelayan selalu bisa mendapatkan ikan, tapi sekarang nelayan bisa tidak mendapatkan ikan sama sekali.“Kalau sekarang pas musim hujan itu tidak seberapa, air sungai masih masuk ke laut masih ada plankton, limbahnya masih tawar. Tapi kalau pas kemarau, dari air sungai tidak ada yang masuk ke laut, itu sangat berpengaruh. Hasil nelayan berkurang," ungkap Hanung.Hanung menyampaikan, limbah tambak udang yang terus dibuang ke laut itu memberi dampak abrasi (proses pengikisan pantai).“Akhirnya air limbah itu kan jatuh langsung ke pasir. Pantainya terkikis, akhirnya laut semakin mendekat ke daratan," terangnya.Parahnya, limbah tambak udang juga berdampak meningkatkan potensi bencana alam, salah satunya Tsunami. Sebab, wilayah pantai seharusnya banyak ditanami mangrove maupun tanaman lain untuk menghadang tsunami.Hanung bersama teman-temannya di Perhimpunan Sumbreng Raya (PSR), yang menyadari potensi tsunami itu, terus melakukan kegiatan konservasi. Mereka menanam mangrove, ketapang keben dan tanaman lain di pantai Munjungan. Kegiatan konservasi itu dilakukan bersama komunitas lain seperti Komunitas Peduli Lingkungan (Kopel), Ansor, ISM, IST Munjungan, IPSI dan lain-lain.Selain mengantisipasi potensi tsunami, Hanung dan teman-temannya juga ingin pengunjung pantai juga bisa menikmati wisata mangrove, bukan malah wisata limbah tambak udang.“Biota di mangrove biasanya banyak seperti kepiting, kerang, ikan, itu mati semua karena limbah tambak udang. Cita-citanya temen-temen itu, kan pengennya nanti itu wisatawan gak cuma wisata pantai, tapi juga ke wisata mangrove," ujarnya.[caption id="attachment_4519" align=aligncenter width=1000]
Tambak udang yang mangrak ditinggal pengelolanya menjadi sarang nyamuk yang meresahkan warga Munjungan/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Sayangnya, keinginan Hanung dan teman-temannya itu diabaikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek.Sebelumnya, pada tanggal 6 Oktober 2021, warga yang tergabung dalam Perhimpunan Sumbreng Raya mengadakan audiensi dengan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Munjungan dan para petambak."Kami ndak pengin ngutik-ngutik kalau terkait usaha tambak. Kalau orang mau berusaha monggo, tapi yang penting IPAL-nya dibuat, dampaknya itu diminimalisir. Dengan menjalankan peraturan yang sudah berlaku," terang Hanung.Melalui rapat bersama Muspika Munjungan dan para petambak, ada tiga kesepakatan yang dihasilkan. Pertama, dalam jangka waktu maksimal tiga bulan, para petambak harus membuat IPAL. Kedua, jika belum membuat IPAL, para petambak tidak boleh menebar benih udang lagi. Ketiga, jika belum membuat IPAL, para petambak tidak boleh membuat tambak lagi. Akan tetapi, kesepakatan itu dilanggar semua."Masyarakat kecewa dengan ketidakseriusan pemerintah untuk mengatasi masalah lingkungan dari usaha tambak. Bukan dari kecamatan saja, tapi dari Pemkab Trenggalek juga yang tidak serius. Meskipun dari dewan sudah punya iktikat baik datang ke lapangan, tapi nyatanya ya tetap tidak ada solusinya," tandas Hanung."Jadi kami itu guyup rukun dan sangat peduli dengan lingkungan. Pengen kami itu lingkungannya aman dari semua ancaman. Cuman sekarang gak ada titik temu dari pemerintah gitu lho. Tapi tidak ada keseriusan dari pemerintah," tegasnya.Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat















