KBRT – Sumiran (78), seorang seniman wayang kulit trenggalek asal Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, masih setia menggambar sketsa tokoh pewayangan di atas kulit kambing.
Namun, di tengah ketekunannya berkarya, ia menyimpan kegelisahan mendalam: tak satu pun anaknya menunjukkan minat untuk meneruskan keterampilan yang ia warisi dari leluhurnya.
“Tua-tua begini saya itu punya gelar Drs, Dari Rumah Saja. Setiap hari cuma duduk sambil gambar di sini,” ujar Sumiran sembari menggambar sketsa Werkudoro.
Sumiran telah menekuni seni membuat wayang kulit sejak muda, keahlian yang ia pelajari dari ayahnya, yang juga mendapat ilmu serupa dari kakeknya.
Seni ini sudah diwariskan lintas generasi dalam keluarganya yang berasal dari Solo. Namun kini, ia menjadi satu-satunya penerus di keluarganya yang masih aktif membuat wayang.
“Saya dulu yang mengajarkan buat wayang itu almarhum ayah, lalu ayah juga diajarkan oleh simbah (kakek),” terangnya.
Ia memiliki enam anak—empat laki-laki dan dua perempuan—yang semuanya diberi nama bernafaskan pewayangan. Namun, belum satu pun di antara mereka yang benar-benar menekuni seni pembuatan wayang.
“Yang pertama Eko, lalu Dwi, Tri, Siti, Sundari dan yang kelima Kanthi. Kalau sekarang yang sudah pernah saya ajari cuma Dwi sama Tri, tapi belum pernah mau tekun bikin wayangnya karena sekarang juga masih kerja di pabrik gula,” jelasnya.

Di usia senjanya, Sumiran tak hanya menghadapi kendala fisik seperti penglihatan yang mulai kabur, tapi juga kekhawatiran terhadap masa depan keterampilan yang telah ia tekuni puluhan tahun. Ia khawatir, jika tak ada yang mewarisi, keterampilan membuat wayang akan punah dari keluarganya.
“Banyak orang yang beli wayang di sini bilang, ‘Pak Sumiran ini harus punya penerus’, tapi anak-anak saya belum ada yang tertarik betul,” ujarnya lirih.
Meski tidak bergabung dalam komunitas atau paguyuban seniman, Sumiran dikenal konsisten mengikuti pakem penggambaran wayang. Ia masih menyimpan buku panduan lama meskipun sebagian koleksinya pernah dibawa orang dan tak kembali.
“Pernah dulu satu lukisan wayang Pandawa Lima juga dibawa kabur oleh orang yang hanya meninggalkan jam tangannya sebagai jaminan. Tapi tak pernah kembali sampai sekarang,” kenangnya.
Menurut Sumiran, membuat wayang bukan pekerjaan yang bisa dikuasai dalam waktu singkat. Banyaknya karakter dan detail membutuhkan kesabaran dan ketelatenan tinggi.
“Nguri-nguri budoyo Jowo asli, tinggalane nenek moyang kito suwargi (Melestarikan budaya Jawa asli, peninggalan nenek moyang kita yang sudah wafat),” tuturnya, mengutip pesan sang ayah.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz