Kabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari iniKabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari ini

Press ESC / Click X icon to close

Kabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari iniKabar Trenggalek - Informasi Berita Trenggalek Terbaru Hari ini
LoginKirim Artikel

Ketegasan yang Hangat: Kisah Guru Seni Trenggalek Eko Prayitno

Eko Prayitno, guru Seni Budaya SMPN 1 Trenggalek, bercerita tentang perjalanan hidupnya dari mengikuti sang ibu mengajar hingga menjadi pendidik yang menanam nilai dan karakter di era digital.

  • 05 Nov 2025 08:00 WIB
  • Google News

    Poin Penting

    • Eko tumbuh dari keluarga guru dan meniti jalan serupa sejak kecil.
    • Setelah sembilan tahun di Malang, ia kembali mengajar di SMPN 1 Trenggalek.

    KBRT – Di balik ruang kelas Seni Budaya SMP Negeri 1 Trenggalek, tersimpan kisah perjalanan hidup yang panjang dan penuh makna dari seorang guru bernama Eko Prayitno. Pria yang dikenal tegas namun dekat dengan murid-muridnya itu tak pernah menyangka, langkah kecil mengikuti sang ibu mengajar di tahun 1980-an akan membawanya kembali ke sekolah yang sama sebagai pendidik.

    Sejak kecil, Eko tumbuh di lingkungan keluarga pendidik. Ayah dan ibunya adalah guru. Ia kerap menemani sang ibu mengajar di sebuah SD di Kecamatan Pule dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Dari kebiasaan itu, benih kecintaannya pada dunia pendidikan mulai tumbuh.

    “Ketika saya masih kecil, saya sering ikut bapak dan ibu yang mengajar di SD. Bertahun-tahun akhirnya ikut menjiwai perjuangannya. Kalau lelah, istirahat di tengah jalan, makan bawa ompreng. Mungkin itu yang memupuk hati saya. Kalau guru itu seperti ini, temannya banyak, siswanya juga banyak,” kenang Eko.

    Kembali ke Sekolah yang Mendidiknya

    Selepas SD, Eko didaftarkan orang tuanya ke SMP Negeri 1 Trenggalek. Saat itu, ia sempat pesimis karena merasa tak mungkin diterima lewat sistem rayon. Namun, sang orang tua memilih jalur prestasi—dan hasilnya tak terduga, ia diterima.

    “Saya masih teringat waktu masuk SMPN 1 Trenggalek tahun 1989. Guru Seni Budaya saya, almarhum Pak Sukirno, bilang, ‘Le, besok nek sekolah, sekolah seni. Goresnamu apik.’ Itu masih teringat sampai sekarang,” tutur Eko.

    Pesan itu menjadi arah hidupnya. Setelah lulus SMA, Eko sempat diterima di dua jurusan: Seni Rupa dan Olahraga. Namun, ia mantap memilih Seni Rupa sesuai pesan gurunya, lalu melanjutkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, yang kini menjadi Universitas Negeri Malang.

    Dari Rp30 Ribu, Menjadi Guru yang Dicintai Siswa

    Guru seni trenggalek eko. KBRT/Nandika

    Lulus kuliah tahun 1999, Eko sempat pulang ke Trenggalek. Tapi hanya dua minggu di rumah, hatinya gelisah. Ia ingin kembali ke Malang meski hanya membawa uang saku Rp30 ribu dari ibunya.

    “Saya naik bis ke Malang, turun di jalan menuju Surabaya, belum 50 meter ketemu teman yang menawarkan pekerjaan,” kenangnya.

    Esoknya, Eko mulai mengajar di sebuah sekolah dasar swasta. Ia diterima sebagai guru seni budaya, menggantikan guru-guru yang lulus CPNS. Dari situ, ia resmi bekerja di Malang selama sembilan tahun, mengajar dari TK hingga SMP.

    Pada Desember 2008, saat istrinya hamil delapan bulan, Eko memutuskan pulang ke Trenggalek untuk mengikuti ujian CPNS. Tak disangka, ia diterima sebagai guru seni budaya di SMP Negeri 1 Trenggalek—tempat ia pernah belajar dulu.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    “Ketemu Pak Sukirno di teras sekolah, saya bilang, ‘Insyaallah kulo nerusaken panjenengan.’ Dan benar, beliau pensiun tahun itu juga,” ucap Eko dengan mata berbinar.

    Dedikasi dan Nazar Seorang Guru

    Eko mengaku sangat ingin ditempatkan di SMPN 1 Trenggalek. Ia bahkan bernazar berpuasa 40 hari jika benar-benar mendapat penugasan di sana. Saat membuka SK, tertulis nama sekolah yang sama. Doanya terkabul.

    “Saya senang luar biasa. Kepala sekolah waktu itu, Pak Catur, bilang, ‘Dek Eko, nanti dibantu, mudah-mudahan bisa memberi warna baru.' Ingat saya dulu begitu,"kisahnya.

    Kecintaannya pada seni sudah tampak sejak kecil. Ia mengaku suka menggambar tokoh pahlawan di dinding rumah.

    “Buku gambar harganya dulu 50 perak. Kalau kehabisan, saya sampai nangis karena pingin gambar,” ujarnya sambil tersenyum.

    Kini, meski sudah 24 tahun mengajar, Eko tak pernah meninggalkan hobinya melukis. Di sekolah, ia dikenal sebagai guru yang tegas namun dicintai siswa.

    “Saya dikenal killer tapi disukai. Kalau ada siswa lupa tugasnya, saya antar pulang pakai motor, biar diambil dan dikerjakan. Karya harus tetap ada,” katanya.

    Tantangan Zaman dan Perkembangan Teknologi

    Selama dua dekade lebih mengajar, Eko telah menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya insiden kekerasan yang menimpanya karena menegakkan aturan penggunaan ponsel di sekolah. Ia menanggapinya dengan tenang dan bijak.

    “Tantangan terbesarnya sekarang adalah teknologi. Siswa sekarang lebih kangen HP daripada guru. HP bisa jadi monster kalau salah digunakan,” katanya.

    Eko menilai pendidikan di rumah memegang peran besar dalam mengontrol penggunaan gawai.

    “Guru bukan sekadar fasilitator, tapi penanam karakter dan kepribadian. Orang tua harus percaya pada sekolah dan pada dirinya sendiri bahwa mereka bisa mendidik anak 100 persen. Proyek terbesar orang tua itu anak. Ketika anaknya meleset, masa depan kita juga ikut meleset,” pesannya.

    Kawan Pembaca, Terimakasih telah membaca berita kami. Dukung Kabar Trenggalek agar tetap independen.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Zamz