Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Sidang DKPP KPU Trenggalek, Nurani: NIK Bukan Data Pribadi yang Harus Dilindungi

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Trenggalek menjalani sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). KPU Trenggalek diperiksa oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Timur, pada Jumat (03/03/2023).Sidang itu terdaftar melalui perkara nomor 15-PKE-DKPP/II/2023. Perkara ini diadukan Adi Treswantoro. Adi mengadukan Nurani (Anggota KPU Kabupaten Trenggalek) sebagai Teradu I dan Gembong Derita Hadi (Ketua KPU Kabupaten Trenggalek) sebagai Teradu II.Berdasarkan pantauan Kabar Trenggalek di ruang sidang, Nurani dan Gembong dinilai lalai mengelola data pribadi calon Panitia Pemungutan Suara (PPS). Mereka mengunggah tautan (link) di akun facebook KPU Kabupaten Trenggalek yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat.“Di facebook KPU Kabupaten Trenggalek ada postingan tentang pengumuman untuk reset akun SIAKBA disertai link. Saya buka link tersebut ternyata muncul file dokumen berupa excel yang berisi data pribadi calon PPS,” ujar Adi.Adi menyebutkan, link file dokumen excel tersebut berisi provinsi, kabupaten/kota, dan identitas pribadi calon PPS, berupa nama, NIK, email, dan keterangan untuk melakukan reset.“Ini kesalahan yang sangat fatal. Ketua KPU dan Ketua Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM [Nurani] yang paling bertanggung jawab dan tidak profesional dan tidak mempertimbangkan keamanan data pribadi saat membuat pengumuman,” tegas Adi.Menanggapi aduan dari Adi, Nurani menjawab bahwa kelalaian tersebut merupakan tindakan yang tidak disengaja dan sejauh ini tidak menimbulkan kerugian. Menurut Nurani, tindakan tersebut juga bukan pelanggaran pemilu. Ranah aduan itu adalah UU Perlindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022."Dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 sendiri tidak disebutkan NIK sebagai data pribadi yang harus dilindungi. Apalagi hanya NIK yang dirujuk oleh pengadu [Adi], merupakan satu unsur data pribadi yang tidak disebut dalam UU tersebut," ujar Nurani, sebagaimana terlampir dalam dokumen jawaban atas aduan dugaan pelanggaran KEPP.[caption id="attachment_31145" align=aligncenter width=1280] Majelis Hakim sidang KEPP DKPP di Bawaslu Jatim/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Nurani menyebutkan, dalam pasal 4 UU no. 27 tahun 2022, data pribadi yang spesifik antara lain data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Sedangkan, lanjut Nurani, data pribadi yang bersifat umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.Jika dicermati kembali, pernyataan Nurani itu terlihat kurang lengkap dalam mendefinisikan konteks 'data pribadi'. Sebab, ada undang-undang lain yang harusnya juga menjadi rujukan tentang 'data pribadi' seperti UU no. 23 tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan.Dalam UU Administrasi Kependudukan BAB IX Pasal 84, disebutkan data pribadi penduduk yang harus dilindungi memuat nomor KK, NIK, tanggal/bulan/tahun lahir, keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental, NIK ibu kandung, NIK ayah, dan beberapa isi catatan Peristiwa Penting.Secara lebih jelasnya, Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. menyampaikan bahwa NIK merupakan data pribadi dan bersifat privasi. Sehingga, tidak boleh sembarangan orang tahu tentang informasi NIK."NIK adalah identitas penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan," jelas Bernadetha melalui ulasan di laman Hukum Online.Bernadetha menegaskan, NIK bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia dan berkait secara langsung dengan seluruh dokumen kependudukan."Adapun sanksi bagi setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan adalah dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp25 juta. Sanksi yang sama juga diberikan kepada setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan data kependudukan," tegas Bernadetha.