Satu Petani Pakel Ditangkap, YLBHI: Polresta Banyuwangi Serampangan
Aparat Kepolisian Resor Kota Banyuwangi (Polresta Banyuwangi) menangkap dan membawa paksa Muhriyono, petani Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Minggu (9/6/2024). Muhriyono adalah petani yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP).Koalisi Masyarakat Sipil turut menyoroti pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil. Penangkapan paksa petani Pakel ini dinilai menabrak aturan dan standar penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta masuk dalam kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat.“Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Polresta Banyuwangi jelas telah dilakukan secara sewenang-wenang, serampangan dan tidak dilakukan secara proporsional hingga telah mengingkari peraturan internal kepolisian,” jelas Edy Kurniawan, anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers.Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari RTSP, TeKAD GARUDA, KontraS, Walhi Nasional, Walhi Jatim, YLBHI, dan LBH Surabaya mengadakan konferensi pers, Selasa (11/06/2024). Dalam konferensi pers itu, Harun, Ketua RTSP, mengatakan bahwa Muhriyono ditangkap di rumahnya saat makan malam usai pulang dari lahan.“Rumah Pak Muhriyono tiba-tiba dimasuki lima orang tidak dikenal, ternyata anggota Polresta Banyuwangi, beberapa polisi lain mengepung rumah Pak Muhriyono. Kira-kira ada 15 orang pakai tiga mobil,” ucap Harun.Merespons penangkapan paksa ini, petani yang tergabung dalam RTSP mendatangi polresta Banyuwangi untuk menuntut kejelasan. Pada 10 Juni 2024, Petani Pakel dan Tim Kuasa Hukum mendapat konfirmasi Muhriyono diperiksa sebagai saksi. Pada hari yang sama juga status Muhriyono naik menjadi tersangka.Polresta Banyuwangi menangkap Muhriyono karena diduga melakukan pemukulan dan pengeroyokan terhadap sekuriti PT Bumisari Maju Sukses. Kasus ini berkaitan dengan konflik pertanahan yang terjadi di Desa Pakel antara petani Pakel dengan perusahaan perkebunan swasta, PT Bumisari Maju sukses sejak 2018 lalu.Wahyu Eka Styawan, anggota TeKAD GARUDA, menyoroti kejanggalan tuduhan yang dilayangkan oleh Polresta Banyuwangi. Menurutnya, terkait pengeroyokan dan pemukulan, seharusnya disikapi secara adil.“Bahwa yang melakukan serangan dahulu adalah preman, keamanan kebun, dan buruh kebun. Mereka merusak, memprovokasi, mengintimidasi, dan melakukan kekerasan juga. Warga bertahan dan mempertahankan dirinya. Harusnya yang dicek adalah mengapa ada serangan ke RTSP,” ungkap Wahyu Eka.Wahyu Eka juga mempertanyakan akar penangkapan Muhriyono ini. Menurutnya, harus diverifikasi terlebih dahulu mengapa terdapat serangan ke RTSP dan siapa yang mendorong terjadinya konflik horizontal tersebut.“Bukan malah menangkapi petani anggota RTSP dan menakut-nakuti. Tindakan ini justru memperumit konflik agraria, seharusnya polisi menahan diri dan tidak gegabah,” imbuh Wahyu Eka.Terdapat tiga rincian cacat prosedur yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dalam rilis resminya:Pertama, proses penangkapan dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum dan melanggar prinsip HAM, karena penangkapan tidak disertai dengan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP. Prosedur pemanggilan saksi telah dilangkahi bahkan dihilangkan begitu saja.Kedua, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (2), serta Peraturan Kapolri No 07/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 7.Ketiga, status Muhriyono hanya sebagai saksi, Koalisi Masyarakat Sipil menilai polisi telah melakukan tindakan berlebihan dalam melakukan penangkapan dengan dalih pemanggilan dan pemeriksaan saksi.Lebih jauh, dalam keterangan tertulis Koalisi Masyarakat Sipil, pemidanaan Muhriyono dinilai sebagai bentuk pembungkaman, alih-alih langkah penyelesaian sengketa konflik agraria, yang mana juga telah menunjukkan pelanggaran terhadap instrumen hak asasi manusia, salah satunya pada pasal 28A UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.“Sedari awal kasus kriminalisasi bergulir, sengketa lahan antara warga desa Pakel dengan PT Bumisari telah lebih dahulu terjadi, sehingga seharusnya penyelesaian sengketa tersebut harus didahulukan sebelum melakukan penuntutan secara pidana,” tukas Edy Kurniawan.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow