Setiap partai politik (parpol) di Indonesia mendapatkan dana bantuan parpol dari anggaran daerah. Peraturan perundangan menyebutkan salah satu tugas parpol adalah pendidikan politik. Sayangnya, dana bantuan parpol itu pemanfaatannya baru sebatas pada kepentingan partai tanpa mempertimbangkan pendidikan politik bagi publik.Anak muda, generasi milenial dan generasi-Z yang disebut-sebut sebagai kelompok pemilih terbesar dalam pemilihan umum (pemilu) 2024 memilih sumber pendidikan, alih-alih menunggu parpol turun ke bawah. Setidaknya begitu berdasarkan pengalaman Masjudin dan Mochamad Shodiq Fauzi. Masjudin, saat ini menjabat sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Trenggalek. Selama ini, dia mengaku, materi atau informasi terkait pendidikan politik didapatnya secara mandiri. Tidak tanggung-tanggung, Masjudin menyatakan, parpol hanya mementingkan kekuasaan daripada memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.Dia juga mengungkapkan, parpol cenderung memanfaatkan dana bantuan parpol untuk pendidikan kader dan calon legislatif dari kelompok tertentu, seperti pengusaha atau pemodal. Pernyataan itu dia rujuk dari nama-nama caleg yang diajukan untuk pemilu 2024 terkait dengan latar belakangnya sebagai pengusaha. [caption id="attachment_32605" align=alignnone width=1280]
Ketua PC PMII Trenggalek, Masjudin saat orasi/Foto: Beni Kusuma (Kabar Trenggalek)[/caption]
"Pendidikan partai politik itu kan diamanatkan Undang-undang, namun kok sampai saat ini tidak pernah menyentuh kalangan pemuda atau mahasiswa. Justru sebenarnya kondisi ini menjadi ancaman bagi partai politik, ia akan kehabisan kader yang memiliki ideologi kemudian partai cepat atau lambat dikuasai pemilik modal," terangnya. Lebih lanjut, sambung Masjudin, kondisi ini berdampak pada perspektif rekan-rekannya. “Kader kami ada yang ketakutan dengan partai politik, karena bisa menghambat mendapatkan pekerjaan seperti menjadi Aparatur Sipil Negara [ASN]. Berkaca dari situ cerminan Parpol ini tidak bagus bagi mahasiswa," tandas Masjudin. Shodiq menyampaikan cerita serupa. Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Trenggalek ini mengaku tidak pernah mendapatkan materi pendidikan dari parpol.Malah, sambung dia, pendidikan politik bagi kader dan caleg parpol itu hanya formalitas untuk memenuhi akuntabilitas pertanggungjawaban penggunaan anggaran bantuan dana parpol. “Secara substansial, pendidikan politik itu tidak berjalan,” tegasnya. Pendidikan politik yang ideal seharusnya dilakukan secara terstruktur, berjenjang, dan berkelanjutan. Pendidikan politik ini harus mencakup berbagai materi, seperti hak dan kewajiban warga negara, wawasan kebangsaan, sistem politik Indonesia, dan tata cara pemilu.Shodiq mengungkapkan, kenyataan di lapangan, baru sebatas sosialisasi parpol dan kader-kader yang jadi caleg saja. Dia juga tidak yakin, pendidikan politik oleh parpol itu menyentuh hal-hal substansial. Kondisi itu berlanjut pada ketiadaan ideologi yang diperjuangkan dan ditawarkan pada publik. Dampaknya, saat kader itu terpilih jadi pejabat publik potensi pekerjaannya diwarnai konflik kepentingan kelompok tertentu menjadi semakin besar. Shodiq memberikan contoh kasus di Trenggalek. Ada beragam kebijakan seperti penetapan pajak retribusi yang tidak menjawab kebutuhan publik. “Jasa sewa mobil jenazah, yang informasinya dalam rapat panitia khusus (pansus) naik, dari semula 146 ribu menjadi 190 ribu meski jarak rumah sakit dan lokasi sangat dekat. Melihat poin di situ, ada kepentingan sesaat. Masyarakat yang diambang duka harus menanggung pajak hasil kebijakan DPRD,” tegas Shodiq.Kewajiban Parpol
[caption id="attachment_66011" align=alignnone width=640]
Ilustrasi sistem informasi partai politik/Foto: Dok.redaksi[/caption]
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menyatakan pendidikan politik penting dilakukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang politik, sehingga dapat berpartisipasi secara aktif dalam demokrasi.Untuk menjalankannya, aturan itu menyebutkan, parpol mendapatkan bantuan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).Dana bantuan parpol di Kabupaten Trenggalek mencapai Rp1,6 miliar bagi sembilan parpol yang mendapatkan kursi di pemilu 2019. Dana itu setara dengan pembiayaan untuk pembangunan puskesmas di Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek.Dua partai yang dapat bantuan dana terbesar di Trenggalek adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PKB mendapat dana Rp395 juta merujuk pada perolehan suaranya di pemilu 2019 yang mencapai 98.791 suara. Setiap suara itu dihargai Rp4 ribu atau setara satu bungkus ‘nasi Gegog’ kuliner khas Trenggalek. PDIP mendapat nama Rp362 juta dari perolehan 90.727 suara di Pemilu 2019. Berikut ini rincian dan jumlah partai politik yang mendapatkan dana bantuan politik:No | Nama Partai | Perolehan Suara | Bantuan Per Suara | Jumlah Bantuan/Tahun |
1. | PKB | 98.791 | 4.000 | 395.164.000 |
2. | PDI-P | 90.727 | 4.000 | 362.908.000 |
3. | Partai Golkar | 55.633 | 4.000 | 222.532.000 |
4. | Partai Demokrat | 50.788 | 4.000 | 203.152.000 |
5. | PKS | 46.868 | 4.000 | 187.472.000 |
6 | Partai Gerindra | 29.598 | 4.000 | 118.392.000 |
7. | PPP | 18.051 | 4.000 | 72.204.000 |
8. | Partai Hanura | 17.867 | 4.000 | 71.468.000 |
9 | PAN | 14.351 | 4.000 | 57.404.000 |
Secara aturan, dana bantuan parpol itu ada dua fungsinya. Untuk operasional dan pendidikan politik. Hal ini tercantum dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 36 tahun tahun 2018 Bab VII Pasal 27 tentang penggunaan Dana Bantuan Parpol. Alokasinya, sebesar 60 persen untuk pendidikan politik dan sisanya untuk operasional parpol. Hanya Fokus Pendidikan Politik Internal
[caption id="attachment_60224" align=alignnone width=1280]
Murkam saat ditemui di rumahnya/Foto: Raden Zamz (Kabar Trenggalek)[/caption]
Terkait penggunaan dana bantuan parpol, Wakil Sekretaris PKB Trenggalek, Murkam, menyatakan sudah mengalokasikannya sesuai aturan. Dia mengklaim anggaran Rp395 juta itu habis untuk pendidikan politik untuk peserta dari internal partai dan eksternal yang disebutkannya sebagai simpatisan partai. Materi Pendidikan itu, antara lain, Penyampaian Ideologi Partai
“Penguatan ideologi partai itu apa yang sering disebut hubbul wathan minal iman yang menjadi bagian agenda ideologi PKB sendiri. Pesertanya, selama ini di internal PKB, yaitu pengurus tingkat kecamatan dan para pengurus ranting, kemudian kader yang tidak masuk struktur atau simpatisan,” terang Murkam. Saat diminta memperlihatkan materi pendidikan tertulisnya, Murkam tidak dapat menyajikannya, termasuk kurikulum serta jadwal tertulis pendidikan politiknya. Selama ini, jadwal pendidikan tergantung dari perintah petinggi partai. Berapa Banyak yang Mengikuti Pendidikan itu?
Murkam, lagi-lagi mengklaim, peserta yang hadir dalam setiap pertemuan itu setidaknya 20 orang. Mereka merupakan pengurus ranting di tingkat kecamatan. Sementara untuk pengurus tingkat desa mencapai 11 orang. Jika digabung dengan peserta yang merupakan simpatisan partai, pesertanya bisa mencapai sedikitnya 100 orang. “Pendidikan partai politik ini kami laksanakan di 14 Kecamatan, kalau 60 persen sesuai peruntukan dana Banparpol itu jelas lebih. Karena total Rp. 395.164.000 Banparpol itu hanya mensupport partai cuma 50 persen saja,” imbuh Murkam tanpa memperlihatkan catatan kehadiran peserta kegiatan pendidikan politik. Untuk menutup kekurangan biaya operasional, Murkam mengungkapkan, pihaknya memanfaatkan kas bersama yang didapat dari iuran 11 anggota Fraksi PKB Kabupaten Trenggalek. Setiap anggota dewan itu menyetor Rp3,5 juta setiap bulan. Dalam 1 tahun bisa terkumpul kas senilai Rp462 juta. “Dana Banparpol sendiri diaudit Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], auditnya jeli, sampai dilihat lokasinya mana, siapa namanya, dan sampai sekarang tidak ada temuan dari laporan pertanggungjawaban dana Banparpol PKB,” klaim Murkam. Beda Partai Tetap Sama Pemanfaatannya
[caption id="attachment_48053" align=alignnone width=1280]
Doding rahmadi sedang menerima aksi demonstrasi dari GMNi Trenggalek/Foto: Raden Zamz (Kabar Trenggalek)[/caption]
Beda partai, tidak beda pula pemanfaatan dananya. PDIP mendapatkan anggaran senilai Rp217 juta dari total dana bantuan parpol Rp362 juta untuk pendidikan politik partai. Seperti PKB, partai pemenang pemilu nasional ini baru memanfaatkan dana itu untuk kalangan internal. Sekretaris PDIP Trenggalek, Doding Rahmadi, memaparkan jumlah kadernya di Trenggalek mencapai 2.500 orang. Merujuk jumlah kader, ia menjelaskan, anggaran dana bantuan parpol itu habis untuk menggelar satu kali pendidikan politik dengan pengurus ranting atau tingkat kecamatan. “Sekarang kami bisa dua kali pendidikan politik partai,” terang Doding sambil menambahkan durasi pendidikan itu kurang lebih lima jam. Penyelenggara menilai pemahaman peserta hanya dari keaktifan peserta mengajukan pertanyaan dalam sesi pendidikan. Mengenai rincian pemanfaatan dananya, PDIP mengalokasikan dana Rp80 ribu untuk setiap peserta. Dana itu untuk kebutuhan makan dan materi fisik. Dengan peserta yang mencapai 2.500 orang, maka alokasi total anggarannya mencapai lebih dari Rp400 juta.“Eksternal kami punya kader di tingkatan legislatif, program reses 3 kali dalam satu tahun, ada program uji publik raperda seperti penyelenggara riset pasar luas untuk produk daerah, membuat skema disitu masuk ke eksternal, mengumpulkan masyarakat, selain sosialisasi raperda ada materi wawasan kebangsaan," ungkapnya. Dengan kebutuhan dana yang melebihi jumlah dana bantuan parpol, Doding mengungkapkan, pihaknya memanfaatkan kas gotong royong untuk kegiatan operasional partai. “Kas partai bersumber dari anggota kami di legislatif sebanyak 9 setiap bulan 5 juta. Jadi kalau dihitung 450 juta (rupiah). Kemudian kebutuhan anggaran partai 700 juta (rupiah) setiap tahun termasuk pendidikan politik, total itu udah sekalian Banparpol," detailnya. Materi Pendidikan Politik di PDIP terkait Wawasan Ideologi Pancasila dan Wawasan Organisasi Partai
“Dalam struktur pendidikan politik partai, baru saja ini kami lakukan dan kurang 3 kecamatan, kemarin kami bekali ideologi kebangsaan dan sebagainya dan membicarakan politik tentang kepemiluan, karena Pemilu yang akan dilaksanakan 2 tahap, tahap Legislatif, Presiden, Tahap Pilkada,” papar Doding.Tidak Ada Ketentuan Pendidikan untuk Eksternal
Alih-alih mempertanyakan manfaat bagi publik dari penggunaan dana bantuan parpol, instansi pemerintah yang berwenang terkait dana itu menerima saja laporan pertanggungjawaban partai jika alokasinya habis untuk internal. Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Keormasan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Trenggalek, Maryani, mengungkapkan parpol tidak melanggar aturan jika hanya memfokuskan pendidikannya untuk kalangan internal. Dia merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 36 Tahun 2018, khususnya pasal 27 ayat 3.“Tidak menyebutkan pendidikan politik untuk eksternal, jadi misal ada partai yang melakukan pendidikan politik partai di internal atau kadernya ya sah sah saja,” tegas Maryani. Maryani menyampaikan, setiap penggunaan dana bantuan parpol itu harus lolos dari pemeriksaan laporan pertanggungjawaban berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan itu berlangsung setiap Januari. “Kemudian bulan Mei turun laporan hasil pemeriksaan. Kalau tidak ada temuan, maka bulan Juni [dananya] bisa dicairkan. Syarat pencairan dana bantuan parpol adalah LHP BPK,” tutur Maryani. Direktur Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (PAMA), Suripto, menyoroti ketiadaan aturan hukum yang mewajibkan parpol memberikan pendidikan politik untuk pihak eksternal. Kondisi ini tidak lepas dari proses produksi Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 36 Tahun 2018.“Memang boleh pendidikan partai politik hanya internal saja karena tidak diatur dan yang membuat aturan kan juga mereka sendiri. Namun jadi ancaman di masa mendatang terhadap demokrasi, karena stok kepemimpinan politik mengalami kebuntuan karena memang seakan-akan dikerdilkan dengan adanya dominasi elit yang tidak pernah mau berganti,” terang Suripto. Seharusnya, pendidikan politik yang menyasar publik lebih luas berdampak positif bagi proses demokrasi. "Kalau pendidikan politik itu dilakukan hanya untuk konstituen itu hanya formalitas menurut saya, tetapi secara substansial tidak berjalan. Secara formalitas sudah terpenuhi. Tetapi kan bukan sebatas itu sebagai lembaga atau organisasi politik harus menyiapkan kader kepemimpinan politik," ujarnya.Sejauh Apa Parpol dengan Masyarakat?
[caption id="attachment_66003" align=alignnone width=1600]
Petani yang terdampak pendidikan politik eksternal partai/Foto: Raden Zamz (Kabar Trenggalek)[/caption]
Pertemuan dan perbincangan saya dengan Saturi, 50 tahun, petani di Desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, bisa menggambarkannya. Alih-alih merasa dekat, Saturi mengaku minder jika mendapat undangan dari parpol untuk mengikuti pendidikan politik. “Apa ya mungkin mas, saya petani cilik, kemudian diperhatikan oleh partai sampai diundang dan mendapatkan pendidikan? Ya, yang saya tahu setiap pemilu 5 tahunan itu banyak baliho, ya kadang tim sukses memberikan baju partai,” terangnya.Saturi mengungkapkan, banyak hal yang ingin dia sampaikan ke pengurus partai terkait kesehariannya. Sebagai petani, dia merasa banyak kebijakan yang tidak selaras dan memihak petani. “Mau fanatik ke partai apapun, besok yang kami hadapi tetap sama mas, ya yang penting kalau waktunya nyoblos ya nyoblos, dan ndak terlalu berharap janji orang yang saya coblos itu menyelesaikan permasalahan saat ini,” ujarnya.Catatan Redaksi: Laporan ini merupakan bagian dari program Fellowship Meliput Isu Pemilu dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Google News Initiative