Bau busuk penanganan limbah pindang di Kota Alen-Alen Trenggalek mulai mencuat. Hal ini ditandai dengan demonstrasi dari masyarakat Kecamatan Watulimo.
Demonstran yang tergabung dari masyarakat Desa Margomulyo, wadul ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Trenggalek, bersama Aliansi Rakyat Peduli Trenggalek (ARPT).
Aksi protes masyarakat itu menandai selama lima tahun aspirasinya tidak terealisasi hingga sekarang. Mustaghfirin, koordinator aksi, mendesak Pemkab Trenggalek harus bersikap serius.
"Maka dari itu kami bersama-sama warga Margomulyo, Prigi, Tasikmadu, menuntut kepada pemangku dan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, dan DPRD Trenggalek, untuk segera menuntaskan persoalan [limbah pindang] ini," terang pria yang akrab disapa Firin itu dalam orasinya.
Bahkan dalam orasi Mustaghfirin, masyarakat sudah jengah dengan bau busuk limbah pindang. Sehingga jika hal demikian tidak ditangani dengan serius, masyarakat akan bertindak menyumbat aliran limbah yang terbuang di sungai.
Aksi demonstrasi masuk ruang DPRD Trenggalek, negosiasi ulet terjadi. Hingga koordinator ARPT itu menegaskan bahwa pengusaha adalah korban dari dinas terkait atas rekomendasi Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).
Kurang lebih 3 jam negosiasi alot untuk mencari jalan keluar. Masyarakat ngotot untuk semua pengusaha pindang direlokasi ke sentra industri pemindangan bengkorok. Namun melihat kesiapan tidak mungkin.
"Kalau tuntutan kita sebetulnya adalah relokasi, namun di sini kesiapan bengkorok belum siap. Relokasi limbah pindang dari pemukiman ke bengkorok dengan mobil tangki dan memberi waktu kepada dinas menyelesaikan persoalan limbah sampai tahun 2024," jelas Firin saat ditemui awak media usai negosiasi dalam meja hearing.
Atas kesempatannya, Firin menegaskan bahwa jika kesepakatan diatas tidak dipenuhi atau diingkari oleh pihak pemerintah. Maka, konsekuensinya adalah bertindak sesuai dengan keinginan.
"Kepada penegak Peraturan Daerah [Perda] untuk proaktif dalam persoalan ini. Karena dalam hearing kami menemukan bahwa pemerintah seperti bidang Pengawasan dan Pengendalian [Wasdal] PKPLH tidak bekerja. Soalnya kami memberikan opsi kemudian tidak menjawab," tegas Firin.
Firin menyimpulkan bahwa selama 5 tahun sejak 2018 dirinya mengangkat permasalahan limbah pindang tidak ada pemikiran tentang solusi. Kemudian dirinya bertanya apa hasil dari wawasan Wasdal dan Satpol PP selama ini.
"Mereka tidak bekerja dan kami meminta untuk evaluasi. Dari catatan kami sebanyak 12 pengusaha pindang yang belum direlokasi ke sentra industri pemindangan bengkorok," tandas pria berkumis tipis itu.
Firin, menyampaikan tidak apa-apa kalau dinas merekomendasikan pengusaha untuk beli IPAL. Dengan catatan, ketika limbah masuk IPAL, kemudian keluar air yang bersih sesuai baku mutu kesehatan.
"Yang direkomendasikan oleh dinas bukan IPAL, karena tidak sesuai dengan spesifikasi. Kemudian daripada itu ada dampak kepada kesehatan warga yang mana anaknya terindikasi sakit pernafasan dan diperiksa dokter paru paru ada flek yang diduga akibat udara tercemar limbah," ujarnya.
Muhammad Hadi, perwakilan Komisi III DPRD Trenggalek, mengungkapkan bahwa memang benar ada aspirasi masyarakat dari 2018 hingga saat ini belum bisa ditangani dengan serius oleh Pemkab Trenggalek. Bahkan dirinya bakal menjadwal dan melihat langsung ke lapangan.
"Masyarakat mengharapkan untuk diseriusin sehingga clear dan cepat terealisasi. Sebenarnya sudah membuat Ipal namun kemungkinan belum sesuai dengan standarnya," terang Hadi.
Tambah Hadi, merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) lama, bahwa untuk sentra pemindangan direlokasi. Soal kendala biaya, Pemkab Trenggalek menyediakan lahan untuk sentra industri pemindangan.
"Tidak ada kendala untuk direlokasi, pengusaha juga tadi diberikan jaminan jika sudah relokasi tidak akan masalah. Untuk Ipal di bengkorok kapasitasnya kecil tadi kami minta untuk dianggarkan pada 2024. Selain itu untuk fungsi Wasdal akan kami diskusikan dulu," ujar Hadi.