Kabar Trenggalek - Bau menyengat selalu menyambut wisatawan yang melewati jalan masuk Pantai Blado, Desa Masaran, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek. Bau menyengat itu berasal dari limbah
tambak udang yang langsung dibuang ke aliran sungai menuju laut di Pantai Blado, Jumat (12/08/2022).Tentunya, tidak hanya wisatawan yang terganggu. Warga sekitar Pantai Blado, termasuk para nelayan, terdampak dengan adanya limbah
tambak udang.Bledeq Nurwito, nelayan Munjungan, menceritakan berbagai dampak yang dirasakan akibat limbah tambak udang. Salah satu dampaknya adalah, berkurangnya hasil mata pencaharian para nelayan."Banyak dampak limbah tambak yang saya terima. Saya tidak melarang mereka mendirikan tambak, cuma di situ ketika ada sesuatu yang berbenturan dengan kami dan merusak lingkungan kami, merusak ekosistem kami, mengganggu mata pencaharian kami, ayo selesaikan," terang lelaki yang akrab disapa Temu itu.[caption id="attachment_17678" align=aligncenter width=1280]
Limbah tambak udang di jalan masuk Pantai Blado yang menimbulkan bau tidak sedap/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Sebelum ada
tambak udang, Temu pernah mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak, dengan keuntungan Rp. 50 juta, dalam satu malam. Akan tetapi, saat ini penghasilan dari tangkapan ikannya sering tidak menentu, bahkan pernah tidak mendapatkan hasil sama sekali."Bukan hanya pernah berkurang hasil tangkapan ikan, ketika tambak buang limbah, pasti ndak dapat penghasilan, pasti nelayan menjauh. Pernah satu malam mendapatkan 50 hingga 170 juta, dengan tangkapan ikan layur, benur, dan lain-lain. Tapi itu dulu 2014-2015. Kalau sekarang jangankan kok juta, mengembalikan biaya akomodasi operasional, itu
magep-magep [berat]," tambahnya.Temu menyebutkan, dampak dari
limbah tambak udang yang dibuang langsung ke laut itu sudah ia rasakan sejak 2016. Awalnya, Temu bersama masyarakat Munjungan yang tergabung dalam Perhimpunan Sumbreng Raya (PSR), mengetahui berbagai biota di kawasan pohon bakau Pantai Blado, mulai hilang."Lihat di sekitar bakau ya, dulu banyak kepiting dan biota-biota kecil, itu banyak di sana. Sekarang yang namanya binatang cathal itu yang hidup di dua alam, itu biota yang tahan dalam kondisi apapun. Alhasil lenyap akibat limbah tambak udang," ujar lelaki kelahiran tahun 1973 itu.[caption id="attachment_17681" align=aligncenter width=1280]
Limbah tambak udang yang mencemari pohon bakau/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Selain itu, Temu menjelaskan bahwa masyarakat Munjungan pernah mengalami dampak skala besar dari
limbah tambak udang. Salah satunya adalah peristiwa meluapnya limbah tabak udang ke pemukiman warga Munjungan.Temu menjelaskan, ketika limbah tambak udang dibuang saat musim kemarau, tekanan air darat kurang. Kemudian, ketika air pasang naik membawa pasir, air darat itu berhenti, menggenang, dan tidak bisa keluar. Sehingga, ketika air laut datang, air limbah tambak udang yang bercampur dengan air laut itu menyebar ke segala penjuru.“Di situlah terjadi perang limbah yang mengontaminasi air tawar, akhirnya terjadi penggenangan air, warna berubah jadi biru, merah, dan baunya wooww. Ditambah jentik-jentik yang mulai bertelur, menetas, bertelur, menetas. Genangan air limbah itu masuk ke dalam rumah kami paling bawah itu sampai sejengkal," jelas Temu.
Tambak Udang Pak Emil Tanpa IPAL?
[caption id="attachment_17676" align=aligncenter width=1280]
Kawasan tambak udang yang diduga milik Emil Elestianto Dardak/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Sebelum limbah dibuang, seharusnya tambak udang itu mengelola limbah dengan membuat Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Menurut Mutu Institute, IPAL merupakan seperangkat struktur, teknik, dan peralatan yang dibuat untuk memproses serta mengelola limbah. Sehingga, air limbah yang sudah melalui proses IPAL bisa dibuang ke lingkungan tanpa dampak merugikan.Proses pengelolaan air limbah yang baik melalui IPAL, harus sesuai dengan standar yang berlaku. Oleh karena itu, perlu adanya tenaga Penanggung Jawab Operasional Pengolahan Air Limbah (POPAL) yang bersertifikasi.Berdasarkan catatan Mutu Institut, di Indonesia terdapat lebih dari 70% perusahaan kecil yang belum melakukan pengelolaan limbah dengan baik dan benar.Padahal, peraturan mengenai pengelolaan limbah tertulis jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 mengenai Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut. Aturan tentang pengelolaan limbah juga tertulis dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan No. 32 Tahun 2009.[caption id="attachment_17675" align=aligncenter width=1280]
Sungai di sebelah petak tambak udang yang diduga jadi tempat pembuangan limbah/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]IPAL mempunyai manfaat untuk semua komponen yang ada di area instalasi. Selain untuk manusia dan bangunan, IPAL juga bermanfaat untuk makhluk hidup lain yang tinggal di kawasan tersebut. Beberapa manfaat dari IPAL yaitu:
- Mengelola limbah, terutama yang mengandung zat kimia atau racun berbahaya agar ketika dibuang tidak mencemari sekitarnya.
- Mengelola cairan limbah, baik industri maupun domestik agar dapat digunakan kembali.
- Melindungi ekosistem dan makhluk hidup yang tinggal di sungai atau saluran pembuangan lainnya.
Lokasi petak tambak udang di Munjungan ada tiga. Pertama, di RT 05, di Desa Munjungan, yang diduga milik Emil Elestianto Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur. Emil juga pernah menjabat sebagai Bupati Trenggalek (2016-2019).Kedua, lokasi petak tambak udang ada di RT 11/RW 03, dan RT 19/RW 04 Desa Masaran. Ketiga, lokasinya berada di tanah negara.[caption id="attachment_17677" align=aligncenter width=1280]
Tempat penampungan limbah tambak udang yang diduga milik Emil Elestianto Dardak/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Sayangnya, Temu melihat banyak petak tambak udang di Munjungan yang tidak memiliki IPAL. Sehingga, limbah tambak udang langsung dibuang ke laut. Padahal, Temu bersama masyarakat yang tergabung dalam PSR sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pengusaha tambak membuat IPAL.“Semua tambak yang ada di sini, itu pembuangannya limbah langsung ke sungai-sungai kecil, masuk ke muara. Dan jarak muara ke bibir pantai berapa jengkal. Lebih parah lagi, di sana itu titik pengambilan dan pembuangan air langsung ke laut. Itu tradisinya mereka, sampai saat ini," ucap Temu.Menurut keterangan Temu, tambak udang yang diduga milik Emil, juga tidak memakai IPAL. Lokasi tambaknya berada di tengah sawah dan pinggir sungai.Di petak tambak udang itu, ada pipa-pipa dari masing-masing petak yang terhubung ke tempat penampugan limbah. Akan tetapi, kata Temu, tempat itu bukanlah IPAL.“Kotak tempat penampungan limbah di tambak udang Pak Emil itu bukan IPAL. Itu cuma tempat ngumpulnya limbah, cuma untuk merekayasa orang-orang yang biasa berteriak [warga terdampak limbah tabak] itu. Lha kami juga ndak bodoh to. Langkah mereka seperti apa, kami sudah membaca dan pelajari juga," ungkap Temu.
Buat Apa Pemerintah Kalau Rakyat Selalu Gelisah?
[caption id="attachment_17674" align=aligncenter width=1280]
Muara tempat berkumpulnya limbah tambak udang/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]PSR juga mendorong pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten, untuk menyelesaikan persoalan limbah yang ditimbulkan oleh tabak udang. Akan tetapi, hingga hari ini, baik pengusaha tabak maupun pemerintah tidak responsif terhadap suara masyarakat terdampak limbah.“Kami pernah audiensi melibatkan seluruh kepala desa, Muspika, anggota dewan [DPRD Trenggalek]. Menghasilkan kesepakatan ‘sebelum ada IPAL, dilarang menebar bibit, apalagi memperluas area tambak. Alhasil tambah banyak tambaknya, nebar benih juga," kritik Temu.Tidak adanya respons dari pemerintah maupun pengusaha tambak itu membuat masyarakat Munjungan kecewa. Masyarakat Munjungan sudah sering bersuara, tapi hanya diberi janji-janji manis saja."Kami ini
wong cilik, ongkrak-angkrik, lugguh dingklik, isane mek mbengok [Kami ini orang kecil, ringkih, duduk di kursi kecil, bisanya hanya berteriak]. Sedangkan lawan kami sepatunya klimis, dasinya panjang [para pengusaha besar]. Dapat jalan sampai tujuan. Tapi pas sampai tujuan ya hanya dijanjikan. Bilangnya mereka itu 'Iya saya tindak lanjuti, iya saya tindak lanjuti'," ujar Temu dengan kesal. [caption id="attachment_17679" align=aligncenter width=1280]
Aliran limbah tambak udang yang dibuang ke laut/Foto: Kabar Trenggalek[/caption]Kondisi itu membuat Temu mempertanyakan bahwa persoalan limbah tambak udang itu berbenturan dengan prioritas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek, di sektor pariwisata. Masyarakat Munjungan juga pernah menentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemkab Trenggalek, waktu Emil jadi Bupati pada tahun 2019."RTRW Munjungan itu diatur kalau titik timur sampai barat itu kawasan tambak. Nah coba sinkronkan dengan program Pemkab Trenggalek, di mana Munjungan sebagai tempat wisata. Apa ya pas kalau di situ ada tambak?" ucapnya.Temu mengatakan, wisatawan yang datang di pantai Blado hingga hari ini selalu disambut dengan bau tidak sedap dari limbah tambak udang. Tak hanya wisatawan, kelompok yang paling terdampak dari limbah tambak udang ini tentunya adalah para nelayan.“Jiwa saya meronta, hati saya menjerit, kami menderita. Laut itu penghidupan kami dari kecil. Dari nenek buyut kami, penghidupannya dari laut. Aku mau berteriak ke siapa kalau seperti ini?" keluh Temu.