Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Gabungan Lembaga Negara Indonesia Dorong Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual di Ponpes Shiddiqiyyah Jombang

Kabar Trenggalek - Proses hukum terhadap Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT), anak kiai di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang, yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual kepada para santriwatinya, terus berlanjut. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Subchi, mendapatkan penanganan tegas dari gabungan Lembaga Negara Indonesia, Kamis (06/01/2022).Lembaga Negara Indonesia yang tergabung dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang, ini adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).Dalam konferensi pers ‘Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang: Membangun Kerja Bersama Untuk Pemenuhan Hak Korban Atas Keadilan Dan Pemulihan’, gabungan Lembaga Negara Indonesia berupaya memastikan pemenuhan hak atas keadilan, perlindungan dan pemulihan korban.Baca juga: Anak Kiai di Jombang Ingin Status Tersangka Pelaku Kekerasan Seksual Dicabut, Hakim MenolakKonferensi pers secara daring pada Kamis (06/01/2022) itu dihadiri oleh Ketua Kompolnas, Irjen Pol. (P) Dr. Benny Jozua Mamoto, Wakil Ketua LPSK, Dr. Livia Istania DF Iskandar, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, dan Komisoner Ombudsman RI, Dr. J. Widijantoro.Dilansir dari rilis pers gabungan Lembaga Negara Indonesia, kasus kekerasan seksual yang menimpa MNK (22 tahun) seorang santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, yang diduga dilakukan oleh MSAT. Diketahui, MSAT adalah anak dari pemilik dan pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyyah dan pengelola sejumlah usaha pesantren. Kasus ini memasuki tahap baru dengan diterimanya berkas penyidikan dari Polda Jawa Timur oleh Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur atau P21.“Kekerasan seksual ini berlatar belakang relasi kuasa mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren dimana para korban adalah anak didiknya, serta pemilik pusat kesehatan yang sedang melakukan rekrutmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok,” tulis rilis tersebut.[caption id="attachment_5960" align=aligncenter width=1366]Anak Kiai di Jombang Ingin Status Tersangka Pelaku Kekerasan Seksual Dicabut, Hakim Menolak Mochammad Subchi Azal Tsani, anak kiai di Pesantren Shiddiqiyyah Jombang, yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap santriwatinya/Foto: OPSHID Media (YouTube).[/caption]Baca juga: Tiga Tahun Cabuli 34 Santriwati, Ustadz di Trenggalek Ditangkap PolisiMSAT memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan. Demikian pula fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan di bawah ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya.“Faktanya para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah diberhentikan. Relasi kuasa demikian pula yang mengakibatkan para korban takut melapor dan kekerasan seksual berlangsung dalam kurun waktu lama dan makin meluas terjadi pada santriwati lain,” jelas rilis itu.Sejak kasus ini dilaporkan ke Polres Jombang pada tanggal 29 Oktober 2019 dengan No. LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG membutuhkan waktu lebih dari dua tahun penyidikan sebelum kemudian ditingkatkan ke tingkat penuntutan. Hal ini terkait dengan perspektif aparat penegak hukum dalam memaknai ‘kekerasan’ dan ‘ancaman kekerasan’, kesalahan penulisan hasil visum dan barang bukti yang dimintakan telah hilang HP.Baca juga: Ustad di Bandung Perkosa 13 Santriwati, 8 di Antaranya Sampai MelahirkanKasus ini berkembang pula dengan terjadinya tindak penganiayaan, ancaman kekerasan pada seorang Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang tergabung dalam Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS) pada 9 Mei 2021.“Peristiwa penganiayaan tersebut adalah salah satu akibat dari penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual serta pada ketidakpastian hukum, impunitas pelaku kekerasan seksual, dan risiko pelanggaran hukum yang berkelanjutan,” terang rilis itu.Sejak Januari 2020, sebanyak 7 saksi dan/atau korban untuk kasus Kekerasan Seksual dan 4 saksi dan/atau korban untuk kasus penganiayaan pada saksi telah diberi perlindungan oleh LPSK. Program perlindungan yang diberikan adalah Pemenuhan Hak Prosedural, yaitu pendampingan dalam setiap tahapan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan saksi baik untuk kasus Kekerasan Seksual dan Penganiayaan, serta rehabilitasi psikologis untuk kasus Penganiayaan.[caption id="attachment_8534" align=aligncenter width=997]Konferensi Pers Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang Konferensi Pers Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang/Foto: Tangkapan layar Zoom[/caption]Baca juga: Marak Kekerasan Seksual di Sekolah Berbasis Agama, Jokowi Dukung Pengesahan RUU TPKSAtas kasus ini, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memastikan pemenuhan hak atas keadilan, perlindungan dan pemulihan korban sesuai tugas, pokok dan fungsi masing-masing lembaga.Dengan telah diterimanya berkas perkara ini oleh Kejaksaan, gabungan Lembaga Negara Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengapresiasi keberanian dan kekukuhan saksi dan/atau korban dan pendamping dalam menyuarakan dan mengklaim keadilannya melalui sistem peradilan pidana;
  2. Mengapresiasi Kepolisian Polda Jawa Timur yang tidak kenal lelah mengumpulkan bukti-bukti sesuai petunjuk Jaksa dan terbuka untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk membuat terang dugaan kekerasan seksual ini;
  3. Mengapresiasi Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang memberikan perhatian terhadap penanganan kasus ini;
  4. Merekomendasikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengimplementasikan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam menuntut kasus ini;
  5. Kementerian PPA yang memberikan layanan rujukan akhir melalui penyediaan ahli yang membantu terangnya kasus ini dan berkoordinasi dengan Jaksa Agung;
  6. Merekomendasikan DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS agar hukum acara penanganan kasus kekerasan seksual yang meliputi (1) pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan; (2) hak-hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan; (3) Larangan mempidanakan atau menggugat saksi dan/atau korban kekerasan seksual; dan (4) perluasan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual, agar dapat dipenuhi secara sistematis dan terlembaga.
  7. Lembaga pengawas dan lembaga non-struktural akan mengembangkan pola kerja sama dan koordinasi dalam merespon kasus kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tupoksinya/wewenang masing masing.
Baca juga tulisan lainnya di kabartrenggalek.com tentang KEKERASAN SEKSUAL