Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

UMK Trenggalek 2023 Nomor 4 Paling Rendah se-Jawa Timur

Kabupaten Trenggalek memang terkenal dari segi destinasi wisata yang indah, komoditas pertanian yang melimpah, hingga lingkungan yang asri dan lestari. Sayangnya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Trenggalek terbilang rendah.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/889/KPTS/013/2022 tertanggal 7 Desember 2022, UMK Trenggalek yaitu Rp. 2.139.426,01. Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, UMK Trenggalek 2023 menempati posisi ke 35. Artinya, UMK Trenggalek 2023 nomor 4 paling rendah se-Jawa Timur.

Jumlah UMK Trenggalek mengalami kenaikan Rp 194.493,27 dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.944.932,74. Tapi, kenaikan ini tidak melepaskan fakta bahwa UMK Trenggalek masuk ke kategori rendah di Jawa Timur.

UMK Trenggalek juga paling rendah di antara kabupaten tetangga lainnya. Seperti UMK Kabupaten Ponorogo yaitu Rp. 2.149.709,45. Lalu, UMK Kabupaten Pacitan Rp. 2.157.270,25. Sedangkan UMK Kabupaten Tulungagung Rp. 2.229.358,67.

Di bawah Trenggalek, UMK paling rendah ada Kabupaten Situbondo, yaitu Rp. 2.137.025,85. Lalu, Kabupaten Pamekasan Rp. 2.133.655,03. Serta, Kabupaten Sampang Rp. 2.114.335,27.

Meski UMK Trenggalek terbilang baik, namun masih ada penolakan dari kalangan masyarakat. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sutrisno Hadi Wibowo, koordinator Serikat Buruh Trenggalek. Ia menuntut pemerintah untuk menaikkan UMK 2024 di angka Rp. 2,3 juta, karena kebutuhan buruh yang meningkat.

“Kami buruh sendiri seiring berjalannya waktu kebutuhan semakin meningkat. Saat ini kami rundingkan didepan untuk kenaikan, setidaknya ada kenaikan seperti tahun 2023,” terang Hadi kepada Kabar Trenggalek, 1 Mei 2023.

Apalagi penentuan upah minimum mulai tahun 2022 menerapkan aturan baru dari Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dalam peraturan tersebut, penentuan upah minimum hanya berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, tanpa memperhatikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja.

Undang-Undang Cipta Kerja juga mencabut pasal 88 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal yang dicabut ini menyatakan pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Ketika pasal 88 ayat (4) itu dicabut, maka upah minimum tidak lagi berdasar pada kebutuhan hidup layak, tapi berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

Terlebih, survei Kebutuhan Hidup Layak yang dulunya harus dilakukan setiap tahun oleh pemerintah, kini hanya dilakukan setiap 5 tahun sekali. Hal ini merupakan dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja yang mencabut paksa ketentuan survei Kebutuhan Hidup Layak di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *