Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memperingati setahun Undang-Undang no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam peringatan itu, Komnas Perempuan menyampaikan tidak semua kasus kekerasan seksual diproses dengan UU TPKS.
Melansir dari laman resmi Komnas Perempuan, implementasi atau penerapan UU tersebut masih terhambat. Padahal, jumlah pelaporan terus bertambah. Kasus kekerasan seksual adalah yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022.
“Ada 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65% dari total 3422 kasus kekerasan berbasis gender,” ujar Komisioner Bahrul Fuad, ketua Subkomisi Pemantuan.
Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kasus-kasus yang dilaporkan terjadi pasca UU TPKS tidak serta-merta dapat diproses dengan UU tersebut. Belum tersedianya aturan pelaksana dan belum memahami UU menjadi alasan utama yang muncul.
Belum lagi, hambatan koordinasi lintas sektor dalam sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Sementara, budaya penyangkalan dan reviktimisasi korban kekerasan seksual, khususnya perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual, masih mengakar di masyarakat.
“Perlu ada terobosan untuk memaksimalkan layanan hak-hak korban. Saat ini belum tersedia peraturan pelaksana UU TPKS dan ketersediaan, kapasitas dan kompetensi aparat penegak hukum dan pendamping korban masih terbatas dan belum merata di seluruh Indonesia,” ujar Komisioner Siti Aminah Tardi.
Sebagai ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Aminah mengawal masukan Komnas Perempuan pada perumusan aturan turunan UU TPKS. Dalam satu tahun pembahasan rancangan peraturan pelaksanaan ini disederhanakan menjadi tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan empat (4) Rancangan Peraturan Presiden.
Jumlahnya lebih sedikit dari 10 aturan turunan yang disebutkan dalam UU TPKS, tetapi tanpa mengurangi substansi yang didelegasikan UU TPKS itu. Seluruh PP dan Perpres tersebut telah terdaftar sebagai Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 dan tengah dalam percepatan pembentukannya.
"Komnas Perempuan bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [HAM], Komisi Pelindungan Anak Indonesia [KPAI] dan Komisi Nasional Disabilitas [KND] telah menyusun saran dan masukan untuk rancangan peraturan terkait koordinasi dan pemantauan," ujar komisioner Maria Ulfah Anshor, Ketua Advokasi Kelembagaan Komnas Perempuan.
Dalam berbagai kesempatan, Komnas Perempuan juga terus mendorong agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk membuka ruang partisipasi seluas-luasnya pada lembaga maupun masyarakat sipil untuk memberikan masukan.
Dalam upaya mempercepat penerapan UU TPKS, Komnas Perempuan juga mendorong perluasan pelatihan bagi aparat penegak hukum, pengada layanan, dan pendamping korban. UU TPKS mengatur aparat penegak hukum dan pendamping korban diutamakan berjenis kelamin sama, berintegritas dan memiliki kompetensi dalam penanganan TPKS.
"Saat ini Komnas Perempuan tengah menyiapkan modul pelatihan untuk standar minimal kompetensi dan berharap modul ini dapat diadopsi oleh berbagai institusi terkait," ujar Komisioner Alimatul Qibtiyah yang mengawal Sub Komisi Pendidikan.
Komnas Perempuan menyatakan, untuk dapat memenuhi hak-hak korban, pelaksanaan UU TPKS membutuhkan kerjasama dan dorongan dari semua pihak. Koordinasi lintas-pihak memperkuat pendamping dan memberdayakan korban harus terus dilakukan. Tetap kawal setelah legal.