Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan meningkat. Hal itu disampaikan oleh Komisioner Alimatul Qibtiyah, Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, ada 1276 kasus kekerasan, di mana kekerasan seksual dominan. Sedangkan kekerasan seksual di lembaga pendidikan meningkat dibanding tahun sebelumnya, dari 12 kasus menjadi 37 kasus.
"Bentuk kekerasan seksual meliputi pencabulan, percobaan perkosaan, pelecehan verbal hingga kriminalisasi. Sejumlah guru, dosen, dan tokoh agama yang berkiprah di dunia pendidikan turut menjadi pelaku kekerasan," ungkap Alimatul.
Alimatul mengatakan, hal itu ironis karena mereka (guru, dosen, tokoh agama) seharusnya menjadi pelindung, tauladan, dan perwakilan negara yang mana semestinya hadir sebagai duty bearer of rights (penanggung jawab hak-hak sipil).
"Kurangnya perspektif HAM dan gender, baik dalam kebijakan pendidikan atau di kalangan tenaga kependidikan, sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi, intoleransi, dan kurangnya keberpihakan pada korban," terang Alimah.
Komnas Perempuan mengapresiasi Gerakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lembaga pendidikan dengan adanya 125 (100%) Satgas PPKS Perguruan Tinggi Umum.
Kemudian 30 (52%) Komitmen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) untuk mewujudkan kampus bebas dari kekerasan seksual dan juga 12 Perguruan Tinggi Keagamaan Budha (100%) yang juga sudah berproses mewujudkan kampus bebas dari kekerasan.
Komisioner Imam Nahe’i, menyampaikan bahwa bagi Komnas Perempuan, perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) perlu menjadi momen untuk menguatkan upaya pencegahan, perlindungan, dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan dalam kerangka HAM yang berkeadilan gender dengan melibatkan seluruh ekosistem pendidikan.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Pasal 10 menyebutkan bahwa Negara-Negara Peserta wajib melakukan segala langkah-tindak yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Penghapusan diskriminasi itu untuk menjamin bagi hak-hak perempuan yang setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan dan khususnya untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Menurut Nahe'i, lembaga pendidikan merupakan institusi strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual.
Penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa. Sebagaimana diamanatkan dalam UU RI No. 20/2003 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan, dan KMA No. 3/2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
"Harus menjadi rujukan dalam bentuk apa pun perlu dipahami oleh civitas akademika dan pembuat kebijakan di lembaga pendidikan," imbuh Nahe'i.
Korban dan atau saksi di lingkungan pendidikan perlu didukung untuk menjadi berani melaporkan kasus yang terjadi kepada lembaga layanan atau pihak yang terkait. Komisioner Maria Ulfah menegaskan, lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan penguatan kebijakan terkait kekerasan seksual, harus menjadi rujukan dalam menangani laporan kasus kekerasan seksual.
“Kita perlu mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [KPPPA] sebagai leading sector, untuk memprioritaskan penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagaimana diamanatkan UU TPKS serta Peraturan turunan lainnya," ujar Maria.
Komnas Perempuan menyakini bahwa mewujudkan Kawasan Bebas Kekerasan, termasuk kekerasan seksual di lembaga pendidikan harus menjadi perhatian bersama.
"Dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait termasuk Lembaga Nasional HAM [LNHAM], dalam waktu tidak lebih dari 2 tahun, agar UU TPKS bisa segera diimplementasikan,” tegas Maria.