Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Login ke KBRTTulis Artikel
ADVERTISEMENT

Sang Perintis Pantai Mutiara itu Bernama Kacuk Wibisono

Artikel tentang kisah awal mula Pantai Mutiara di Kabupaten Trenggalek terbentuk sebagai destinasi wisata.

  • 28 Jul 2025 18:00 WIB
  • Google News

    Angin dari selatan bertiup pelan saat aku duduk di atas rumah apung, Pantai Mutiara, Desa Karanggongso. Matahari mulai menggantung rendah ke barat, sinar kuning keemasan menyoroti permukaan laut, menyilaukan mata bagi siapa saja yang memandang. Di sebelah timur, suara debur ombak Pantai Mutiara berbaur dengan teriakan wisatawan, sayup-sayup terdengar.

    Di sinilah aku bertemu Kacuk Wibisono, lelaki yang namanya kerap disebut saat orang bertanya, siapa tokoh yang pertama banyak terlibat di Pantai Mutiara? Meski kini banyak orang tahu lokasi Pantai Mutiara, namun tak banyak yang tahu bagaimana mula-mula kisahnya. Padahal, ada kisah senang, sedih, bahagia, duka, dan lara. Semua tercampur dan teraduk oleh sang waktu.

    Lelaki itu bernama Kacuk Wibisono

    Ia datang dengan senyum khasnya sambil mengucap salam setelah turun dari speedboat yang dikemudikan rekannya. Aku telah sampai di rumah apung lebih dahulu satu jam sebelumnya, diantarkan pengemudi tadi. Niat semula, aku ingin memancing, seperti hari-hari biasanya di waktu senggang. Namun siapa sangka, pertemuan tersebut malah membawa kami dalam suasana cerita kemelut tentang kenangan masa lampau, tentu saja oleh kisah Kacuk Wibisono.

    Setelah saling sapa, ia duduk bersila di pelataran rumah apung, menghadap ke Pantai Mutiara. Kedua jemarinya mengapit sebatang rokok, lalu matanya menatap ke arah Batu Kalagedang di seberang pantai bagian timur, batu yang biasa ia jadikan tempat istirahat kala mencari rumput pakan ternak bersama mendiang istrinya.

    “Dulu aku sering duduk di sana. Dari batu itu, aku melihat Karanggongso seperti terbelah dua. Baratnya hidup dengan berbagai aktivitas wisata (Pantai Pasir Putih dan Simbaronce) dan usaha karena aktif sebagai jalur perikanan, namun di Karanggongso ke timur tidak ada kegiatan wisata,” ujarnya sambil menunjukkan arah Batu Kalagedang yang sebenarnya telah terkubur tanah akibat pelebaran akses jalan Pantai Mutiara.

    Kacuk dan Ramalan Bupati Soetran

    kacuk-wibisono-pantai-mutiara-trenggalek
    Kacuk Wibisono dengan latar belakang Pantai Mutiara tampak sumringah menyaksikan kerja kerasnya. KBRT/Trigus


    Tahun 2009, Kacuk merasa seperti ditampar ejekan teman-temannya dari luar dusun. Mereka menyebut orang Karanggongso “primitif” dalam artian susah diajak komunikasi, terbelakang pikirannya, lagi tidak kenal sopan santun. Sebenarnya, ia tidak marah. Namun, ucapan demikian membuat hatinya gundah. Ia tidak ingin stereotip primitif itu hinggap di tanah kelahirannya.

    Lantas datanglah ia ke kasun sepuh dusun, Mbah Musadi (alm.), untuk menumpahkan gundah gulana akibat ejekan. Saat itulah sang kasun justru menyampaikan pesan dari Soetran (Bupati Trenggalek 1968 hingga 1975) tentang tempat tersebut. Meskipun tidak langsung mendengar ucapan sang bupati ke-8 tersebut, namun terpatri dalam ingatannya:

    “Suatu saat tempat ini akan ramai. Entah ramai manusia atau pabrik, aku tak tahu. Tapi akan ramai,” ucap Mbah Musadi menirukan kalimat Bupati Soetran.

    Kalimat ini menjadi salah satu pelecut kenapa Kacuk memilih untuk mengembangkan Pantai Mutiara. Namun masih ada alasan lain kenapa pilihan itu dipilih, yakni tentang harapan istrinya.

    Saat istrinya masih hidup, Kacuk rutin mencari pakan ternak bersama. Dari kebersamaan itu, mereka pernah bercakap tentang angan-angan wisata di Pantai Besetan dan Pantai Kecil—dua nama lokal sebelum disebut Pantai Mutiara. Sang istri ingin wisata tersebut ramai, sehingga suaminya tidak perlu jauh-jauh mencari pekerjaan hingga ke luar kota, cukup di desanya dan bisa selalu membersamai istrinya.

    “Istriku tidak ingin aku bekerja jauh-jauh darinya,” kenangnya.

    Namun takdir memiliki cerita lain, meski itu memilukan baginya. April 2014, Dwi Winarti—istrinya—meninggal dunia saat melahirkan, bersama anak keduanya.

    “Angan-angan aku dengannya harus tetap jadi,” kata Kacuk dengan suara berat.

    Bangkit dari Duka demi Pantai Mutiara

    Berhari-hari ia hanya bisa meratap. Kenangan bersama istrinya terlalu kuat untuk menghancurkan asa. Siapa lelaki yang sanggup kehilangan wanita yang ia cintai. Ia tak menyangkal pernah hancur kala itu.

    “Berbulan-bulan aku hanya bisa termenung, hilang semangat dan hilang tujuan hidup,” kenangnya.

    Tapi suatu malam, saat ia duduk di teras rumah, satu tatapannya tidak bisa lepas dari sepucuk tanaman di depannya. Mula-mula ia pandangi tanaman tersebut dari bawah hingga pucuk. Daun-daun yang ada di bawah sudah rontok akibat usia, lalu daun di bagian atas masih hijau, semakin ke atas semakin muda. Namun, ada batang tunas muda yang sudah layu akibat batangnya patah. Dari sana ia bergumam:

    “Benar, tak peduli usia, kalau takdir sudah berkata, bahkan pucuk daun yang seharusnya tumbuh, akan mati meski belum waktu,” ucapnya mengenang.

    Kacuk mengembalikan kekuatan. Ia kumpulkan warga dari Rukun Tetangga (RT), dari RT 33 sampai RT 37 untuk menyampaikan niatnya bagaimana caranya merintis wisata.

    “Kalau Karanggongso itu kelewatan orang mulai dari barat sampai timur, orang mau usaha apa aja pasti ada hasilnya, enggak tahu usaha apa,” kata dia kepada warga.

    Dari sana terkumpul 17 orang, mengaku siap untuk mewujudkan cita-cita. Mereka mulai bekerja mencangkul tanah bebatuan, menebas semak belukar, memecah batu dengan linggis. Mereka hendak membuat akses jalan masuk. Modal mereka hanya tangan dan alat ringan, tanpa bantuan alat berat, bahkan tanpa jaminan akan berhasil. Siapa yang bolos kerja, didenda lima puluh ribu.

    “Waktu itu belum ada warung, belum ada kamar mandi. Pantai ini kosong. Tapi kami yakin, kalau dilewati banyak orang, rezeki akan datang,” kenangnya sambil menunjuk ujung pantai yang kini ramai.

    Setahun setengah, dari 17 orang tersebut, lama-lama berkurang jumlahnya menjadi 7 orang. Mungkin oleh sebab putus harapan karena yang mereka lakukan sebenarnya hanya berjudi dengan nasib. Kacuk bersama kelompoknya tak putus harap. Mati satu tumbuh seribu, ia mencari orang yang siap menjadi anggota meski telah ditinggalkan anggota lainnya.

    Mpok Dwi dan Pemilihan Nama Pantai Mutiara

    pantai-mutiara-dilihat-dari-rumah-apung
    Pantai Mutiara dilihat dari Rumah Apung, dahulu bernama Pantai Peden Ciut (pantai kecil) dan Pantai Besetan. KBRT/Trigus

    Ketika kelompok itu resmi mengajukan proposal ke LMDH dan Perhutani, mereka sepakat menamai kelompoknya Mpok Dwi (Kelompok Peduli Wisata). Nama ini sebenarnya diambil dari nama mendiang istrinya. Tapi kini nama kelompok sudah berubah, mengikuti perkembangan aturan.

    Tahun 2016, Perhutani menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk kawasan wisata. Mula-mula yang dijadikan wisata adalah Pantai Bangkoan, Pantai Kalirau, Pantai Kaliagung, Pantai Batu Licin, Pantai Peden Ciut, dan Pantai Besetan. Namun seiring waktu, untuk mempermudah penyebutan, dipilihlah nama Pantai Mutiara.

    Ada dua pantai yang memiliki nama lokal sebelum disebut sebagai Pantai Mutiara, yakni Pantai Peden Ciut (Pantai Kecil, kini jadi Pantai Mutiara) dan Pantai Besetan (Pantai Mutiara II). Nama itu dipilih karena di tempat itu dulu pernah ada budidaya kerang mutiara, investornya dari Jepang. Selain itu, sebenarnya masih banyak mutiara yang bisa ditemukan di dalam rumah kerang yang terbentuk secara alami.

    Angin segar tersebut membawa semangat kembali. Setelah adanya kerja sama tersebut, dari sisa 7 orang kini telah menjadi 25 orang. Rupa-rupanya, mereka mulai melihat potensi yang bagus dari Pantai Mutiara.

    Kerja Keras Berbuah Hasil, ‘Tanpa Pemerintah’

    Akses jalan menuju Pantai Mutiara serta paving tempat parkir semuanya dibangun atas swadaya kelompok. Tak banyak yang dibantu pemerintah. Namun gotong royong ini menguatkan peran serta anggota kelompok dan menjadi bukti bahwa warga desa yang bersatu bisa membuat gebrakan mentereng.

    “Tidak ada bantuan dari pemerintah untuk pembangunan jalan, sampai sekarang pun belum,” kata Kacuk pelan.

    Pengelolaan keuangan pun dibagi rapi, 35% untuk Perhutani melalui LMDH, dan sisanya untuk kelompok, sarpras, dan honor anggota. Semua dicatat dan diawasi bersama.

    Ada beberapa fasilitas di Pantai Mutiara yang disewakan kepada para wisatawan maupun pengusaha. Mulai dari MCK, sewa lahan, wahana permainan air, tempat parkir, sewa tenda, dan iuran penjual warung, atau penyewaan rumah apung untuk para pemancing. Semuanya dikelola secara transparan.

    “Kalau uang tidak dikelola transparan, habislah sudah kepercayaan,” kata Kacuk penuh keyakinan.

    Pantai Mutiara dikelola dua lembaga, yakni Pokdarwis untuk wisata darat di bawah Dinas Kehutanan dan Pokmas Rembeng Raya untuk sektor laut di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan. Kacuk berada di keduanya.

    Manajemennya berbeda, tapi saling dukung. Ia percaya, seberapa banyak pun kelompok, jika tujuannya sama dan komunikasi dijaga, maka tidak ada yang perlu ditakutkan.

    Pantai Mutiara Jadi Andalan Wisata Kabupaten

    Hari menjelang sore. Ombak mulai pasang. Tampak anak-anak kecil wisatawan berlari di pasir, sementara suara musik dari warung-warung pelan terdengar. Pantai ini benar-benar hidup, karena keindahan alamnya. Tapi di sisi lain, setelah mengetahui kisah Kacuk, ini lebih dari sekadar pemandangan. Ada keringat terkucur, air mata duka, dan cerita panjang yang tumbuh di baliknya.

    Kacuk memandangi lokasi Batu Kalagedang sekali lagi. Ia tampak melamun, mengingat lagi kenangan masa lampaunya. Ia boleh disebut sebagai local champion yang menggerakkan orang-orang untuk kebahagiaan banyak orang.

    Pantai Mutiara adalah kisah tentang bagaimana ejekan bisa menjadi energi, bagaimana cinta yang hilang bisa menjadi warisan kolektif. Di pantai ini, air asin dan air mata bersatu, menjadikan pasirnya lebih bernilai dari sekadar tempat berlibur.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Tri