KBRT — Petani di Desa Botoputih, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek, mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi dalam satu tahun terakhir. Minimnya jatah subsidi dan kelompok tani yang tidak aktif disebut menjadi penyebab utama seretnya pasokan pupuk di wilayah tersebut.
Meski pemerintah telah menurunkan harga pupuk bersubsidi, para petani belum bisa merasakan manfaatnya karena pupuk belum sampai ke tangan mereka.
Hal itu dialami Nur Ikhsan, petani asal RT 04 RW 02 Desa Botoputih. Ia mengatakan selama tahun 2025 belum pernah memperoleh jatah pupuk subsidi.
“Selama dua tahun yang lalu nggak ada pupuk dari kelompok tani. Karena memang nggak cukup gitu. Akhirnya kan lebih mudah beli yang non subsidi,” ujarnya.
Terakhir kali Ikhsan menerima pupuk subsidi, ia hanya mendapat sekitar 15 kilogram, padahal kebutuhan lahannya mencapai 4–5 sak dalam satu musim tanam.
Untuk mencukupi kebutuhan, ia terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan harga jauh lebih tinggi.
“Kalau untuk penghasilan seretnya pupuk sebenarnya nggak ada pengaruh, karena tetap beli yang non-subsidi. Empat sampai lima sak itu habisnya kalau per saknya Rp300 sampai Rp350 ribu, ya hampir Rp2 juta,” tutur Ikhsan.
Ikhsan mengelola lahan sekitar satu hektar, termasuk sebagian lahan milik Perhutani. Menurutnya, petani di wilayahnya lebih banyak menggunakan pupuk NPK Phonska karena dianggap cukup memenuhi kebutuhan tanaman tanpa tambahan pupuk daun atau Urea.
“Ya itu kalau jatah dari pertanian kan melihat lahannya. Lahan Perhutani, sawah-sawah milik masyarakat sudah termasuk di Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), cuman dia dapatnya pupuk kapan, nggak tahu,” kata dia.
Ikhsan menyebut, lahan garapan masyarakat melalui bagi hasil dengan Perhutani dijanjikan mendapatkan subsidi pupuk sekitar 5 persen dari kebutuhan total. Namun hingga kini pupuk subsidi itu belum diterima.
Ia menambahkan, secara normal satu hektar lahan semestinya mendapat jatah sekitar 250 kilogram pupuk bersubsidi. Di Botoputih, mayoritas warga menanam padi, baik dengan irigasi maupun tadah hujan.
“Kalau bisa itu pupuk subsidi bisa memenuhi kebutuhannya masyarakat. Kalau tidak bisa semuanya, paling tidak ya 50 persen lah, syukur kalau sampai 70 atau 80 persen. Kekurangannya itu nggak banyak,” ungkapnya.
Kelompok Tani Belum Menebus Pupuk
Ketua Kelompok Tani setempat, Wasis Abidin (52), membenarkan bahwa jatah pupuk subsidi masih terbatas. Ia mengaku, hingga kini belum menebus pupuk karena proses administrasi dari petani belum lengkap.
“Sampai hari ini tahun 2025, pupuk belum pernah saya tebus, karena mengumpulkan KTP dari petani sulit. Petani mintanya selalu sak-sakan, tapi kalau lihat dari RDKK kan si A si B tidak sampai satu sak, dapatnya cuma 20 kilo,” tuturnya.
Dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), kebutuhan rata-rata petani di wilayahnya hanya sekitar 20–30 kilogram per musim tanam, dengan jatah distribusi tiga kali dalam satu tahun.
Wasis mengatakan, enam RT yang tergabung dalam kelompok taninya mengalami kendala serupa. Banyaknya lahan Perhutani yang digarap masyarakat menyebabkan alokasi pupuk subsidi tidak mencukupi.
“Tahun ini kebanyakan petani pakai non-subsidi, pemotongan harga juga belum merasakan. Kalau soal LMDH saya kurang tahu karena belum pernah berkecimpung di sana, memang LMDH itu belum berjalan,” jelasnya.
Ia berharap ke depan, jatah pupuk bersubsidi bisa ditambah dan proses pengambilan subsidi dipermudah agar tidak menyulitkan petani.
Kios Pupuk Akui Ada Kelompok yang Belum Ambil Jatah
Blegoh Sukoco, pemilik Kios Sido Mulyo yang menjadi Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) untuk 15 kelompok tani di Desa Dompyong, Botoputih, dan Suren Lor, membenarkan bahwa salah satu kelompok tani di Botoputih belum mengambil jatah pupuk bersubsidi hampir setahun terakhir.
“Sudah saya beritahu agar segera diambil. Istilahnya kalau pupuk itu dapatnya tak sebanyak yang diharapkan petani, masalahnya lahannya kan sedikit dan yang banyak itu lahan dari Perhutani. Terus akhirnya tidak diambil. Biasanya tahun kemarin itu jatahnya diambil plus tambahan dari RDKK di akhir tahun,” ujarnya.
Menurut Blegoh, alur distribusi pupuk subsidi dari distributor ke petani harus melalui pencocokan surat kuasa dari kelompok tani sebelum dikirim.
Surat kuasa tersebut dicek ulang dengan alokasi RDKK, lalu diunggah ke sistem untuk mendatangkan pupuk bersubsidi dari distributor.
“Kira-kira kalau dari poktan lancar, di sini juga lancar. Selain itu, kadang kalau sistemnya tidak trouble bisa lebih mudah, jadi kita mengupload data tidak ada kendala. Harapannya sistem buat memasukkan data itu tidak trouble lagi, supaya datangnya pupuk juga lancar,” tutur Blegoh.
Ia menambahkan, sejak diberlakukannya pemotongan harga pada 22 Oktober lalu, kiosnya sudah menyesuaikan harga baru mulai 24 Oktober. Harga pupuk Urea kini Rp90.000 per sak, sementara NPK Rp92.000 per sak.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz















