KBRT – Desa Botoputih, Kecamatan Bendungan, dikenal sebagai sentra penghasil susu sapi di Kabupaten Trenggalek. Sejak awal tahun 2010, beternak sapi perah telah menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian besar warga desa yang terletak di lereng perbukitan ini.
Di balik geliat ekonomi yang tumbuh dari hasil susu segar, warga Botoputih berharap pemerintah daerah dapat memberi perhatian khusus untuk pengembangan pengolahan susu, agar hasil produksi tidak lagi dijual mentah ke luar daerah.
Salah satu peternak, Nur Ikhsan asal Dusun Jambi, mengaku telah menekuni usaha sapi perah sejak 2008 dengan sistem bagi hasil atau “gado” sebagai modal awal.
“Kalau sekarang sudah lumayan. Dulu waktu baru belajar ya belum bisa maksimal karena sambil jalan. Seandainya Botoputih ini bisa mengolah susu sendiri kan lebih bagus, peluang pekerjaan juga bisa bertambah,” ujarnya.
Ikhsan kini memiliki enam ekor sapi, dengan tiga di antaranya dalam masa laktasi. Setiap ekor sapi mampu menghasilkan 12 hingga 15 liter susu per hari. Dari hasil penjualan susu, ia memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp1 juta per ekor setiap bulan.
Harga jual susu segar, kata Ikhsan, kini berada di kisaran Rp7.600 hingga Rp7.800 per liter, sempat turun hingga Rp6.500 ketika wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) melanda.
“Waktu ada PMK itu berat. Banyak sapi mati, untung saya tidak. Tapi sempat jual sapi bunting tujuh bulan cuma laku dua juta, padahal kalau normal bisa sampai dua puluh juta,” katanya.
Menurut Ikhsan, jumlah peternak sapi perah di Dusun Jambi semakin banyak. Beberapa di antaranya bahkan memiliki puluhan hingga ratusan ekor sapi. Namun, ia menilai potensi ekonomi besar itu belum diimbangi dengan fasilitas pengolahan susu di daerah.
“Selama ini hasil dari sini per bulannya miliaran rupiah, tapi semua dijual mentah keluar daerah. Kalau Trenggalek punya tempat pengolahan sendiri, kan hasilnya bisa kembali ke daerah,” tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh peternak lainnya, Wasis Abidin, yang juga berasal dari Dusun Jambi. Ia menuturkan, keberadaan sapi perah telah meningkatkan taraf hidup masyarakat Botoputih, meski keuntungan usaha belum maksimal.
“Semenjak ada sapi perah, ekonomi warga memang naik. Tapi kalau secara bisnis masih belum untung besar, karena pakan mahal sementara harga susu tetap,” jelasnya.
Wasis memiliki lima ekor sapi dengan satu ekor di antaranya sedang produktif menghasilkan rata-rata 15 liter susu per hari. Ia mengungkapkan, biaya pakan cukup memberatkan, terutama untuk konsentrat yang kini mencapai harga Rp420.000 per kwintal.
“Sapi per ekor bisa habis tiga kwintal konsentrat per bulan. Kalau belum laktasi ya belum dikasih. Makanya saya juga jadi pengepul untuk nambah pemasukan,” katanya.
Wasis menilai, keberadaan pabrik pengolahan susu di Trenggalek sangat dibutuhkan agar peternak tidak hanya menjual bahan mentah.
“Belum ada yang jual susu matang di sini. Kalau ada yang mau bimbing ya kami siap belajar, biar bisa jual dalam kemasan. Petani bisa sejahtera kalau pakan turun dan harga susu naik,” ujarnya.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz















