Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Pemilu 2024 adalah Acaranya Rakyat, Bukan Acaranya Anies, Prabowo, dan Ganjar

  • Pemilu 2024 adalah acaranya rakyat. Sebab Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 menyatakan pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih calon wakilnya. Pemilu bukan acaranya Anies, Prabowo, maupun Ganjar.
  • Keputusan Presiden Jokowi yang untuk cawe-cawe (campur tangan) merupakan indikasi kuat bahwa proses yang jujur dan adil serta menghormati kedaulatan pilihan warga sedang menghadapi ancaman dari negara.
  • Masyarakat tidak hanya berperan sebagai tukang coblos. Pemilu itu adalah acara yang didanai uang pajak rakyat. Sehingga, masyarakat berhak mendapatkan kualitas terbaik dari pemilu yang mereka biayai.
Rangkaian acara pemilihan umum (pemilu) 2024 sedang berjalan. Beberapa masyarakat sudah menentukan pasangan calon paslon) presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pilihannya. Paslon 1 yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Paslon 2 adalah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Lalu, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai paslon 3.Masyarakat perlu ingat bahwa pemilu 2024 bukan acaranya Anis, Prabowo, dan Ganjar. Tapi, pemilu 2024 adalah acaranya rakyat. Hal itu disampaikan oleh Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Kurawal. Ia menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu dibiayai oleh uang pajak rakyat dalam Anggaran Pejabat dan Belanja Negara (APBN).Pernyataan Darmawan sesuai dengan penjelasan Undang-Undang (UU) Pemilu nomor 7 tahun 2017:"Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".Kemudian, pasal 275 UU Pemilu 2017 menyebutkan bahwa kampanye melalui pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan media massa (cetak, elektronik, internet), hingga debat pasangan calon dapat didanai oleh APBN. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan dana pemilu 2024 yaitu Rp71,3 triliun.

Negara Mengancam Proses Pemilu 2024

[caption id="attachment_48173" align=aligncenter width=1280] Surat suara pemilu 2019 dicoret "Koruptor Semuanya"/Foto: @Dandhy_Laksono (X)[/caption]Darmawan menegaskan, masyarakat berhak mendapatkan kualitas terbaik dari proses pemilu yang mereka biayai. Sayangnya, ada indikasi intervensi pemerintah yang mengancam kualitas pemilu 2024. Seperti yang disampaikan melalui rilis Kurawal “Demokrasi Indonesia dan Pilpres 2024: Jauh Panggang Dari Api”.Menurut Kurawal, intervensi kekuasaan yang berujung pada manipulasi prosedur dan pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK) bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka telah mencederai integritas dari proses demokrasi yang tengah berjalan. Selain itu, keputusan Presiden Jokowi yang disampaikan secara terbuka untuk melakukan cawe-cawe (campur tangan) merupakan indikasi kuat bahwa proses yang jujur dan adil serta menghormati kedaulatan pilihan warga sedang menghadapi ancaman dari negara.“Pemilu itu kan pasti uang pajak. Kalau kita sudah membayar pajak, berarti kan kita layak dong untuk mendapat proses yang terbaik? Sebuah proses pemilu yang mematuhi prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang dan peraturan hukum. Kalau kemudian kita sudah bayar, terus kita ditipu gimana?” ujar Darmawan saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.Menurut Darmawan, adanya cawe-cawe presiden itu membuat prinsip jujur, adil, dan akuntabel dalam pemilu 2024 menjadi cukup mencemaskan. Apalagi, ia melihat kapasitas dan integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) semakin dipertanyakan.“Kemampuan Bawaslu untuk ngawasin, untuk memberikan sanksi, untuk menanggapi aduan, itu kan lemah. KPU kalau kita amati juga Ketua KPU-nya kena kasus, kebijakan juga berubah-ubah. Dari era reformasi belum pernah kejadian kondisinya seperti ini. Baru kali ini presiden bilang bahwa dia akan cawe-cawe di pemilu,” terang Darmawan.Begitu juga pasca putusan adanya pelanggaran etik Ketua MK, Anwar Usman, yang dinyatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Darmawan mengkritik, sekalipun ada putusan pelanggaran etik, tapi hasil dari pelanggaran itu tetap berjalan. Seolah-olah, masyarakat diminta untuk melupakan dan menerima pelanggaran etik tersebut.“Seharusnya itu DPR minta hak interpelasi, meminta penjelasan ke Pak Jokowi. Ini MKMK bilang ada intervensi eksternal, tapi mereka gak bilang ini apa. Jadi kan kondisi di Indonesia dibiarin gantung, terus kita diminta memaklumi, menerima, melupakan. Itu menunjukkan impunitas. DPR menurut saya harusnya bisa lebih tanggap.” tegas Darmawan.

Darurat Pemilu 2024, Harus Gimana?

[caption id="attachment_48037" align=aligncenter width=1280] Sidang pleno penetapan paslon capres cawapres pemilu 2024/Foto: Dok. KPU RI[/caption]Upaya untuk mencegah adanya intervensi pemerintah dalam pemilu 2024 sebenarnya sudah dilakukan oleh Kurawal. Darmawan mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan materi revisi UU Pemilu. Akan tetapi, pengajuan revisi itu tidak disetujui oleh DPR.“Sejarahnya, setiap mau pemilu itu undang-undang Pemilu pasti direvisi. Kemarin Kurawal udah nyiapin untuk revisi UU Pemilu. Lha kok baru ini kejadian, semua DPR sama pemerintah itu setuju tidak merevisi UU Pemilu. Aneh 2024 ini,” ucap Darmawan.Ketika sudah terjadi intervensi terhadap pemilu 2024 serta penyelenggara dan pengawas pemilu melemah, Darmawan menekankan perlunya tekanan dari lembaga pemantau internasional. Hal ini sesuai dengan pasal 435 UU Pemilu 2017 yang menyebutkan pemantau pemilu termasuk lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri. Darmawan menyebutkan, pemantauan itu harus dilakukan sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara.“Kalau yang internasional kan carter center dari amerika. Mereka selalu monitoring pemilihan umum di negara-negara yang memang dicurigai pemilunya gak bersih. Kalau di asia kan ada Anfrel [Asia Network for Free Elections], yang memang spesialisasi untuk memantau pemilu di negara-negara Asia,” kata Darmawan.Secara lebih dalam, Darmawan melihat pentingnya kontribusi lembaga pemantau internasional karena situasi demokrasi di Indonesia masih jauh panggang dari api. Ia menilai pemerintahan Indonesia hanya menjalankan demokrasi prosedural dan kurang menerapkan nilai-nilai demokrasi tersebut.“Yang ada itu cuma institusinya, lembaga–lembaga demokrasinya, prosedurnya, tapi nilai dan praktek demokrasi gak ada. Cuma prosesi, cuma prosedural. Demokrasi prosedural itu bahaya. Ada kok pemilu, ada kok parlemen, ada kok partai politik. Tapi itu semua cuma cuma piranti, alat, prosedur yang tidak mencerminkan nilai-nilai atas teks yang berjalan dalam masyarakat,” ungkap Darmawan. Oleh karena itu, Darmawan berpesan kepada masyarakat supaya tidak hanya berperan sebagai tukang coblos. Masyarakat harus lebih memahami bahwa pemilu itu adalah acara yang didanai uang pajak rakyat. Sehingga, masyarakat berhak mendapatkan kualitas terbaik dari pemilu yang mereka biayai.“Kalau masyarakat merasa bahwa ada yang salah, jangan diam. Kalau masyarakat merasa dicurangi ya dilawan. Jadi sebenarnya tugas masyarakat itu nggak berhenti setelah mereka mencoblos,” ujar Darmawan.Menurut Darmawan, melawan pelanggaran dalam pemilu 2024 bisa dilakukan dengan banyak cara. Seperti menyuarakan pendapat lewat media, membantu untuk proses pengawasan, hingga memberikan tekanan kepada penyelenggara pemilu.“Masyarakat berhak mendapatkan proses terbaik, kualitas terbaik dari pemilu. Undang-undang sudah mengatur kualitas pemilu berjalan dengan jujur dan adil. Penyelenggara pemilu itu memang kredibel. Kalau kamu pengen dapat kualitas yang baik, ya kamu harus mengambil peran lebih, nggak selesai dengan mencoblos,” tandas Darmawan.