Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Apakah Golput Melanggar Undang-Undang Pemilu? Ini Jawaban Hukumnya

Kabar Trenggalek - Golongan putih atau golput dikenal sebagai istilah politik ketika warga tidak memberikan suara dalam pemilihan umum (Pemilu), sebagai tanda protes.

Ada berbagai alasan bagi warga yang melakukan golput. Tapi pertanyaannya adalah, apakah golput salah? Apakah golput dapat dipenjara? Apakah golput melanggar Undang-Undang Pemilu?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu diketahui ada jenis-jenis golput. Menurut Nyarwi Ahmad dalam buku Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif, berikut jenis-jenis golput:

1. Golput Teknis

Golput Teknis adalah mereka yang gagal menyalurkan hak pilihnya, contohnya tidak bisa datang ke tempat pencoblosan (TPS) karena suatu alasan, keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah, atau namanya tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) akibat kesalahan penyelenggara Pemilu.

2. Golput Pemilih Hantu

Pemilih hantu atau ghost voter mengacu pada nama-nama yang ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena berbagai alasan. Misalkan saja, nama yang terdaftar di DPT ternyata sudah meninggal, atau nama pemilih ternyata terdaftar ganda dan sudah mencoblos di tempat lain.

3. Golput Ideologis

Golput Ideologis adalah mereka yang tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang tengah berlaku. Kelompok Golput Ideologis ini menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan tidak memegang kedaulatan rakyat secara mutlak. Golput Ideologis juga digambarkan sebagai bagian dari gerakan anti-state yang menolak kekuasaan negara.

4. Golput Pragmatis

Golput Pragmatis adalah mereka yang tidak ikut mencoblos karena menganggap Pemilu tidak memberi keuntungan langsung bagi pemilih. Golput jenis ini menilai bahwa mencoblos ataupun tidak mencoblos, diri mereka tidak akan merasakan pengaruh ataupun perubahan apa-apa.

Golput jenis ini memandang proses politik seperti Pemilu secara setengah-setengah, percaya sekaligus tidak percaya, tren golput ini meningkat salah satu faktornya karena pemilu berdekatan dengan libur panjang.

5. Golput Politis

Golput Politis adalah orang-orang yang percaya pada negara dan Pemilu. Hanya saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka.

Apakah Golput Melanggar Undang-Undang Pemilu?

Dalam UU Pemilu Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimaksud Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut penjelasan Sovia Hasanah S.H di Hukum Online, istilah Golput tidak dikenal di UU Pemilu. Akan tetapi, di dalam UU Pemilu dikenal istilah mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya. Perbuatan tersebut diatur dalam pasal 284 UU Pemilu yang menjelaskan:

Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:

a. tidak menggunakan hak pilihnya;

b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;

c. memilih Pasangan Calon tertentu;

d. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau

e. memilih calon anggota DPD tertentu,

dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Maksud dari "menjanjikan atau memberikan" adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim Kampanye pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk memengaruhi pemilih.

Sedangkan maksud dari "materi lainnya" yaitu tidak termasuk meliputi pemberian barang-barang yang merupakan atribut kampanye pemilu, antara lain kaus, bendera, topi dan atribut lainnya serta biaya makan dan minum peserta kampanye, biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum."Berdasarkan hal tersebut, maka golput [tidak menggunakan hak pilihnya] yang dimaksud dalam Pasal 284 UU Pemilu ini adalah golput apabila dijanjikan akan diberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan karena tidak menggunakan hak pilihnya," jelas Sovia.

Sovia menyampaikan, orang yang mempengaruhi atau mengajak untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dapat dipidana dengan pidana sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, yaitu:

Pasal 515 UU Pemilu

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 523 ayat (3) UU Pemilu

Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

"Jadi dalam UU Pemilu, golput [tidak menggunakan hak pilihnya] tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tetapi yang dapat dipidana adalah orang yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak menggunakan hak pilihnya [golput]," ungkap Sovia.

Memilih calon pemimpin di Pemilu adalah "hak" bukan "kewajiban". Setiap orang berhak memilih dan tidak memilih calon pemimpin. Sovia menambahkan, Pasal 23 ayat (1) UU HAM sebenarnya telah menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.