Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Meneladani Kerakter Wisanggeni, Rela Jadi Tumbal Meski Punya Kekuatan Overpower

Pagelaran wayang tak hanya warisan budaya Indonesia sebagai tontonan dan hiburan, melainkan juga sebagai tuntunan. Hal ini sebagaimana karakter dalam kisah pewayangan memiliki teladan dan pesan moral yang hendak disampaikan lewat tokoh-tokohnya.

Salah satunya adalah Bambang Wisanggeni, anak Arjuna dari pernikahannya dengan Dresanala. Wisanggeni terkenal memiliki kekuatan luar biasa atau overpower. Kekuatan ini menyebabkan Wisanggeni menjadi salah satu wayang yang disingkirkan dari perang bharatayudha.

Dalam kisah pewayangan Jawa, Wisanggeni termasuk karakter atau tokoh istimewa. Meski digambarkan sebagai sosok anak muda, Wisanggeni terkenal dengan keberaniannya dan sikapnya yang tegas.

Sifat dan karakternya yang bagus ini, Wisanggeni keistimewaannya ditambah dengan memiliki kesaktian luar biasa. Bahkan bisa setara dengan orang tuanya sendiri. Sebab kesaktian ini adalah pemberian dari para dewa.

Kendati demikian, Wisanggeni memiliki perjalanan hidup yang bisa dikatakan tragis. Bagaimana tidak, sebab dirinya lahir dengan cara dipaksa atau dipaksa lahir dari rahim ibunya.

Perjalanan hidup Wisanggeni menarik untuk disimak dan dijadikan teladan. Perjalanan hidupnya mulai dari lahir hingga ajalnya sarat akan nilai moral dan pesan kebaikan.

Kelahiran Wisanggeni

[caption id="attachment_33937" align=alignnone width=1280] Wisanggeni, tokoh dalam pewayangan Jawa yang memiliki kekuatan luar biasa/Foto: Pinterest[/caption]

Kisah kelahiran Wisanggeni bisa dikatakan cukup tragis. Karena usia kandungan Batari Dresanala saat mengandung Wisanggeni masih sangat muda. Di usia kandungan sangat muda tersebut Dresanala dipaksa ayahnya, Batara Brama, untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya.

Alasan Batara Brama tega membunuh cucunya sejak dalam kandungan ini bermula saat Dewasrani, putra Batari Durga, cemburu terhadap Arjuna yang telah menikahi Batari Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya menceraikan perkawinan Dresanala dan Arjuna.

Karena kasih sayang ibu pada anaknya begitu besar, Durga pada akhirnya menghadap suaminya, yakni Batara Guru (dewanya para dewa), untuk menceraikan pernikahan Dresanala dan Arjuna. Yang kemudian meminta agar Dewasrani dinikahkan dengan Dresanala.

Atas desakan dan bujuk rayu Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brama menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.

Brama yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak dijadikan Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga.

Sebenarnya Dersanala tidak ingin berpisah dengan Arjuna.Sehingga setelah Arjuna pergi dari khayangan Bethara Brama menyiksa tubuh Dersanala. Tak berapa lama, Dersanala yang tidak dapat menahan rasa sakit akhirnya melahirkan bayi laki-laki prematur. Kemudian, tak lama Durga dan Dewasrani datang menjemputnya.

[caption id="attachment_33944" align=alignnone width=1080] Pahatan wayang Wisanggeni/Foto: @wayang.hadisukirno (Instagram)[/caption]

Dikisahkan alam semesta bergemuruh atas kelahiran sang bayi. Batara Brama kaget melihat tubuh bayi bersinar terang. Banyak usaha yang dilakukan untuk membunuh bayi tersebut akan tetapi semua usaha tidak berhasil. Di satu sisi Batara Brama tidak tega untuk membunuh cucunya sendiri.

Hingga akhirnya Batara Brama membuang cucunya di Kawah Candradimuka.Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun mencoba membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama

Wisanggeni, yang bermakna “racun api”. Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, sang dewa penguasa api. Selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni.

Atas petunjuk dan rekomendasi Narada, Wisanggeni pun membuat kekacauan di kahyangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkan yang, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, senior Batara Guru. Batara Guru dan Batara Brama akhirnya bertobat dan mengaku salah. Narada akhirnya bersedia kembali bertugas di kahyangan.

Wisanggeni kemudian datang ke Kerajaan Amarta meminta kepada Arjuna supaya diakui sebagai anak. Semula Arjuna menolak karena tidak percaya begitu saja. Terjadi perang tanding di mana Wisanggeni dapat mengalahkan Arjuna dan para Pandawa lainnya.

Setelah Wisanggeni menceritakan kejadian yang sebenarnya, Arjuna pun berangkat menuju Kerajaan Tunggulmalaya, tempat tinggal Dewasrani. Melalui pertempuran seru, ia berhasil merebut Dresanala kembali.

Wisanggeni Jadi Tumbal Perang Bharatayudha

[caption id="attachment_22650" align=alignnone width=1280]Tokoh-Tokoh Wayang ini Disingkirkan dari Perang Bharatayudha Karena Kesaktiannya Tiada Tanding Pertarungan Karna (kiri) melawan Arjuna, suatu adegan dari Bharatayuddha, dalam bentuk lukisan kaca Cirebon. by: Wikipedia[/caption]

Dalam penampilannya, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Pepatah yang bilang, “jangan lihat buku hanya dari sampulnya saja” sangatlah tepat jika diterapkan pada Wisanggeni.

Selama hidup, Wisanggeni banyak menghabiskan waktu di di kayangan bersama Sang Hyang Wenang. Wisanggeni sangat hormat kepada Sang Hyang Wenang. Dirinya tidak pernah Kromo Alus kepada semua orang, kecuali pada Sang Hyang Wenang.

Kesaktian Wisanggeni dikisahkan melebihi putra-putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja, Gathotkaca, ataupun Abimanyu. Dari sekian sepupunya, hanya Antasena lah yang memiliki kesaktian setara dengan dirinya. Namun bedanya, Antasena bersifat polos dan lugu, sedangkan Wisanggeni cerdik dan penuh akal.

Siapun yang terkena ludah dari Wisanggeni maka dalam waktu singkat akan segera musnah. Semua karakter bisa dikalahkan dan ditaklukan oleh Wisanggeni. Bahkan, ada yang menyebutkan hanya Semarlah karakter dalam Pewayangan Jawa yang tidak bisa dikalahkan.

Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.

Kesaktian Wisanggeni yang tiada tandingnya menyebabkan ia tidak dikehendaki dalam perang Bharatayudha, karena semua tahu bahwa pihak pandawa pasti akan menang dan tidak ada korban jiwa dari pihak pandawa, sedangkan pihak kurawa pasti akan kalah.

Di satu sisi itu adalah trik Sang Hyang Menang agar Wisanggeni tidak ikut dalam perang Bharatayuda. Karena jika Wisanggeni ikut perang tidak ada lawan dari pihak Kurawa yang sebanding.

Perang Bharatayuda merupakan perang suci, kedua belah pihak yang sedang bertempur harus memiliki kekuatan yang seimbang. Sehingga jika Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur pihak Pandawa akan memiliki kekuatan yang sangat besar, jauh dari pihak Kurawa.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.

Meneladani Karakter Wisanggeni

[caption id="attachment_22652" align=alignnone width=1280]Wisanggeni Meneladani karakter wayang Wisanggeni/Foto: Istimewa[/caption]

Ada beragam hal yang bisa diteladani dari karakter Wisanggeni ini, salah satunya adalah kesabaran dan kerelaan diri untuk berkorban demi orang lain. Hal ini ditunjukan dari cerita Wisanggeni yang rela jadi tumbal perang Bharatayudha demi memenangkan Pandawa.

Wisanggeni jika digambarkan pada kehidupan nyata adalah orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dan keahlian diplomatis yang tinggi. Orang-orang seperti ini biasanya akan maju sebagai pemimpin atau setidaknya memilih jadi tokoh di masyarakat.

Namun, jika mengamati karakter Wisanggeni menunjukan sebaliknya. Meski punya derajat tinggi dan berpotensi jadi tokoh di masyarakat, orang yang meneladani Wisanggeni lebih memilih menarik diri. Sebab, ada hal yang lebih penting, yakni kepentingan bersama demi egonya naik tahta dalam kehidupan sosial.

Kemudian, Wisanggeni juga memberikan teladan berupa kesabaran. Hidupnya di masa kecil yang sudah tragis ia jalani dengan ikhlas. Ia tanpa beban menjalani kehidupannya.

Namun, di satu sisi dari kehidupannya yang tragis ini, Wisanggeni malah mendapatkan kekuatan. Mengisyaratkan bahwa cobaan yang dialami manusia sebetulnya adalah bentuk latihan emosional dan fisik untuk lebih kuat lagi, bahkan kekuatan ini bisa di atas rata-rata orang pada umumnya.