Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Membicarakan Kejujuran Diana dan Menelisik Pola Parenting Orang Tua

Keluarga menjadi unit terkecil sebuah komunitas di dalam masyarakat. Sehingga pola dalam keluarga memiliki dampak yang signifikan pada cara pandang anggota keluarga, utamanya bagi perkembangan dan arah masa depan anak-anak.Dalam konteks perkembangan anak, pola tersebut kerap disignifikasikan dalam konsep parenting, yaitu sebagai pola asuh, membimbing, dan mendidik anak. Sehingga, kesempatan melihat film Membicarakan Kejujuran Diana membuka banyak refleksi kita sebagai anak, sebagai akademisi dan pemerhati, pun sebagai masyarakat Indonesia.Diceritakan bahwa Diana Hasyim merupakan siswi kelas XII IPA-2 SMAN Jaya Raya yang hadir sebagai tokoh utama dalam film berdurasi 27:54 menit ini. Ia hadir sebagai siswi cerdas dengan pernyataan-pernyataannya yang kritis lewat unggahan vlog tugas bahasa Indonesia.Pernyataan kritisnya dalam mengasah ketajaman opini mengenai latar belakang  dis-infomasi sosial media yang kerap dilakukan oleh orang tua mendapat atensi masyarakat. Serta pandangnya mengenai represi orang tua dalam membentuk kepatuhan akan atribut agama, melahirkan  kontroversi baru dari berbagai lini masyarakat dengan  lintas perspektif. Di awal narasinya, Diana menyampaikan opininya terkait latar belakang di balik pola penyebaran berita dis-informasi di kalangan orang tua. "Para Orang Tua berpendapat bahwa mereka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah agar pintar dan berpengetahuan, namun hari ini ketika informasi dan ilmu pengetahuan baru tidak lagi dominan milik para pelajar, kemudian kemanakah anak-anak ini perlu menyekolahkan orang tua mereka untuk belajar?", ungkapnya.Pernyataan ini menjadi pembuka pikiran kritis dan penanda kemampuan menganalisis sebuah bidang kaji atas fenomena dengan seksama. Hal yang disampaikan Diana lewat vlognya merupakan cara pandang yang dekonstruktif. Bahwa dalam mengimbangi kemajuan jaman, setiap kita harus terus belajar dan tumbuh.Keengganan untuk belajar akan menutup banyak kesempatan mencapai kemajuan, tentu karena tidak adanya keterbukaan pikiran. Dalam analisa yang disampaikan Diana, hal tersebut tergambar dari banyaknya pola dis-informasi yang dilakukan oleh kalangan orang tua dalam memakai waktu luangnya berselancar di dunia maya.Dalam bersosial media tidak sedikit berita dis-informsi yang disebar oleh netizen itu dilakukan oleh kalangan orang tua yang memiliki banyak sekali waktu luang berselancar maya dengan perspektif mereka sendiri. Mulai dari membicarakan kehidupan artis, berita covid 19, berita politik yang berujung pada adu domba keluarga, hingga yang paling sering adalah berita soal agama.Dari berbagai berita yang dikomentari tanpa verifikasi ini, terjadi banyak konfrontasi dan benturan sosial. Kegaduhan di dunia maya kerap terjadi karena tidak dipakainya tiga filter informasi meliputi, kebenaran, kebaikan dan kemanfaatan.Pada titik ini Diana seolah ingin mengutarakan keresahannya sebagai anak, bahwa tuntutan belajar di era modern haruslah dilakukan oleh siapa saja. Karena hanya melalui belajar, sebuah pemahaman bisa ditingkatkan, dan hanya melalui belajar keterbukaan pemikiran diutamakan.

***

Dalam plot pernyataan, Diana juga membahas mengenai isu soal agama. Tentu dia sangat menyadari bahwa isu agama adalah isu yang sangat sensitif. Dalam konteks ini ia membahas mengenai bagaimana pendapatnya soal jilbab dan alasan berjilbab.Sebagai muslim, tentu kita memahami bahwa jilbab adalah tuntunan yang baik. Namun dalam titik ini, Diana menekankan pada keputusannya berjilbab merupakan sebuah dorongan dan perintah dari orang tua.Padahal sebagai anak usia pelajar, Diana masih membutuhkan ruang-ruang untuk menemukan identitas. Ketundukan atas nama agama dan maklumat yang dibenamkan oleh orang tua sebagai ketaatan dan keimanan itu merupakan represi yang baginya menakutkan. Hal tersebut seolah memberi gambaran bahwa anak tidak diberi kesempatan memutuskan haknya dalam masa mencari jati diri. Anak-anak dituntut untuk serta merta mengikuti semua perintah orang tua dengan berbagai alasan tanpa ada ruang dialogis antara orang tua dan anak.Dalam hal ini, anak sedang ditempatkan sebagai objek aturan, tanpa dilibatkan dalam keputusan. Daya kritis pada anak kerap dianggap ketidaksopan santunan dalam masyarakat feodalistik.Jika ditarik lebih jauh, ada kekhawatiran mengenai keputusan yang diambil dengan berdasar pada tekanan dari luar diri akan berdampak pada praktik hidup yang dangkal, semu, berongga, dan sebatas hadir di permukaan.Normalitas yang tanpa sadar ditumbuhkan di lingkungan keluarga, ketaatan agama alangkah baiknya jika timbul dan berkembang karena kesadaraan diri sendiri, bukan dakwa-dakwa masif yang sebenarnya hanya menimbulkan tekanan sosial. 

***

Sebuah rapat dengan melibatkan pihak dari Kementrian Pendidikan, LSM Pemerhati Anak, Kepala Sekolah, Wali Kelas yang juga merupakan guru bahasa Indonesia, dan belakangan disusul oleh Diana dan ibunya. Rapat itu dengan serius dibentuk untuk mengkaji secara mendalam mengenai pernyataan dan polemik yang timbul dari pernyaaan dalam vlog tersebut. Dalam menyikapi kasus ini ada banyak perspektif yang berbeda sebagaimana kecenderungan berpikirnya orang yang hadir.Dalam film ini digambarkan bagaimana Bu Damayanti, selaku ibu dari Diana yang juga pengusaha jilbab, mengalami banyak komplain dari pelanggannya terkait kontroversi atas opini anaknya.Sehingga, viralnya pernyataan dari Diana lewat vlog tersebut yang membawa dampak bagi usaha dan nama baiknya, memancing kemarahan ibu tanpa perlu mendengar penjelasan dari anaknya. Serta begitu gusarnya Pak Salim selaku Kepala Sekolah karena kekhawatirannya atas reputasi sekolah, kepemimpinannya dalam managemen pendidikan dan keberhasilan dalam mendidik siswa-siswinya. Kemandekan sebuah proses belajar adalah hadirnya penghakiman tanpa ruang menjelaskan dan upaya mendiskusikan duduk permasalahan. Dalam praktik bermasyarakat, proses bernalar kritis, yang disampaikan oleh Diana adalah mungkin.Hal tersebut menjadi kontroversi karena dalam masyarakat terdapat banyak perpektif, kepentingan, keyakinan serta ketidakkesiapan masyarakat kita atas pikiran dengan perspektif berbeda, terlebih keuar dari norma keumuman. Namun pendapat ini, dibantah oleh bu Farida selaku Wali Kelas dan juga Guru Bahasa Indonesia. Ia adalah prototipe seorang guru yang memiliki pemahaman luas dan mampu memberi ruang aktualisasi diri. Dalam film ini, terdapat pengaburan antara profesionalitas dan sisi personal seseorang. Bu Renata yang merupakan aktivis perempuan dan pemerhati anak dari LSM mendapat stereotif dangkal saat ia mencoba memberi pemahaman dalam pola parenting sementara ia belum menikah.Stereotif belum menikah ataupun belum punya anak adalah senjata dalam menyerang karier seorang perempuan. Dalam paktek sosial hal tersebut kerap dipakai oleh masyarakat dalam merendahkan profesionalitas seorang perempuan karier. Padahal dalam konteks profesionalisme, bu Renata dapat membuktikan kemampuan, kiprah dan intelektualitasnya. Selain itu, pandangan yang luas mengenai beragam karakter dan fenomena ditampilkan oleh Pak Johada sebagai pegawai Kementrian Pendidikan dengan melihat kejadian ini sebagai sebuah situasi yang sebenarnya memiliki mata rantai tidak terputus antara orang tua dan anak. Sehingga dilakukan upaya dialogis melalui diskusi tanpa diskriminasi dan upaya memberikan perlindungan bagi semua pihak.

***

Tingkah laku anak yang sulit terkontrol dan kesalahpahaman antara anak dan ibu kerap terjadi karena kurangnya ruang komunikasi. Sehingga anak kurang familiar dan terbuka dalam berbagi informasi, maupun sharing permasaalahan hidup.Kondisi itu diperkeruh dengan pola tertutup orang tua, yang kerap melakukan batasan tanpa alasan, dan perintah tanpa penjeasan. Hal yang perlu disadari adalah pola parenting yang demikian mampu membuat sekat antara relasi orang tua dan anak. Di akhir video, Diana melepas jilbabnya juga bentuk kekecewaan atas berbagai pernyataan orangtuanya. Hal tersebut mencitrakan bahwa kaum yang menganggap diri beragama menjadi tidak ramah, bahkan bersikap eksklusif.Selain itu anak perlu memiliki ruang interaksi yang hangat dalam keluarga, mampu menangkap sosok idola dalam keluarga, mampu menyaring tayangan media yang dapat dipraktikkan atau terlebih dahulu disaring. Hal tersebut akan mampu tercapai, jika setiap keluarga mampu melebarkan pemahaman, bahwa anak-anak adalah proyeksi masa depan generasi berkelanjutan, bukan objek yang diatur gerak tanpa dijelaskan. Karakter mereka terbentuk tidak hanya melalui pola pendidikan formal, melainkan peran orang tua dan sinergi kita bersama yang memiliki kepedulian. Karena sekalipun peran sentral bagi pendidikan dan pemenuhan hak anak adalah keluarga, setiap kita berkesempatan menjadi orang tua ideologis.Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, yang masa depannya sedag disulam dan dipersiapkan. Sehingga perhatian terhadap anak dan terpenuhinya hak anak adalah menjadi sebuah keharusan.Anak yang masih butuh dorongan, pendidikan, pengawalan dan perhatian kita bersama. Sehingga kita mampu menyediakan ruang aman bagi anak, yang ramah dan transformatif bagi generasi penerus bangsa.

***

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita kemerdekaan yang digagas oleh para pendiri bangsa. Pun demikian, dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan menjadi tanggung jawab kita untuk melanjutkan tonggak-tonggak perjuangan pergerakan nasional.Pendidikan menjadi kerap disorientasi, dengan kecenderungan berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar, lapangan kerja sehingga ruh pendidikan sebagai pondasi budaya, moralitas, dan sosial movement (gerakan sosial) menjadi hilang. Hal tersebut setidaknya tergambar dari larangan bagi Diana dalam memilih jurusan sastra dikarenakan oleh pandangan atas kerja masa depan. Padahal setiap anak memiliki bakat dan keunikan yang mengantanya pada proyeksi masa depan.Diskursus pendidikan bukanlah  entitas yang berdiri sendiri, melainkan dikelilingi oleh entitas lain yang bersinergi. Problem sosial, politik, budaya, hukum, falsafah, ekonomi, dan lain-lain merupakan entitas di luar pendidikan yang memiliki pengaruh interkonektif cukup interns terhadap pendidikan.Beberapa tema pendidikan yang sering kita jumpai, seperti pendidikan pembebasan, pendidikan kritis, pendidikan strategik, pendidikan partisipatoris, maupun pendidikan profetik dan lain sebagainya. Sehingga lahirnya vlog opini kritis Diana sebagai sebuah pandangan harus disikapi sebagai bentuk perkembangan. Era globalisasi adalah semakin transparannya batas-batas antar negara serta basis teknologi komunikasi. Hal tersebut yang membuka pemikiran anak-anak era ini karena rasa ingin tahunya atas pengetahuan dan kegemarannya belajar.Pendidikan untuk mentransformasikan nilai-nilai  pendidikan supaya penyelenggaraan pendidikan mampu menjadi problem solver terhadap problemantika masyarakat. Dalam film setidaknya dapat kita analisa bahwasanya cara berpikir maju dimiliki oleh ia yang tidak hanya berpikir tentang dirinya dan status quonya, melainkan ia yang secara terbuka memberi ruang pemahaman bagi pemikiran lain sehingga dapat tercipta harmoni hidup dalam masyarakat. Kegiatan Pemutaran Sinau Film 2024 diharapkan dapat memberi ruang aktualisasi bagi genrasi muda Trenggalek dalam menyalurkan bakat dan minatnya di dunia perfilman. Selain itu diputarnya berbagai film baik karya anak Trenggalek, film tamu, dan talkshow dapat memberi perspektif baru dalam beragam fenomena.