Opini oleh: Mai*
Sedari siang, pelataran Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) sudah riuh dengan senandung lagu-lagu Fajar Merah yang diputar dari perangkat digital. Panel-panel presentasi sudah tertata menyambut para pengunjung acara September Masih Hitam.
Setelah kemarin diawali oleh Aksi Kamisan, rangkaian acara ini berlanjut dengan diisi diskusi, bedah buku, panggung bebas, dan pameran seni sepanjang 22-23 September 2023.
Bertemakan “Kaleidoskop Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jazman al-Kindi, ikut urun karya dalam acara Pameran HAM.
Proses Penggalian Cerita
Presentasi pameran dari KHM menyajikan satu karya seni kolase (collage) bertajuk "Melawan". Karya ini digubah sebagai corong untuk menyuarakan suara anak dan perempuan Desa Wadas yang hari ini tanpa pilihan.
Proses penggalian cerita dilakukan melalui kolega perempuan KHM sendiri yang sudah satu tahun lebih melakukan pendampingan anak dan perempuan di Wadas. Ia merupakan saksi bagaimana keangkuhan dampak operasi program Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener terhadap masyarakat Wadas.
Atas nama pembangunan yang membungkus semangat keserakahan oligarki, negara telah berubah bentuk. Bukan lagi menjadi penjamin kesejahteraan rakyat, melainkan penjamin bisnis para investor.
Akibatnya, ruang-ruang hidup masyarakat desa, termasuk tanah, dirampas secara paksa. Hak-hak dasar manusia dicaplok dan dibayar murah dengan recehan uang ganti rugi. Hal ini berdampak besar bagi masyarakat petani Wadas, termasuk anak dan perempuan.
Sebagai perempuan, kolega KHM ini punya posisi penting dalam membaca kondisi anak dan wadon (perempuan) Wadas. Ia menampung semua keluh kesah dan sensitivitas pada perubahan-perubahan emosi para wadon Wadas sebagai penyintas. Bahkan, pada tabir-tabir emosi yang tidak akan diceritakan kepada pendamping masyarakat laki-laki.
Pada kenyataannya keresahan wadon Wadas bukanlah gelisah personal sesaat. Ia merupakan representasi kekhawatiran hak hidup masa depan generasi selanjutnya. Kekhawatiran akan ruang bermain anak, keharmonisan alam, dan ketahanan ekonomi anak-cucunya.
Siapa sangka bahwa anak-anak juga menyerap resonansi kegelisahan para kaum ibu. Mereka tidak buta pada situasi yang terjadi di sekelilingnya. Sebagaimana, salah satunya disampaikan oleh Duri, “Mamak ojo nangis yo, mak!!! Awake dewe ra salah tho, mak. Awake dewe kan 'melawan' tho, mak.” Artinya, "Ibu, jangan nangis ya, bu!!! Kita tidak salah kan, Bu. Kita ini ‘melawan’ kan, Bu”.
Pernyataan Duri ini membawa kami pada pandangan bahwa “salah” dan “melawan” sebagai dua kata dengan makna berlawanan. Ide untuk melawan justru dianggap sebagai jalan hidup kebenaran yang mesti ditempuh.
Media Bercerita Alternatif
Pemaknaan fakta lapangan di atas diramu dengan cepat oleh kami berdua yang sama-sama juga dari KHM dan sama-sama perempuan. Salah satu dari kami sudah beberapa kali menciptakan karya seni kolase dan satu lagi merupakan kurator muda museum.
Seni kolase sengaja dipilih sebagai media penceritaan dan sekaligus penyuara keberpihakan kami. Alasannya, kolase merupakan media presentasi ide yang cukup mampu memuat nilai-nilai simbolis dalam bentuk ringkas, bahkan dalam satu lembar eksibisi dua dimensi.
Menurut si seniman kolase, pilihan untuk menggunakan media ini lekat dengan paham Dadaisme yang dianutnya. Mengingat Dadaisme sendiri lahir dari gerakan perlawanan terhadap seni arus-utama Eropa abad ke-20, termasuk juga politik anti-perang para praktisinya.
Jadi, segala kesemrawutan material, tekstur, dan referensi itulah yang diramu untuk menjadi sarana presentasi nilai dan ide si pencipta seni.
Meskipun berangkat dari kesemrawutan, material untuk menciptakan karya kali ini tetap melalui proses kurasi. Sebagian material diambil dari arsip foto landskap Wadas pada masa kolonial.
Ada juga material foto-foto dari sumber online dan majalah-majalah cetak yang pemakaiannya disesuaikan dengan simbolisme emosi. Lalu, semua bahan-bahan ini ditimpal dengan penambahan berbagai jenis tekstur kertas dan akrilik. Demikianlah proses kilat dua hari penciptaan karya berdimensi 55 x 74 cm ini.
“Melawan” secara sengaja dipilih menjadi judul karya karena kami mencoba jujur pada suara otentik dari anak-anak Wadas. Selain itu, representasi wadon Wadas juga coba kami hadirkan melalui sajian partisipatori produk olahan asli mereka yaitu, gula aren.
Tanaman aren bukan sekadar komoditi ekonomi dengan fungsi nilai tukar bagi warga Wadas. Ia memiliki makna relasi keharmonisan antara alam dan manusia. Berkembang pandangan di masyarakat bahwa aren tidak akan keluar airnya, bila hati petaninya tidak tentram.
Dalam beberapa kesempatan diskusi advokasi, seorang perempuan Wadas juga menegaskan, “Belum lagi, jika Wadas ditambang, kami akan kehilangan pekerjaan. Kami tidak bisa kerja membuat besek dan bikin gula aren, padahal aren itu hasil kebun kami. Kebun itu masih kami lestarikan. Jika ditambang, itu akan semua diambil.”
Relasi erat antara perempuan dan seluruh proses produksi aren inilah yang membuat kami secara khusus mengajak audiens untuk melibatkan sensori perasanya, tidak saja indera mata, dalam menikmati karya kecil ini.
*Mai adalah Kurator Muda Museum Muhammadiyah