Makin tahu Indonesia – Dari sebuah rumah sederhana di Kelurahan Surodakan, Kecamatan Trenggalek, irama gamelan dan derap kaki para penari terdengar nyaring setiap sore. Di dalamnya, Tantri, perempuan kelahiran keluarga seniman, menggerakkan lebih dari sekadar tubuh: ia menghidupkan tradisi.
Lahir dengan nama lengkap Hantin Malini Dwitantri, perempuan 28 tahun ini sedari kecil telah dipersiapkan untuk menjadi penerus ayahnya yang seorang pelukis. Namun hidupnya berbelok arah saat ia menunjukkan minat kuat terhadap seni tari, jauh sebelum usia 10 tahun.
“Awalnya tari-tari yang saya kuasai hanya tari nusantara seperti Remong dan Bondan. Tapi setelah 7 tahun di sanggar, menguras ilmu dari guru saya, akhirnya saya bisa membuka sanggar sendiri di rumah,” kisah Tantri.
Sanggar kecil yang ia rintis di usia 13 tahun itu hanya diisi oleh lima hingga enam orang tetangga. Namun dari sanalah semuanya bermula—cikal bakal Sanggar Pawon, yang kini telah memiliki lebih dari 600 murid dari berbagai usia dan daerah.
Setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Tantri sempat menjadi guru di sejumlah sekolah di Trenggalek. Namun keterbatasan penghasilan membuatnya memilih fokus mendidik murid dari rumah—tempat yang kini menjadi pusat gerakan tari penuh energi dan cinta budaya.

“Syukur sekarang sudah besar. Bisa buat karya tari sendiri, dari awal sampai jadi, digarap bareng keluarga sendiri,” ungkapnya bangga.
Setiap tarian yang diciptakan Sanggar Pawon lahir dari sinergi keluarga: Tantri menggali ide bersama ayahnya, Harnoko—yang juga ketua paguyuban sanggar seni tari se-Trenggalek—sementara musik pengiring digarap oleh sang suami, alumni seni musik ISI Yogyakarta. Semangat keluarga yang merawat budaya ini menjadikan karya-karya Tantri tak sekadar gerak, melainkan narasi utuh yang menyatukan kisah dan tanah.
Karya-karyanya kini dapat dinikmati ratusan ribu orang melalui kanal YouTube pribadi. Tak hanya menampilkan tari-tarian khas Trenggalek, tetapi juga memperkenalkan kekayaan ragam seni nusantara—membuat siapa saja yang menontonnya jadi makin tahu Indonesia, dari sisi yang lebih intim dan otentik.
“Kami terbuka kalau ada yang mau mempelajari tari dari sanggar kami, asal izin dulu. Semua tari yang kami ajarkan mayoritas adalah karya sendiri,” jelas Tantri.
Kegiatan pentas di luar kota juga rutin dilakukan, salah satunya dalam Hari Tari Dunia yang digelar setiap 29 April di Kota Solo. Di momen-momen itu, murid-murid Sanggar Pawon tampil percaya diri membawakan karya hasil latihan keras dan disiplin panjang.
“Saya berharap dengan berkembangnya sanggar ini, anak-anak tak hanya belajar gerak, tapi juga belajar disiplin, kerja sama, dan mencintai budaya,” tambahnya.
Sang ayah, Harnoko (63), menyaksikan sendiri bagaimana dari satu tikar di ruang tamu, sanggar itu kini meluas menjadi pusat pengembangan seni tari di Trenggalek. Ia menyebut saat ini ada 49 sanggar tari aktif di Trenggalek—banyak di antaranya didirikan oleh alumni Sanggar Pawon.
“Kalau pun ingin pentas massal dengan 1000 personel sekarang, saya rasa sudah bisa. Kesenian tari Trenggalek sudah berkembang jauh,” ujar Harnoko, yang akrab disapa Mbah Koko.
Dari rumah kecil di sudut Trenggalek, Tantri dan keluarganya membuktikan bahwa seni bisa hidup, bertumbuh, dan mengakar. Tak hanya bagi warga sekitar, tapi juga bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat kekayaan budaya bangsa.
Melalui gerakan lembut tangannya dan irama dari gamelan suaminya, Tantri mengajarkan bahwa untuk makin tahu Indonesia, kadang cukup dengan menari dari rumah sendiri.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz